Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2012

Model dengan Autokorelasi, Kenapa Tidak?

Ketika bekerja dengan model regresi data panel, salah satu persoalan yang kerap muncul adalah adanya serial correlation pada residual. Beberapa hari belakangan ini, saya kerap mendapat pertanyaan terkait masalah ini dari adik-adik STIS yang sedang menyusun skripsi. Terjadinya serial correlation sebetulnya merupakan konsekwensi adanya unsur series (runtun waktu) pada data. Semakin panjang series yang digunakan, semakin besar pula peluang terjadinya serial correlation pada residual. Saat terjadi serial correlation , residual berkorelasi antar waktu atau berkorelasi dengan dirinya sendiri pada lag   yang berbeda. Kondisi ini menyebabkan standard error hasil estimasi keofisien regresi tak bisa lagi digunakan. Dengan demikian, segela bentuk uji statistik (uji signifikansi koefisien regresi atau uji t , misalnya) tak lagi valid. Jika dipaksakan, konklusi yang dihasilkan akan missleading alias menyesatkan....parah banget . Itulah sebab, ketika terdapat indikasi terjadi ser

Dosa Para Peramal (Produksi Padi)

Petani/buruh tani sedang melakukan panen Tahun 2011 lalu, pemerintah telah menetapkan target ambisius terkait produksi beras nasional, yakni surplus 10 juta ton beras pada tahun 2014. Maklum, saat ini, produksi dan stabilitas harga beras nasional masih menjadi salah satu indikator kinerja pemerintah. Target ambisius  tersebut mengundang pesimisme dari sejumlah kalangan. Pasalnya, sederet tantangan yang dihadapi sektor pertanian–tanaman pangan–dewasa ini tidaklah ringan. Laju konversi lahan pertanian (khususnya lahan sawah) yang kian pesat, ketidakpastian pasokan air, anomali iklim, tanah yang tak lagi subur, sumberdaya manusia yang tak lagi mendukung, dan sederet tantangan berat lainnya menjadikan upaya menggenjot produksi padi nasional bukanlah pekerjaan yang remeh. Soal konversi lahan sawah, misalnya, menurut sejumlah kalangan mencapai 100.000 hektar per tahun. Sementara itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) menyebutkan, laju konversi

Novi Wulandari Mantap Pilih ITS (Bukan STIS)?

Beberapa waktu lalu, sosok Novi Wulandari (Novi), peraih nilai Ujian Akhir Nasional (UAN) tertinggi kedua nasional untuk mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam tingkat SMA, sempat melambungkan nama STIS. Betapa tidak. Menurut pemberitaan sejumlah media, gadis asal Lamongan, Jawa Timur itu, tegas menolak tawaran bea siswa dari sejumlah perguruan tinggi ternama, seperti UI, UGM, dan ITS. Dia malah memutuskan untuk masuk STIS. Saya telah mengulas hal ini dalam dua tulisan saya sebelumnya: ”Jangan Sampai Gadis Asal Lamongan Itu Patah Hati” dan “ JanganSampai Gadis Asal Lamongan Itu Jadi Bonsai." Tak bisa ditampik, keputusan Novi di atas sedikit menerbitkan rasa bangga dalam diri saya terhadap STIS. Dan, saya kira, hal yang sama juga terjadi pada alumni AIS/STIS yang lain. Ini tergambar jelas pada sejumlah komentar terhadap artikel – yang dikopas dari Kompas.com – mengenai sikap Novi yang mantap memilih STIS, yang dimuat di portal BPS ( Community.bps.go.id ) pada 1 Juni 2012. D

Jangan Sampai Gadis Lamongan itu Jadi Bonsai

Foto: Nyolong punya adek tingkat. Sebelum hilang dari ingatan saya yang cepat lupa, lewat tulisan ini, saya ingin membagikan pengalaman menarik saat menyelesaikan penyusunan skripsi di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) dua tahun yang lalu. Pengalaman ini sebetulnya juga terkait dengan apa yang telah saya tulis sebelumnya: " Jangan Sampai Gadis Asal Lamongan itu Patah Hati". Karena terlanjur jatuh hati pada tema kemiskinan di tahun ketiga, saya dengan mantap memutuskan untuk mengambil topik mengenai kemiskinan dalam penyusunan skripsi sebagai prasyarat merengkuh gelar Sarjana Sains Terapan (SST) dari STIS. Saya fokus pada kemiskinan di wilayah perdesaan, tempat tinggal bagi sekitar 63 persen penduduk miskin negeri ini yang jumlahnya mendekati angka 30 juta jiwa. Melalui skripsi bertajuk Kaitan Antara Pertumbuhan Sektor Pertanian, Non Pertanian, dan Kemiskinan di Perdesaan Indonesia: Analisis Data Panel 2002-2008 , saya mengajukan tesis bahwa sektor pertanian me

Jangan Sampai Gadis Asal Lamongan itu Patah Hati

Tulisan ini terinspirasi berita bertajuk Novi Wulandari Mantap Pilih STIS yang diturunkan Kompas.Com Jumat lalu (1/4), tentang seorang siswa SMA kurang mampu asal Lamongan, Jawa Timur, peraih nilai Ujian Akhir Nasional (UAN) tertinggi kedua nasional untuk mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam, yang menolak tawaran bea siswa dari sejumlah perguruan tinggi negeri ternama (UI, UGM, dan ITS) dan lebih memilih masuk Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) demi mengejar mimpinya menjadi seorang statistisi. Novi telah dinyatakan lulus tes tahap satu (tertulis) STIS dan sedang menunggu pengumuman tes tahap II (psikotes). Selain karena minatnya yang begitu tinggi pada Statistika, alasan Novi memilih STIS adalah dia tidak akan dipusingkan soal biaya selama kuliah dan pekerjaan ketika lulus nantinya. Maklum, STIS adalah sebuah perguruan tinggi kedinasan (PTK) yang berafiliasi dengan Badan Pusat Statistik (BPS). Mahasiswanya mendapat  keistimewaan berupa: biaya kuliah gratis, uang saku pe