Langsung ke konten utama

Di Balik Swasembada Beras 2013


Meski sah saja, kebijakan impor beras selalu menuai sentimen negatif dari publik. Bagi negara agraris seperti Indonesia yang luas lahan sawahnya mencapai 8 juta hektar, mengimpor beras sungguh keterlaluan. Bukti bahwa pemerintah tidak mampu mewujudkan kemandirian pangan. Karena itu, swasembada beras adalah sebuah harga mati.

Impor beras juga menggerus devisa negara. Sepanjang tahun 2010 hingga 2012, misalnya, Indonesia telah mengimpor beras sebanyak 4,4 juta ton. Beras impor sebanyak ini telah menggerus devisa  lebih dari 10 triliun. Tentu alangkah lebih bermanfaat jika uang sebanyak ini digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan petani, yang sebagian besar masih bergumul dengan kemiskinan.
Kabar baiknya, tahun ini Indonesia hampir dipastikan tidak mengimpor beras. Dengan kata lain, swasembada beras bakal direngkuh.

Sepanjang tahun 2013, harga beras relatif stabil. Nyaris tak ada gejolak  harga yang berarti. Tahun ini, pengadaan beras oleh Bulog mencapai 3,45 juta ton, dan stok beras di gudang Bulog hingga akhir tahun di atas 2 juta ton. Lebih dari cukup untuk menjamin harga beras tetap stabil.

Ini tidak lepas dari keberhasilan pemerintah dalam menggenjot produksi padi hingga mencapai 70,87 juta ton gabah kering giling (angka ramalan II BPS) tahun ini. Moncernya kinerja Bulog dalam menyerap gabah/beras produksi petani juga mendukung. Sehingga, harga beras stabil dan stok beras lebih dari cukup hingga akhir tahun tanpa ada impor.

Sayangnya, meski produksi beras tahun ini melimpah, kesejahteraan petani—yang merupakan aktor utama dalam menggenjot produksi—justru begitu-begitu saja. Hal ini tercermin dari perkembangan indeks Nilai Tukar Petani (NTP) yang cenderung melandai alias stagnan sepanjang 2013.

Seperti diketahui, perkembangan NTP merupakan indikator yang kerap digunakan untuk melihat perkembangan tingkat kesejahteraan petani. Kenaikan nilai NTP menunjukkan perbaikan tingkat kesejahteraan petani, begitupula sebaliknya.

Sepanjang periode Januari hingga April 2013, nilai NTP bahkan terus mengalami penurunan secara konsisten. Itu artinya, tingkat kesejahteraan petani terus memburuk meski pada saat panen raya, di saat produksi berlimpah.

Ini mengkonfirmasi, pembangunan pertanian selama ini terlalu dititikberatkan pada peningkatan produksi secara aggregate dan cenderung abai terhadap peningkatan kesejahteraan petani.
Dengan tak kunjung dilaksanakannya reforma agraria sebagaimana yang dijanjikan, pemerintah seolah menutup mata bahwa peningkatan produksi yang terjadi sejatinya merupakan hasil perjuangan dan jerih payah para petani kecil.

Secara faktual, hasil Sensus Pertanian tahun 2013 yang dirilis Badan Pusat Statistik pada awal bulan ini (2 Desember) menyebutkan bahwa sebagian besar petani kita adalah petani gurem, dan rata-rata luas lahan sawah yang dikelola petani hanya sebesar 0,2 hektar. Ini merupakan sinyalemen bahwa distribusi penguasaan lahan di tingkat petani kian timpang dan dominasi petani kaya dengan akses penguasaan lahan yang luas.

Jadi, tidak usah heran bila kebanyakan petani tetap miskin meski pada saat yang sama produksi melimpah bahkan swasembada. Karena sejatinya, dampak ekonomi dari peningkatan produksi yang terjadi lebih dinikmati oleh para petani kaya. Sebaliknya, para petani kecil dan buruh tani tetap miskin. (*)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunak...

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi,...

Beda Perempuan Jepang dan Perempuan Indonesia

Sesuai judulnya, fokus dari tulisan ini adalah bahasan mengenai perbedaan antara perempuan Jepang dan perempuan Indonesia. Tentu ada banyak perbedaan di antara keduanya. Dari sekian banyak perbedaan itu, tulisan ini mencoba mengulas perbedaan antara perempuan Jepang dan Indonesia dalam hal menikah dan memiliki anak. Perbedaan antara perempuan Jepang dan Indonesia dalam hal menikah dan memiliki anak tentu tidak lepas dari pengaruh posisi kedua negara, yang satu sebagai negara maju (Jepang) dan satunya lagi sebagai negara berkembang atau dunia ketiga (Indonesia). Secara rata-rata, perempuan Jepang sudah pasti well educated jika dibandingkan dengan perempuan Indonesia. Kondisi ini tentu sangat memengaruhi perbedaan paradigma atau cara pandang perempuan kedua negara terhadap yang namanya menikah dan memiliki anak. Enggan buru-buru menikah Secara tradisional, umur menikah ( marriage age ) perempaun Jepang adalah antara 23 sampai dengan 25 tahun. Di Jepang, perempuan yang belum ...