Langsung ke konten utama

Model dengan Autokorelasi, Kenapa Tidak?


Ketika bekerja dengan model regresi data panel, salah satu persoalan yang kerap muncul adalah adanya serial correlation pada residual. Beberapa hari belakangan ini, saya kerap mendapat pertanyaan terkait masalah ini dari adik-adik STIS yang sedang menyusun skripsi.

Terjadinya serial correlation sebetulnya merupakan konsekwensi adanya unsur series (runtun waktu) pada data. Semakin panjang series yang digunakan, semakin besar pula peluang terjadinya serial correlation pada residual.

Saat terjadi serial correlation, residual berkorelasi antar waktu atau berkorelasi dengan dirinya sendiri pada lag  yang berbeda. Kondisi ini menyebabkan standard error hasil estimasi keofisien regresi tak bisa lagi digunakan. Dengan demikian, segela bentuk uji statistik (uji signifikansi koefisien regresi atau uji t, misalnya) tak lagi valid. Jika dipaksakan, konklusi yang dihasilkan akan missleading alias menyesatkan....parah banget.

Itulah sebab, ketika terdapat indikasi terjadi serial correlation, baik itu positif maupun negatif, mereka yang tahu konsekwensi kehadiran masalah yang satu ini bakal tak enak hati. Untuk mahasiswa yang sedang menyusun skripsi mungkin bakal sulit tidur. Terutama kala jadwal seminar atau sidang skripsi kian dekat, sementara solusinya belum kunjung ditemukan.

Statistik Durbin-Watson atau kerap disingkat DW merupakan salah satu indikator yang menunjukkan bahwa hasil estimasi model regresi kita “tak sehat” alias menderita serial-correlation. Idealnya, nilai statistik DW tak boleh terlalu jauh dari angka dua. Jika nilai DW jauh melebihi dua, ini merupakan indikasi adanya serial correlation negatif pada residual. Jika sebaliknya, jauh lebih kecil, ini merupakan indikasi adanya serial correlation positif. Kesimpulan apakah telah terjadi serial correlation (positif atau negatif) akan lebih presisi jika didasarkan pada uji statistik terhadap statistik DW yang diperoleh dari hasil estimasi model.

Solusi
Terus, apa yang harus dilakukan ketika hasil estimasi model regresi data panel kita menderita serial correlation? Apakah model tersebut tak bisa lagi digunakan atau perlu didesain ulang dengan mengganti atau memasukkan variabel baru? Mengganti topik skripsi atau solusi-solusi lain yang menjadikan perjuangan di tingkat akhir kian dramatis. Jawabannya, TIDAK. Ibarat virus, kita hanya perlu menyediakan anti virus-nya sehingga tidak menggerogoti “kesehatan” model kita, dan kesehatan kita tentunya.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, masalah berawal ketika virus serial correlation menyerang standard error (SE) hasil estimasi koefisien regresi. Karenanya, yang perlu kita lakukan adalah meningkatkan kekebalan SE sehingga tegar (robust) terhadap gempuran virus serial correlation.

Bagaimana caranya? Secara teknik statistik, ini dilakukan dengan mengoreksi  SE (nilai DW dan statistik lainnya tidak berubah, perubahan hanya terjadi pada nilai SE). Dalam regresi data panel, teknik ini dikenal dengan white period robust standard error. Jika Anda menggunakan E-views, teknik ini dapat dilakukan dengan memilih white period  kala menentukan metode yang akan digunakan untuk mengestimasi koefisien kovarian pada menu options. Dengan mengkilik white period, Anda tak perlu lagi risau dengan kehadiran virus serial correlation. Anda tak perla lagi galau meskipun nilai statistik DW tidak dekat ke angka dua.(*)

Selamat mencoba

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunak...

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi,...

Beda Perempuan Jepang dan Perempuan Indonesia

Sesuai judulnya, fokus dari tulisan ini adalah bahasan mengenai perbedaan antara perempuan Jepang dan perempuan Indonesia. Tentu ada banyak perbedaan di antara keduanya. Dari sekian banyak perbedaan itu, tulisan ini mencoba mengulas perbedaan antara perempuan Jepang dan Indonesia dalam hal menikah dan memiliki anak. Perbedaan antara perempuan Jepang dan Indonesia dalam hal menikah dan memiliki anak tentu tidak lepas dari pengaruh posisi kedua negara, yang satu sebagai negara maju (Jepang) dan satunya lagi sebagai negara berkembang atau dunia ketiga (Indonesia). Secara rata-rata, perempuan Jepang sudah pasti well educated jika dibandingkan dengan perempuan Indonesia. Kondisi ini tentu sangat memengaruhi perbedaan paradigma atau cara pandang perempuan kedua negara terhadap yang namanya menikah dan memiliki anak. Enggan buru-buru menikah Secara tradisional, umur menikah ( marriage age ) perempaun Jepang adalah antara 23 sampai dengan 25 tahun. Di Jepang, perempuan yang belum ...