Langsung ke konten utama

Data BPS Tidak Akurat, Salah Siapa?

“Essentially, all models are wrong, but some are useful”
(George E.P Box, Professor Emeritus of Statistics di University of Wisconsin, Amerika Serikat)

Dalam organisasi, setiap kegiatan evaluasi dan perencanaan pasti memerlukan data sebagai alat pendukung. Data dapat menjawab sejauh mana tingkat keberhasilan dari setiap program yang telah dijalankan. Dengan data pula, perencanaan yang baik dapat disusun. Perencanaan yang tidak berlandaskan pada data adalah pekerjaan meraba-raba dengan resiko kegagalan yang sangat tinggi. Dan tidak jarang, kegagalan tersebut harus dibayar dengan sangat mahal.

Begitu pula dalam membangun negera ini, ketersediaan data (statistik) yang berkualitas sebagai bahan evaluasi dan perencanaan bagi para pengambil kebijakan adalah hal yang amat penting. Dan berdasarkan Undang-Undang Statistik No. 16 tahun 1997, Badan Pusat Statistik (BPS) adalah satu-satunya lembaga resmi yang diberikan tanggung jawab oleh pemerintah untuk itu.

Untuk menyediakan statistik yang berkualitas bagi pembangunan bangsa, BPS melakukan pengumpulan data melalui berbagai sensus dan survei. Sensus dilakukan dengan mencacah semua unit populasi di seluruh wilayah Republik Indonesia untuk memperoleh karakteristik populasi pada saat tertentu. Sedangkan survei dilakukan dengan mencacah sampel untuk memperkirakan karakteristik populasi. Dari berbagi sensus dan survei inilah kemudian dihasilkan data-data seperti jumlah penduduk dan karakteristiknya, tingkat pengangguran, inflasi, pertumbuhan ekonomi, jumlah penduduk miskin, dan lain sebagainya.

Dalam pelaksanaanya, pengumpulan data lebih banyak dilakukan BPS melalui survei ketimbang sensus. Hal ini dikarenakan biaya yang harus dikeluarkan untuk sensus sangat mahal bila dibandingkan dengan survei yang hanya mencacah sebagian unit populasi. Sensus penduduk tahun 2010 misalnya, menghabiskan biaya hampir 4 triliun rupiah−itulah sebabnya, kenapa sensus hanya dilakukan 10 tahun sekali berdasarkan rekomendasi PBB. Selain itu, tidak seperti dalam survei, infromasi (data) yang dapat diperoleh dari sensus sangat terbatas.

Merekayasa data pantang buat BPS
Statistik berkualitas adalah statistik yang dapat memenuhi ekspektasi atau harapan dari para penggunanya. Setidaknya, ada dua hal utama yang menjadi harapan pengguna data terhadap data yang digunakan, yakni kekinian (up to date) dan akurasi.

Akurasi data BPS adalah hal yang paling sering dipersoalkan oleh masyarakat luas. Tidak jarang di antara mereka menuding kalau data-data BPS syarat akan rekayasa demi kepentingan penguasa, sehingga sama sekali tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya di lapangan. Data jumlah penduduk miskin misalnya, seringkali mendapat sorotan tajam dan kritikan dari berbagai kalangan. BPS seringkali dituduh melakukan kebohongan publik terkait data ini.

Dalam menyelenggarkan kegiatan statistik, BPS sadar bahwa data yang dihasilkan akan menentukan arah pembangunan negera ini. Untuk itu, sebagai anak bangsa yang juga mencintai negera ini, para insan BPS berusaha semaksimal mungkin mempersembahkan data yang akurat. Ketika melakukan kegiatan statistik, BPS selalu patuh pada prinsip-prinsip ilmiah (kaidah ilmu statistik) dan senantiasa menjadikan kejujuran sebagai panglima. Merekayasa data pantang buat BPS.

Dalam kegiatan statistik selalu ada error
Di dunia ini, di negara manapun, Anda tidak akan mendapatkan satupun sensus atau survei yang benar-benar sempurna, bebas dari kesalahan dan kekurangan. Karena itu, para pengguna data seharusnya sadar bahwa angka statistik pada dasarnya hanyalah sebuah perkiraan yang diupayakan sebisa mungkin tidak jauh berbeda dengan nilai yang diperkirakan melalui penerapan seperangkat metode ilmiah, bukan sebuah kebenaran absolut yang tidak mengandung kesalahan.

Ada dua jenis kesalahan (error) yang sudah pasti terjadi dalam setiap kegiatan statistik, yakni sampling error dan non sampling error. Dua hal ini sangat penting untuk dipahami oleh pengguna data. Sampling error adalah kesalahan yang hanya terjadi ketika kita melakukan pengumpulan data lewat suatu survei. Kesalahan ini muncul karena kita hanya mencacah (mendata) sebagian populasi untuk mengestimasi atau memperkirakan karakteristik populasi. Yang namanya perkiraan, sudah pasti tidak ada yang tepat 100 persen. Kesalahan akan selalu ada. Sampling error dapat ditekan melalui penggunaan teknik penarikan sampel yang tepat dan memperbesar ukuran sampel. Untuk yang terakhir ini dibutuhkan tambahan biaya.

Sementara itu, non sampling error adalah kesalahan yang berhubungan dengan teknis pengumpulan data di lapangan, sumbernya bisa dari pencacah (pengumpul data) dan atau responden (sumber data). Contoh-contoh non sampling error yang kerap kali terjadi adalah responden tidak terdata atau lewat cacah, serta isian kuesioner yang salah karena kelalaian petugas atau jawaban responden yang tidak benar.

Bukan sepenuhnya kesalahan BPS
BPS tidak memungkiri kalau dalam setiap kegiatan statistik (sensus maupun survei) dua jenis kesalahan ini pasti terjadi, yang tentunya akan sangat memengaruhi kualitas data yang dihasilkan. Dan ini sebenarnya terjadi bukan sepenuhnya karena kesalahan BPS. Pemerintah, dan masyarakat secara umum juga turut andil dalam hal ini.

Selama ini perhatian pemerintah terhadap pengembangan kegiatan statistik masih sangat kurang. Pemerintah terkadang hanya menginginkan data tanpa mau tahu bagaimana data tersebut dihasilkan. Dalam hal data kemiskinan misalnya, sebelum tahun 2006 BPS diminta oleh pemerintah dan DPR untuk menghitung jumlah penduduk miskin setiap tahun, sementara sampel (SUSENAS) yang ada hanya memungkinkan untuk dilakukan penghitungan tiga tahun sekali, BPS diminta untuk mencacah sekitar 49 juta rumah tangga, sementara jumlah pegawai BPS hanya 16.000 orang.

Tingkat kesadaran masyarakat terhadap pentingnya statistik juga masih sangat rendah. Di lapangan, masyarakat seringkali tidak memberikan informasi yang benar kepada petugas BPS ketika diwawancarai karena merasa waktunya tersita untuk hal yang tidak perlu. Bahkan, tidak jarang mereka menolak untuk diwawancarai dengan berbagi alasan, misalnya sibuk. Begitu pula dengan dunia usaha, tingkat non response (tidak bersedia dicacah) pada setiap sensus−ekonomi−dan survei yang melibatkan perusahaan-perusahaan di negeri ini sebagai responden sangat tinggi−apa lagi perusahaan asing−mereka tidak pernah terbuka soal aset dan data-data penting yang dimiliki. Tidak heran, kalau survei Industri Besar Sedang (IBS) menjadi survei dengan tingkat partisipasi (response rate) yang paling rendah dari survei-survei yang dilaksanakan BPS, yakni kurang dari 60 persen.

Karena itu, kalau kualitas data BPS yang ada sekarang belum sepenuhnya sesuai dengan harapan publik, maka hendaknya jangan hanya BPS yang disalahkan, karena pihak lain (pemerintah dan masyarakat secara umum) sedikit banyak juga memiliki andil didalamnya. Untuk itu, BPS berharap semua pihak mau bekerjasama dengan baik ketika menjadi responden pada setiap sensus dan survei yang dilaksanakan oleh BPS demi terwujudnya statistik berkualitas untuk pembangunan bangsa.


****

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga