Langsung ke konten utama

Upaya Memperbaiki Inakurasi Data Produksi Jagung


Dalam debat  calon presiden kedua yang membahas topik energi, pangan, infrastruktur, sumber daya alam, dan lingkungan pada 17 Februari lalu, presiden Joko Widodo melakukan kekeliruan kecil ketika mengutip data impor jagung. 
Beliau mengatakan bahwa jumlah impor komoditas ini turun secara substansial dari 3,5 juta ton pada 2014 menjadi hanya 180 ribu ton pada tahun lalu. Sebaliknya, data resmi Badan Pusat Statistik (BPS) justru menunjukkan angka yang lebih tinggi, mencapai 730.918 ton sepanjang 2018. 
Namun, tampaknya masyarakat tidak menyadari (atau mungkin tidak tahu) bahwa masalah sebenarnya bukanlah akurasi data impor yang dikutip presiden, tetapi data produksi yang dijadikan dasar pemerintah dalam menentukan kebijakan importasi jagung.
Faktanya, bias kebijakan akibat data produksi yang tidak akurat kerap terjadi. Sejak lama, impor jagung seringkali menyulut debat publik dan dipersoalkan banyak kalangan karena dilakukan ketika data menunjukkan produksi dalam negeri surplus. 
Pada 2018, misalnya, impor jagung nasional tercatat sebanyak 731 ribu ton atau senilai USD 154,7 juta. Sementara itu, pada saat yang sama, data Kementerian Pertanian (Kementan) menunjukkan bahwa produksi jagung diperkirakan mencapai 30,05 juta ton pipilan kering. 
Dengan angka konsumsi nasional hanya sebesar 15,5 juta ton, artinya impor dilakukan ketika surplus produksi mencapai 14,6 juta ton. 
Karena itu, sejumlah pakar mensinyalir bahwa data produksi jagung tidak sesuai dengan kondisi lapangan. Angka produksi sebenarnya pada 2018 diyakini hanya sebesar 16,5 juta ton pipilan kering.
Selain itu, kebijakan pemerintah yang membatasi impor jagung sejak 2016 karena produksi dalam negeri yang dianggap mencukupi juga memicu kenaikan harga ayam, daging ayam, dan telur pada tahun lalu akibat lonjakan harga pakan ternak. 
Diketahui, sekitar 50 persen dari total kebutuhan jagung nasional merupakan bahan baku industri pakan ternak. Terbatasnya pasokan jagung dalam negeri, padahal surplus produksi diperkirakan mencapai 14,6 juta ton, memaksa pengusaha pakan ternak mensubtitusinya dengan gandum impor yang berbiaya mahal akibat pelemahan rupiah.
Tak banyak yang memahami, data jagung sebetulnya memiliki masalah yang sama---bahkan mungkin lebih parah---seperti beras, yaitu estimasi yang terlalu tinggi (overestimate) akibat kelemahan dalam metode pengukuran luas panen. 
Sejak 1973, kedua komoditas tersebut dikumpulkan melalui metode yang sama. Perhitungan produksi menggabungkan dua sistem pengumpulan data yang berbeda, yaitu laporan administrasi (administrative report) untuk mengumpulkan informasi luas panen dan metode statistik (survey sampling) untuk memperkirakan produktivitas (hasil per hektar).
Dalam praktiknya, Kementan bertanggung jawab atas laporan administrasi yang dikumpulkan setiap bulan di tingkat kecamatan oleh petugas Dinas Pertanian kabupaten/kota, yang disebut mantri tani atau Koordinator Cabang Dinas, sementara BPS bertanggung jawab atas estimasi produktivitas. Secara teknis, data produksi merupakan hasil perkalian antara data luas panen dan produktivitas.
Data luas panen telah lama diduga menderita overestimate karena dikumpulkan melalui pengukuran subjektif (subjective measurement), terutama perkiraan dengan menggunakan pandangan mata atau yang lebih dikenal dengan metode eye-estimate
Selain persoalan metodologi, kesalahan pengukuran juga disebabkan kompetensi mantri tani yang kurang memadai dan subjektivitas mereka akibat konflik kepentingan karena informasi yang dikumpulkan merupakan tolak ukur keberhasilan dalam mengawal program-program peningkatan produksi di wilayah tugasnya.
Sementara itu, data produktivitas memiliki akurasi yang relatif lebih baik karena dikumpulkan melalui pengukuran objektif (objective measurement) yang disebut Survei Ubinan. 
Pengukuran produktivitas dilakukan pada sampel plot berukuran 2,5 m x 2,5 m yang dipilih secara acak sesuai dengan kaidah statistik. Metode ini banyak digunakan di sejumlah negara produsen padi, seperti Thailand dan India.
Masalah pada data beras telah diselesaikan tahun lalu dengan penerapan metode baru untuk estimasi luas panen yang disebut Kerangka Sampel Area (KSA). 
Metode ini memanfaatkan teknologi terkini, yakni data luas baku lahan sawah hasil citra satelit, sistem informasi geospasial dan aplikasi Android yang dikombinasikan dengan teknik statistik. Lalu, bagaimana dengan data jagung?
Sejak 2016, BPS telah menghentikan sementara publikasi data produksi padi dan palawija, termasuk jagung, hingga perbaikan metode pengukuran luas panen yang berbasis objective measurement selesai dilakukan. 
Namun, Kementan tetap melakukan perhitungann luas panen dan produksi jagung dengan menggunakan metode lama sebagai input kebijakan, terutama untuk perencanaan dan evaluasi semua program yang ditujukan untuk mencapai swasembada. 
Data ini pula yang dijadikan rujukan dalam pengambilan kebijakan terkait impor jagung. Idealnya, data tersebut dikoreksi terlebih dahulu sebelum dijadikan input kebijakan.
Lantas, bagaimana solusinya? Jelas bahwa masalah kronis dalam pengukuran luas panen harus diselesaikan. Pengukuran objektif harus dikembangkan untuk menggantikan metode eye-estimate
Namun, hal ini tidaklah mudah. Tantangan utamanya adalah karakteristik budidaya tanaman jagung itu sendiri. Sebagian besar penanaman jagung dilakukan di lahan-lahan yang tidak terlalu luas dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia. 
Tanaman ini juga ditanam secara musiman bergantung pada preferensi petani, yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Akibatnya, informasi yang akurat mengenai luas lahan yang secara khusus didedikasikan untuk penanaman jagung secara permanen tidak tersedia.
Saat ini, BPS bekerja sama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sedang mengembangkan metode KSA untuk komoditas jagung. Tahun ini uji coba akan dilakukan di seluruh wilayah Indonesia. 
Meski demikian, ini bukan tugas yang mudah karena isu ketersediaan informasi lokasi potensi komoditas jagung. Karena itu, BPPT juga sedang mengkaji opsi lain berupa penggunaan teknologi radar. Upaya-upaya ini diharapkan dapat memberi solusi bagi perbaikan akurasi data jagung. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga