Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2017

Salah Kaprah Soal Kemajuan

Suatu ketika, dalam sebuah workshop mengenai pembangunan pertanian, seorang  ahli pengembangan wilayah dari Institut Pertanian Bogor mengajukan sebuah pertanyaan kepada kami, para peserta workshop. Pertanyaan itu adalah “Menurut Anda, apakah pembangunan dikatakan berhasil bila tak ada lagi desa, atau dengan kata lain semua desa telah berubah menjadi kota?”. Hampir semua peserta menjawab setuju atas pertanyaan ini. Dan ternyata, jawaban persetujuan itu adalah sebuah kekeliruan. Celakanya, kekeliruan ini ternyata jamak terjadi di kalangan para pemangku kepentingan dan pengambil kebijakan yang mengurusi pembangunan di negeri ini. Akibatnya, pembangunan acapkali bias ke kota dan sektor pertanian-pedesaan kian terpinggirkan. Wilayah pedesaan yang perekonomiannya bercorak pertanian tidak melulu harus menjadi wilayah perkotaan—yang perekonomiannya lebih bercorak industri dan jasa—agar dikatakan maju. Dalam soal hubungan kota  dan desa yang ideal, pembangunan dikatakan berhasil

Nasib Sektor Pertanian di Jakarta

Meski perekonomiannya lebih ditopong oleh sektor industri dan jasa, bukan berarti aktivitas bertani benar-benar lenyap dari ibu kota. Hal ini tercermin dari sumbangsih sektor pertanian yang mencapai 0,1 persen terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jakarta. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, dari 1.104 triliun pendapatan (PDRB) yang tercipta dari seluruh aktivitas ekonomi sepanjang tahun 2012 di Jakarta, sekitar 968 miliar di antaranya disumbang oleh sektor pertanian. Secara lebih rinci, potret sektor pertanian di ibu kota disajikan oleh hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST-2013) yang dirilis BPS pada awal bulan ini. Hasil ST-2013 menyebutkan, jumlah rumah tangga usaha pertanian (petani) di ibu kota mencapai 12.287 rumah tangga. Mereka disebut petani karena melakukan kegiatan pertanian dengan motif usaha atau sebagai sumber penghidupan, bukan hanya sekedar hobi atau sekedar kesenangan belaka. Sebagian besar petani di ibu kota terdapat wilayah

Ironi di Sektor Pertanian

Telah lama disadari, kekayaan alam yang melimpah merupakan modal penting bagi Indonesia untuk bersaing dengan negara-negara lain di pentas dunia. Sayang potensi besar ini belum betul-betul kita manfaatkan. Lahan pertanian yang luas lagi subur, misalnya, menjadikan produksi komoditas pertanian kita melimpah. Tidak heran bila saat ini Indonesia menjadi negara produsen utama sejumlah komoditas pertanian di kancah global. Dalam soal beras, misalnya, meski belakangan ini kita sering mengimpor beras atau menjadi negara net importir, produksi beras di dalam negeri sejatinya melimpah. Saat ini, Indonesia menempati posisi ke-3 sebagai negeri penghasil beras terbesar di dunia setelah China dan India dengan produksi beras ditaksir mencapai 37 juta ton. Sayang, beras sebanyak ini ternyata belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan 250 juta penduduk. Hal ini tercermin dari gejolak harga beras yang kerap terjadi di pasar. Salah satu penyebabnya adalah konsumsi beras penduduk Indonesia y

Fakta Tentang Rokok di Indonesia: Banyak Ibu yang Merokok

Semua dokter di muka bumi sepakat, rokok tak baik (baca: buruk) untuk kesehatan. Akibat buruk yang yang ditimbulkan oleh asap rokok juga telah tertera dengan julus pada bungkus rokok. Akibat buruk itu, antara lain, adalah meyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin. Sayangnya, meski buruk untuk kesehatan, jumlah perokok di negeri ini masih sangat tinggi. Hasil Global Adult Tabacco Survey (GATS) yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2011 menyebutkan, sekitar 59,9 juta atau 34,8 persen penduduk dewasa (berumur di atas 15 tahun) Indonesia adalah pengguna tembakau untuk merokok (selanjutnya disebut perokok). Jumlah perokok dipastikan bakal lebih besar lagi bila cakupan umur diperluas hingga mencakup penduduk yang belum dewasa atau di bawah 15 tahun. Faktanya, dalam kehidupan sehari-hari tidak sulit bagi kita untuk menjumpai anak usia Sekolah Menengah Pertama (SMP), bahkan usia Sekolah Dasar, yang mengisap rokok. C

Di Balik Swasembada Beras 2013

Meski sah saja, kebijakan impor beras selalu menuai sentimen negatif dari publik. Bagi negara agraris seperti Indonesia yang luas lahan sawahnya mencapai 8 juta hektar, mengimpor beras sungguh keterlaluan. Bukti bahwa pemerintah tidak mampu mewujudkan kemandirian pangan. Karena itu, swasembada beras adalah sebuah harga mati. Impor beras juga menggerus devisa negara. Sepanjang tahun 2010 hingga 2012, misalnya, Indonesia telah mengimpor beras sebanyak 4,4 juta ton. Beras impor sebanyak ini telah menggerus devisa  lebih dari 10 triliun. Tentu alangkah lebih bermanfaat jika uang sebanyak ini digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan petani, yang sebagian besar masih bergumul dengan kemiskinan. Kabar baiknya, tahun ini Indonesia hampir dipastikan tidak mengimpor beras. Dengan kata lain, swasembada beras bakal direngkuh. Sepanjang tahun 2013, harga beras relatif stabil. Nyaris tak ada gejolak  harga yang berarti. Tahun ini, pengadaan beras oleh Bulog mencapai 3,45 juta ton,

Lembaga Survei Politik Mesti Diawasi

Selama ini kita acap kali disuguhi berbagai macam hasil survei, misalnya, popularitas tokoh atau partai politik tertentu dan kepuasan rakyat terhadap suatu lembaga negara dan pemerintah. Pertanyaannya, apakah berbagai hasil survei yang selama ini disuguhkan kepada kita bisa dipercaya begitu saja sebagai suatu kebenaran? Haruskah kita menelan bulat-bulat semua hasil survei itu, tanpa melakukan verifikasi dan menerimanya sebagai gambaran utuh tentang realitas yang sebetulnya terjadi di lapangan? Mengapa survei dilakukan? Kita selalu memiliki keterbatasan ketika ingin mengetahui “suatu hal” tentang populasi. Terutama ketika jumlah elemen di dalam populasi sangat banyak jumlahnya. Dalam ilmu statistik (statistika), “suatu hal” ini disebut parameter. Yakni, suatu ukuran kuantitatif yang menjelaskan karakteristik semua elemen di dalam populasi. Bila populasi kita adalah seluruh rumah tangga di Indonesia, yang jumlahnya mencapai 60 juta, besarnya pengeluaran per bulan dan umu

Kepala BPS Pertama

Tahukah Anda siapa kepala Badan Pusat Statistik (BPS) yang pertama? Dia adalah Sarbini Sumawinata. Mungkin karena kebanyakan piknik, meski sudah bekerja di BPS tak kurang dari lima tahun lamanya, saya baru tahu jawaban dari pertanyaan itu beberapa waktu yang lalu, ketika membaca buku Rizal Mallarangeng berjudul Mendobrak Sentralisme Ekonomi Indonesia 1986-1992. Ketika Orde Lama runtuh, Sukarno mewariskan kondisi ekonomi yang karut-marut. Betapa tidak, ketika ia lengser, Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita hanya US$300, inflasi mencapai tiga digit, dan utang negara terus meroket. Karena itu, masa awal Orde Baru di bawah kepemimpinan Suharto merupakan periode sulit.  Pemulihan kondisi ekonomi nasional merupakan fokus utama. Kala itu, ada sekolompok ekonom yang memainkan peran yang sangat penting dalam menentukan arah pembangunan ekonomi nasional. Mereka kerap disebut “Mafia Berkeley”. Meski faktanya, sebagain besar mereka merupakan jebolan Universitas Berkeley, Amerika Serika

Kepala BPS Baru dan Data Pangan

Pada Kamis lalu (15/9), Suhariyanto dilantik oleh Menteri PPN/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro, sebagai Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) yang baru. Ia menggantikan Suryamin yang telah memasuki masa purnabakti. Dalam sambutannya pada acara pelantikan tersebut, Menteri PPN/Kepala Bappenas memberi penekanan khusus pada data produksi pangan. Data tersebut harus reliable sebagai landasan pemerintah dalam melakukan perencanaan dan penentuan kebijakan terkait pangan nasional. Dipahami bersama bahwa tanpa data produksi pangan yang akurat, perencanaan pembangunan bakal keliru. Kebijakan yang diambil juga tidak tepat dan melenceng dari sasaran. Ongkos ekonomi, sosial, dan politik sebagai akibat perencanaan dan kebijakan yang keliru tentu sangat mahal. Karena itu, harapan yang sangat besar disandarkan kepada BPS sebagai lembaga penyedia data statistik resmi yang selama ini menjadi rujukan semua pihak. Ketika berbicara data produksi pangan, persoalan akan mengerucut pada data produ

Kegundahan Si Kakek Tua

Beberapa hari yang lalu kami sibuk menyiapkan data untuk seorang kakek tua. Sengaja saya sebut kakek tua untuk memberi penekanan pada usianya yang dengan itu membuat ia istimewa. Si Kakek Tua memang bukan orang biasa. Saking tuanya, ia pernah menjalani semua rezim pemerintahan yang pernah berkuasa di negeri ini, mulai dari Soekarno hingga Jokowi. Data yang kami siapkan hari itu seputar kemiskinan dan beras. Kakek tua yang renta itu gundah dengan kondisi kemiskinan negeri ini yang tak kunjung membaik. Beberapa hari yang lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) meluncurkan statistik kemiskinan September 2015. Angkanya memang turun tipis 0,08 juta orang dibandingkan Maret 2015, tapi mengalami kenaikan 0,78 juta orang dibandingkan dengan kondisi September 2014. Indeks kedalaman dan indeks keparahan kemiskinan juga mengalami kenaikan dibanding September 2014. Itu artinya, kondisi serba kekurangan yang dialami penduduk miskin negeri ini kian mengenaskan dalam setahun terakhir. Target pemb

Statistik dan Sejarah

Anda yang pernah duduk di bangku sekolahan tentu masih menyimpan memori tentang buku berjudul The History of Java. Setidaknya nama penulisnya: Sir Thomas Stamford Raffles. Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan membaca terjemahan buku tersebut dalam bahasa Indonesia di Gramedia Depok. Bukunya lumayan tebal. Itupun versi ringkasnya dengan mengeluarkan sejumlah bagian yang dianggap kurang perlu. Versi aslinya tentu lebih tebal lagi. Di sampul belakang buku itu tertulis pernyataan Raffles yang sedikit jumawa. Tidak ada yang lebih paham secara mendalam mengenai sejarah Tanah Jawa, bahkan dibanding orang Jawa sendiri, selain dia. Tentu saja Refless berani menyatakan demikian bukan karena tebalnya buku yang telah ia tulis, tapi karena kelengkapan informasi yang terkumpul di dalam bukunya. Nampaknya, Raffles telah mencatat semua hal mengenai Tanah Jawa secara lengkap, cermat, dan teliti tanpa melewatkan sepotong informasi pun. Ia tidak hanya mengisahkan sejarah sebagai rentetan pe