Langsung ke konten utama

Pelajaran dari China untuk Cebong dan Kampret



Tulisan ini diilhami pengalaman saya selama menyelesaikan tugas akhir (tesis) yang cukup melelahkan. Beberapa waktu yang lalu, saya menuntaskan presentasi akhir tesis saya di hadapan sekitar dua pulahan orang audien yang menyesaki ruang seminar Department of Econometrcis and Business Statistics, Monash University, Australia.

Saya rada gugup di awal-awal. Bukan karena professor, doktor, dan mahasiswa doktoral memelototi saya, tapi karena presentasi harus disampaikan dalam bahasa Inggris. Alhamdulillah presentasi saya berjalan lancar.
Dari semua audien yang hadir, sebagian besar beretnis China. Seminggu sebelumnya, supervisor saya yang juga orang China, menginisiasi sebuah latihan presentasi di ruang yang sama. Semua audien yang hadir adalah orang China. Bahkan, saat mengetik tulisan ini di lab komputer yang dipenuhi belasan orang, semuanya adalah mahasiswa asal China. Hanya saya seorang diri yang bukan China.
Tidak hanya itu, sebagian besar referensi utama yang menjadi lokus dari tesis saya itu ditulis oleh orang China. Itulah faktanya, dewasa ini mereka sangat dominan. Tidak membikin heran jika saat ini China telah melampaui Amerika Serikat dalam hal riset.
Kampus-kampus utama China semakin diperhitungkan di kancah global. Beberapa di antaranya bahkan mampu menembus jajaran 50 kampus terbaik dunia. Merujuk pada peringkat universitas di dunia yang dipublikasikan oleh QS University World Ranking pada tahun ini, universitas terbaik di China, Tsinghua University, saat ini menempati peringkat 17 dunia.
Saya tidak bermaksud rasial dengan tulisan ini. Justru sebaliknya, saya ingin menunjukkan bahwa ada banyak hal yang bisa kita ambil sebagai pelajaran dari dominasi China di berbagai bidang belakangan ini.
Lalu mengapa China bisa begitu dominan? Tulisan ini barangkali terlalu menyederhanakan persoalan dalam mencari jawaban yang pas dari pertanyaan tersebut.
China saat ini pada dasarnya adalah produk dari sebuah peradaban sangat tua yang telah berusia ribuan tahun. Di masa lalu, mereka sudah sangat maju. Dalam bukunya yang berjudul 'When China Rule the World' Martin Jacques menyajikan banyak contoh terkait hal ini. Sekadar menyebutkan salah satunya, ratusan tahun sebelum Napoleon berhasil mengarungi Samudera Atlantik dengan kapalnya yang megah, armada China dengan ukuran kapal yang hampir sepuluh kali lebih besar telah berhasil menjangkau pesisir Afrika.
Napoleon sendiri pernah mengibaratkan China sebagai seekor singa yang sedang tidur. Namun ketika ia bangun, ia bakal mengguncang dunia. Dan, Mantan Perdana Menteri Australia Kevin Rudd mengatakan, saat ini singa itu tidak hanya sekadar bangun, tapi ia juga berjalan bahkan berlari dengan gagah. Dan, seluruh dunia mau tak mau harus mengikuti arah langkahnya.
Namun, peradaban yang sangat maju itu tak bisa melewan kekuatan kolonialisme. China takluk dan menjadi terpinggirkan bahkan di tanahnya sendiri. Kolonialisme menumbuhkan sentimen anti Barat. Itulah yang terjadi ketika di negeri sendiri (Shanghai) mereka dapati tulisan yang sangat merendahkan seperti ini "no dogs and Chinese allowed". China lalu memilih komunisme sebagai anti tesa demokrasi yang dipromosikan oleh Barat. Sistem politik China lalu menjadi sangat kompak. Hanya ada satu partai politik dengan kekuatan yang tidak terbatas, yakni Partai Komunis China. Negara ini sangat sentralistik.
Pada mulanya, China begitu sangat tertutup. Persis seperti Korea Utara saat ini. Namun, lompatan kecil dengan efek luar biasa terjadi ketika Deng Xiaoping berujar "we have to open the door". China kemudian membuka diri terhadap kapitalisme. Tapi hal ini hanya terjadi dalam bidang ekonomi. Secara politik, negara ini tak berubah.
Saat pertama kali membuka diri, ekonomi China hanya seperduapuluh ekonomi AS. Berkat pertumbuhan ekonomi yang rata-rata sekitar 8 persen selama beberapa dekade terakhir. Saat ini, ekonomi China adalah setengah dari ukuran ekonomi AS. Dan hanya tinggal menunggu waktu, China bakal mengalahkan AS.
Salah satu rahasia di balik prestasi mengesankan ini adalah stabilitas. China adalah negara dengan populasi besar yang cenderung homogen (didominasi oleh ras Han) dan sistem politik yang memungkinkan agenda pembangunan bisa diterapkan secara konsisten dalam jangkan panjang.
Terkait hal ini, Jack Ma pendiri Alibaba pernah menyampaikan dalam sebuah forum bisnis, orang mungkin tidak setuju dengan sistem politik yang dipilih China. Tapi fakta menunjukkan, dengan sistem ini, dengan hanya satu partai, China berhasil menciptakan stabiltas yang sangat mendukung perkembangan ekonominya.
Yang tidak kalah penting. China sangat anti korupsi. Ribuan orang telah ditembak mati karena terlibat kasus korupsi. Jadi, kalau Indonesia ingin berajaya di pentas dunia kuncinya pada stabilitas dan perang terhadap korupsi.
Sayangnya, hal ini tidak mudah. Populasi kita sangat besar dengan keragaman yang sangat tinggi (suku, agama, dan ras). Pada saat yang sama kita memilih jalan demokrasi. Alhasil, potensi konflik sangat rentan terjadi. Hal ini kian diperparah dengan korupsi yang telah menjadi budaya.
Saat ini, kita dapati masyarakat kita semakin terbelah. Orang saling menghardik dengan umpatan cebong dan kampret hanya karena pilihan politik yang berbeda. Kalau terus seperti ini sulit rasanya kita bakal berlari mengejar ketertinggalan.
Cerita tentang negara dengan potensi yang luar biasa untuk maju namun menyia-nyiakan banyak peluang seperti yang dituliskan oleh Anne Booth dalam bukunya, 'The Indonesian Economy in the Nineteenth and Twentieth Centuries: A history of Missed Opportunities Modern Economic History of Southeast Asia', bakal terus berlanjut. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga