Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2011

PNS = Pegawai Negeri Santai?

Bagi sebagian orang, menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah sesuatu yang begitu didamba. Beban kerja yang relatif santai, gaji plus tunjungan yang lumayan, serta jaminan pensiun di hari tua adalah sejumlah alasannya. Singkatnya, bagi mereka yang lebih memilih untuk menjadi ‘ safety player ’ dalam hidup ini, PNS adalah pilihan yang menggiurkan.  Tidak bisa dipungkiri, saat ini, menjadi birokrat atau PNS masih menjadi primadona, khususnya di daerah. Bahkan, boleh dibilang tingkat ketergantungan angkatan kerja berpendidikan sarjana untuk menjadi PNS masih sangat tinggi. Karenanya, test penerimaan PNS tidak pernah sepi peminat. Anda tentu sering menyaksikan, test penerimaan PNS yang dilangsungkan di gelanggang olah raga (GOR) atau stadion sepakbola karena jumlah peserta yang membludak. Untuk menjadi PNS, sebagian orang terkadang tidak sungkan mengelurkan duit hingga puluhan juta rupiah agar diangkat sebagai PNS. Dan memang, sudah menjadi rahasia umum selama ini kalau proses rek

Ironi Si Miskin dan Rokok

Meskipun terus mengalami penurunan secara konsisten selama lima tahun terkahir, jumlah penduduk miskin di Indonesia boleh dibilang masih cukup tinggi. Data terakhir menunjukkan, pada Maret 2011, jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 30,02 juta jiwa. Angka sebesar ini tentu masih sangat tinggi, bahkan lebih tinggi dari jumlah penduduk Malaysia yang hanya mencapai 28 juta jiwa. Itupun dengan catatan, mereka yang dikatakan miskin adalah yang berpengeluaran kurang dari Rp 233.740/kapita/bulan atau sekitar Rp 7.800/kapita/hari. Salah satu ciri utama penduduk miskin adalah tingginya pendapatan yang dialokasikan untuk kebutuhan makananan. Kebutuhan makanan menyedot sebagain besar pendapatan mereka, sehingga sangat sedikit porsi pendapatan yang bisa dialokasikan untuk pendidikan dan kesehatan, apalagi  saving  atau menabung. Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dilaksanakn Badan Pusat Statistik (BPS) di bulan Maret adalah satu-satunya survei yang mampu menangkap pola p

Singkong Saja Kok Harus Impor

Singkong atau ubi kayu merupakan salah satu makanan pokok rakyat Indonesia selain beras dan jagung. Tanaman palawija ini telah dikenal dan dibudidayakan secara luas di hampir seluruh wilayah Indonesia. Selama lima tahun terakhir, produksi singkong Indonesia terus meningkat secara konsisten. Pada tahun 2011, bedasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) produksi singkong nasional mencapai 24,08 juta ton. [] Sayangnya, produksi singkong dalam negeri yang terus meningkat ini ternyata belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi dan industri dalam negeri. Sehingga dengan sangat terpaksa, komoditi ini harus diimpor. Anda mungkin sedikit kaget, singkong kok harus diimpor. Tapi itulah faktanya, berdasarkan data BPS, sepanjang periode Januari hingga Juni 2011, Indonesia telah mengimpor sebanyak 4,73 ton singkong dengan nilai sebesar 21,9 ribu dolar AS. Singkong impor tersebut berasal dari Italia dan Cina. Dari Italia, Indonesia mengimpor 1,78 ton singkong atau senilai 20,64 ribu dolar AS, se

Indonesia, Negara Agraris Pengimpor Pangan

Terlepas dari transfromasi struktur ekonomi yang semakin mengantarkan Indonesia menuju negera industri , nampaknya tidak salah kalau kita masih menganggap Indonesia sebagai negara agraris. Setidaknya, ada dua alasan menagapa negeri ini masih dianggap sebagai negara agraris. Pertama, sektor pertanian masih menjadi salah satu  leading sector  dalam ekonomi Indonesia, ditunjukkan oleh pangsanya yang masih cukup tinggi terhadap pembentukan produk domestik bruto (PDB). Pada triwulan II 2011, pangsa sektor pertanian terhadap PDB sebesar 15,4 persen, nomor dua setelah sektor industri pengolahan yang mencapai 24,3 persen. Alasan kedua, sebagian besar, yakni sekitar 33 persen (42,47 juta), penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja menggantungkan hidupnya (bekerja) di sektor pertanian. Ironisnya, sebagai negara agraris Indonesia ternyata belum memiliki kemandirian dan kedaulatan dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan bagi rakyatnya. Hal ini ditunjukkan oleh nilai impor komoditi pangan Indon

Wowww, Orang Indonesia Menghabiskan Tidak Kurang 2 Triliun untuk Membeli Kembang Api

Bagi sebagian orang, malam Takbiran dan Tahun Baru tidak akan seru jadinya jika tidak bermain kembang api dan petasan. Karena itu, tidak heran kalau pusat-pusat penjualan kembang api dan petasan selalu diserbu oleh para pembeli saat menjelang Lebaran dan Tahun Baru. Hal ini tentu merupakan berkah bagi para pedagang kembang api dan petasan, karena dapat dipastikan omzet penjualan mereka akan naik berlipat-lipat. Anda mungkin tidak bakal menyangka kalau orang Indonesia ternyata menghabiskan setidaknya 2 triliun untuk membeli kembang api. Kembang api yang menghiasi langit kita saat malam Takbiran dan Tahun Baru mungkin relative murah. Harganya paling berkisar antara Rp 1.500 –Rp 30.000. Namun, karena bermain kembang api telah menjadi kebiasaan orang Indonesia di hampir seluruh pelosok Nusantara dan terjadi secara massive saat malam Takbiran dan Tahun Baru, uang yang dihabiskan untuk membeli kembang api ternyata tidak sedikit, tidak kurang dari 2 triliun (KOMPAS.com, 04/09/2011).

Data BPS Tidak Akurat, Salah Siapa?

“Essentially, all models are wrong, but some are useful” (George E.P Box, Professor Emeritus of Statistics di University of Wisconsin, Amerika Serikat) Dalam organisasi, setiap kegiatan evaluasi dan perencanaan pasti memerlukan data sebagai alat pendukung. Data dapat menjawab sejauh mana tingkat keberhasilan dari setiap program yang telah dijalankan. Dengan data pula, perencanaan yang baik dapat disusun. Perencanaan yang tidak berlandaskan pada data adalah pekerjaan meraba-raba dengan resiko kegagalan yang sangat tinggi. Dan tidak jarang, kegagalan tersebut harus dibayar dengan sangat mahal. Begitu pula dalam membangun negera ini, ketersediaan data (statistik) yang berkualitas sebagai bahan evaluasi dan perencanaan bagi para pengambil kebijakan adalah hal yang amat penting. Dan berdasarkan Undang-Undang Statistik No. 16 tahun 1997, Badan Pusat Statistik (BPS) adalah satu-satunya lembaga resmi yang diberikan tanggung jawab oleh pemerintah untuk itu. Untuk menyediakan statistik y

Data BPS: Jumlah Penduduk “Miskin” yang Hampir Miskin Terus Bertambah

Dalam rapat pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2012 di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (15/9), Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Rusman Heriawan menyampaikan fakta menarik terkait perkembangan angka kemiskinan Indonesia, yakni bertambahnya jumlah penduduk hampir miskin sebanyak 5 juta jiwa pada tahun 2011. Pertambahan sebesar 5 juta jiwa ini berasal dari 1 juta penduduk miskin yang naik status menjadi hampir miskin dan 4 juta penduduk tidak miskin yang turun status menjadi hampir miskin. BPS mencatat, selama tiga tahun terkahir, jumlah penduduk hampir miskin terus bertambah secara konsisten. Pada tahun 2009, jumlah penduduk hampir miskin berjumlah 20,66 juta jiwa atau sikitar 8,99 persen dari total penduduk Indonesia. Pada tahun 2010, jumlahnya bertambah menjadi 22,9 juta jiwa atau 9,88 persen dari total penduduk Indonesia. Dan tahun ini, jumlah penduduk hampir miskin telah mencapai 27,12 juta jiwa atau sekitar 10,28 persen dari total populas

Petani Indonesia Tetap Miskin

Tingginya jumlah penduduk miskin merupakan persoalan mendasar yang belum terselesaikan hingga kini. Data terakhir menunjukkan, pada Maret 2011, jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 30,02 juta jiwa (12,49 persen). Angka sebesar ini tentu masih sangat tinggi, bahkan lebih tinggi dari jumlah penduduk Malaysia yang hanya mencapai 28 juta jiwa. Itupun dengan catatan, mereka yang dikatakan miskin adalah yang berpengeluaran kurang dari Rp 233.740/kapita/bulan atau sekitar Rp 7.800/kapita/hari. Jika ditelaah lebih jauh, kemiskinan di Indonesia pada dasarnya merupakan fenomena perdesaan, lebih khusus lagi pertanian. Sekitar 2/3 penduduk miskin Indonesia adalah mereka yang tinggal di daerah perdesaan. Mudah untuk diduga, sebagain besar mereka bekerja di sektor pertanian, baik sebagai petani maupun buruh tani. BPS mencatat, pada Maret 2011, 57,78 persen penduduk miskin Indonesia bekerja di sektor pertanian. Itulah sebabnya hampir tidak adalagi generasi muda bangsa ini yang mau me

Setiap Tahun Penduduk Indonesia Bertambah 4 Juta, Berkah atau Beban?

Saat ini, jumlah penduduk Indonesia menempati posisi ke empat terbesar di dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat. Berdasarkan hasil sensus penduduk yang dilaksanakan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia mencapai 238 juta orang. Telah bertambah sekitar 31 juta orang dibanding sepuluh tahun yang lalu. Itu artinya, ibu-ibu di Indonesia melahirkan tambahan sekitar 3,5-4 juta penduduk setiap tahun. Tambahan sekitar 4 juta penduduk setiap tahun tentu tidaklah sedikit karena jumlah sebesar itu sama dengan jumlah penduduk Singapura saat ini. Tidak heran, dengan laju pertambahan penduduk sepesat itu, Indonesia menjadi negara dengan laju pertambahan penduduk paling pesat ke lima di dunia setelah India, China, Nigeria, dan Pakistan. Sebenarnya, jumlah penduduk yang tinggi berpotensi menguntungkan Indonesia secara ekonomi jika dapat dimanfaatkan dan dikendalikan laju pertumbuhannya. Hal ini dikarenakan struktur penduduk Indonesia yang lebih di

Kesejahteraan Petani Tak Kunjung Membaik

Nampaknya, sedikit di antara kita yang tahu kalau Sabtu lalu (24/9) bertepatan dengan Hari Tani. Seperti tahun-tahun sebelumnya, peringatan Hari Tani selalu diwarnai unjuk rasa dari ribuan petani. Sabtu lalu yang terjadi pun demikian, ribuan petani kembali melakukan unjuk rasa di depan Istana Negara yang dilanjutkan  long march  ke Bundaran Hotel Indonesia. Mengapa peringatan Hari Tani selalu diwarnai dengan unjuk rasa? Jawabannya adalah sederhana, hingga kini sebagian besar petani kita tetap miskin dan jauh dari sejahtera. Selama satu dekade terakhir, tingkat kesejahteraan petani tak kunjung membaik. Petani kita yang sebagian besar adalah petani kecil dan buruh tani tetap miskin. Sektor pertanian−perdesaan tetap saja menjadi kantong kemiskinan. Sekitar 63,2 persen penduduk miskin Indonesia tinggal di perdesaan dan mudah untuk diduga kalau sebagain besar mereka adalah petani kecil dan buruh tani. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Maret 2011, hampir 60 persen pendudu

Masih Banyak Sarjana “Nganggur” di Hari Sarjana

Nampaknya, sedikit yang tahu kalau hari Kamis lalu (29/9) adalah Hari Sarjana Nasional. Hari yang tentu istimewa bagi mereka yang telah bergelar sarjana. Sebagai insan unggul, para sarjana merupakan aset bangsa yang diharapkan dapat memberikan sumbangsih berarti dalam pembangunan. Sayangnya, di Hari Sarjana, masih banyak sarjana yang menganggur. Mereka bukannya memberi sumbangsih kepada pembangunan bangsa, tetapi justru menjadi beban pembangunan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Februari 2011, 8,12 juta (6,8 persen) angkatan kerja kita adalah pengangguran terbuka ─sama sekali tidak memiliki pekerjaan─ dan sekitar 600 ribu (7,6 persen) orang diaantaranya adalah mereka yang telah lulus universitas alias sarjana. Kondisi ini sedikit lebih baik jika dibandingkan dengan Agustus 2010 lalu. Kala itu, jumlah penganggur sarjana mencapai sekitar 700 ribu orang (8,5 persen). Jumlah penganggur sarjana dipastikan akan lebih banyak lagi jika defenisi pengangguran diperlu