Langsung ke konten utama

Postingan

Upaya Memperbaiki Inakurasi Data Produksi Jagung

Dalam debat  calon presiden kedua yang membahas topik energi, pangan, infrastruktur, sumber daya alam, dan lingkungan pada 17 Februari lalu, presiden Joko Widodo melakukan kekeliruan kecil ketika mengutip data impor jagung.  Beliau mengatakan bahwa jumlah impor komoditas ini turun secara substansial dari 3,5 juta ton pada 2014 menjadi hanya 180 ribu ton pada tahun lalu. Sebaliknya, data resmi Badan Pusat Statistik (BPS) justru menunjukkan angka yang lebih tinggi, mencapai 730.918 ton sepanjang 2018.  Namun, tampaknya masyarakat tidak menyadari (atau mungkin tidak tahu) bahwa masalah sebenarnya bukanlah akurasi data impor yang dikutip presiden, tetapi data produksi yang dijadikan dasar pemerintah dalam menentukan kebijakan importasi jagung. Faktanya, bias kebijakan akibat data produksi yang tidak akurat kerap terjadi. Sejak lama, impor jagung seringkali menyulut debat publik dan dipersoalkan banyak kalangan karena dilakukan ketika data menunjukkan produksi dalam negeri
Postingan terbaru

Catatan Mengenai Akses Air Bersih di Indonesia

Di tengah krisis yang kian memburuk di Venezuela, air bersih menjadi barang yang sangat berharga untuk bertahan hidup di negara tersebut. Di sana, seliter air nilainya seperti emas, sangat mahal. Hubungan politik antara Malaysia dan Singapura yang kerap memanas belakangan ini juga dipicu oleh persoalan air bersih. Harga penjualan air bersih oleh Malaysia ke Singapura ( water agreement ) yang sudah ketinggalan jaman karena ditetapkan pada tahun 1962 dinggap sudah tidak relevan. Perdana Menteri Malaysia Mahatir Mohammad menginginkannya untuk direvisi sementara Singapura tetap bersikukuh dengan kesepakan yang lama. Alasannya tentu sangat jelas, ongkos ekonomi yang harus ditanggung Singapura jika kontrak tersebut direvisi bakal sangat besar karena negara kecil lagi miskin sumber daya alam ini amat bergantung pada suplai air dari Malaysia. Fakta-fakta ini menegaskan kepada kita betapa pentingnya komoditas air bersih dalam kehidupan manusia, terutama ketika ia menjadi barang lang

Pentingnya Penguasaan Data dalam Debat Capres dan Cawapres

Debat kedua calon presiden 2019 bertema energi, pangan, infrastruktur, sumberdaya alam, dan lingkungan hidup beberapa waktu lalu (17/02) menyisakan sejumlah catatan. Salah satunya adalah lemahnya penguasaan data kedua kandidat dalam mengulas sejumlah isu strategis di seputar tema debat. Penguasaan data merupakan aspek penting untuk menilai sejauh mana kedalaman pemahaman para calon terhadap masalah yang ada secara konkret dan berbasis fakta ( fact-based ). Karena itu, harapan kita adalah pada malam itu bakal terjadi adu argumen yang diperkuat dengan data, bukan hanya sekadar komunikasi verbal yang tidak terukur dan cendurung normatif. Sayangnya, apa yang disuguhkan kepada publik sepanjang debat masih jauh dari harapan. Keduanya, boleh dibilang masih gagap dalam mengulas masalah dan beradu argumen dengan data. Meski jauh lebih baik dari sisi penggunaan data, kandidat nomor urut 01, misalnya, beberapa kali menyajikan data yang keliru terkait luas kebakaran hutan, produksi kelap

Pelajaran dari China untuk Cebong dan Kampret

Tulisan ini diilhami pengalaman saya selama menyelesaikan tugas akhir (tesis) yang cukup melelahkan. Beberapa waktu yang lalu, saya menuntaskan presentasi akhir tesis saya di hadapan sekitar dua pulahan orang audien yang menyesaki ruang seminar Department of Econometrcis and Business Statistics, Monash University, Australia. Saya rada gugup di awal-awal. Bukan karena professor, doktor, dan mahasiswa doktoral memelototi saya, tapi karena presentasi harus disampaikan dalam bahasa Inggris. Alhamdulillah presentasi saya berjalan lancar. Dari semua audien yang hadir, sebagian besar beretnis  China . Seminggu sebelumnya, supervisor saya yang juga orang China, menginisiasi sebuah latihan presentasi di ruang yang sama. Semua audien yang hadir adalah orang China. Bahkan, saat mengetik tulisan ini di lab komputer yang dipenuhi belasan orang, semuanya adalah mahasiswa asal China. Hanya saya seorang diri yang bukan China. Tidak hanya itu, sebagian besar referensi utama yang menjad

Sejumlah Isu Terkait Data Produksi Beras, Surplus Ideal dan Amnesti Data

BPS  baru saja mirilis perkiraan  data  produksi  beras  tahun 2018 yang didasarka pada metode baru.  Surplus  beras ternyata diperkirakan hanya 2,85 juta ton. Jauh lebih rendah dari perkiraan Kementan yang sekitar 13 juta ton. Angka ini juga menunjukkan, hipotesis bahwa angka produksi padi ketinggian yang menyeruak sejak 1997 memang benar adanya. Hasil penelitian BPS dengan menggunakan data hasil Sensus Pertanian 2013 (ST13) sebetulnya menunjukkan potret yang kurang lebih sama. Berdasarkan hasil ST13, luas panen padi diperkirakan sekitar 9 juta ha. Angka ini tidak jauh berbeda dengan perkiraan BPS pada tahun ini dengan metode KSA yang sekitar 10,9 juta ha. Itu artinya, hasil ST13 cukup akurat meski menggunakan metode wawancara ( recalling ) yang cenderung  underestimate . Orang lalu bertanya, surplus beras kok masih  impor , mengapa? Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Keputusan impor beras didasarkan pada dua parameter. Pertama, harga beras di tingkat konsumen 10 p

Apakah Garis Kemiskinan BPS Masuk Akal?

Profil  kemiskinan  yang baru saja dirilis  Badan Pusat Statistik ( BPS ) menuai polemik. BPS menyebutkan bahwa tingkat kemiskinan nasional per Maret 2018 telah menyentuh satu digit, yakni sebesar 9,82 persen dari total penduduk. Angka ini terendah sepanjang Indonesia merdeka. Banyak masyarakat mempertanyakan persoalan standar atau garis kemiskinan yang digunakan BPS. Diketahui, penduduk dianggap miskin jika memiliki pengeluaran per kapita per bulan lebih kecil dari Rp 401.220. Menurut mereka, ukuran ini tidak realistis karena itu artinya orang dianggap tidak miskin jika memiliki pengeluran per hari minimal Rp 13.333. Padahal, harga gorengan saja bisa mencapai Rp 2 ribu per biji. Lalu bagaimana mendudukkan persoalan ini secara obyektif dan ilmiah? Mari kita telaah dengan menggunakan angka kemiskinan periode sebelumnya dengan garis kemiskinan yang lebih rendah. Pada Maret 2017, garis kemiskinan nasional sebesar Rp 374.478 (angka rata-rata dari garis kemiskinan setiap provi

Apakah Ramalan Dukun Lebih Akurat dari Hasil Survei?

"There are four ways economists can lose their reputation. Gambling is the quickest, sex is the most pleasurable and drinking the slowest. But forecasting is the surest." (Max Walsh, The Age, 1993) Hasil hitung cepat pemilihan gubernur (Pilgub) Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Jawa Tengah membuat sejumlah pihak meragukan reputasi lembaga survei dalam menakar tingkat keterpilihan (elektabilitas) para kandidat. Betapa tidak, berdasarkan hasil survei sejumlah lembaga sepanjang Mei-Juni 2018, elektabiltas pasangan Sudirman Said-Ida Fauziah dalam pilgub Jawa Tengah hanya sebesar 12-23 persen. Sementara hasil hitung cepat, yang boleh dibilang, lebih mendekati hasil perhitungan resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebutkan bahwa perolehan suara keduanya mencapai 40 persen lebih. Hal yang sama juga terjadi di Jawa Barat. Hasil survei sejumlah lembaga sebelumnya memotret bahwa elektabilitas pasangan Sudrajat-Ahmad Syaikhu rata-rata di bawah 10 persen sepanjang Mei-Jun