Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2018

Literasi Statistik di Tahun Politik

Pada Juni tahun ini pemilihan kepala daerah (pilkada) akan dihelat serentak di 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten dengan melibatkan sekitar 160 juta pemilih potensial. Gelaran pilkada yang cukup masif ini diharapkan dapat menghasilkan pemimpin daerah yang mampu menjawab tantangan pembangunan di level regional, seperti persoalan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, ketimpangan ekonomi, dan rendahnya kualitas pembangunan manusia. Faktanya, 17 provinsi yang bakal menghelat pilkada serentak pada 2018 menyumbang sekitar 66 persen Produk Domestik Bruto (PDB) nasional pada 2016. Selain itu, dari 26,6 juta penduduk miskin pada September  2017, sebanyak 21,5 juta orang atau 81 persen terdapat di 17 provinsi tersebut. Dalam soal ketenagakerjaan, potretnya kurang lebih sama. Total jumlah penganggur terbuka di 17 provinsi yang akan menggelar pilkada mencapai 5,2 juta orang atau mencakup sekitar 75 persen dari total penganggur terbuka nasional pada Agustus 2017 yang mencapai 7 juta

Cara Mendapatkan Buku Membaca Indonesia

This book contains dozens of articles that were posted in Kompasiana by the author during 2014-2015. Those articles cover a wide range of economic issue such as poverty, inequality, food security, etc. You can access the book by clicking this link https://www.academia.edu/35617196/MEMBACA_INDONESIA.pdf

Susahnya Menghitung Jumlah Si Miskin

Statistik kemiskinan merupakan salah satu data strategis yang secara rutin dihitung oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Berhubung kemiskinan telah menjadi agenda pembangunan sekaligus agenda politik pemerintah, selama ini data kemiskinan hasil perhitungan BPS selalu mendapat perhatian yang luas dari publik. Sayangnya, ketika data kemiskinan dirilis oleh BPS ke khalayak, tidak sedikit orang yang justru meragukan bahkan tidak percaya dengan data tersebut. Independensi BPS selalu dipersoalkan kala melaporkan bahwa kemiskinan mengalami penurunan. Ada anggapan bahwa data kemiskinan yang diwartakan BPS telah dimanipulasi dan diramu sedemikian rupa untuk menyenang-nyenangkan pihak yang berkuasa. Atau lebih parah lagi, BPS dituduh telah berbohong atas data kemiskinan yang dilaporkannya. Tuduhan yang tentu saja membuat mereka yang telah bekerja keras untuk menghasilkan data tersebut terluka. Ruang untuk mempersoalkan akurasi data kemiskinan BPS memang terbuka. Bahwa dalam kegiata

Statistik dan Demokrasi

Di negara maju seperti Amerika Serikat (AS), statistik boleh dibilang adalah salah satu pilar demokrasi. Pemanfaatan informasi berupa data-data statistik menjadikan output proses elektoral sangat berkualitas karena didasarkan pada penilaian atas kinerja yang terekam melalui angka-angka statistik. Tengoklah kampanye pemilihan presiden AS baru-baru lalu, betapa angka-angka statistik resmi (official statistics) mendapat posisi penting dalam materi kampanye setiap calon untuk merebut hati pemilih.  Tidak heran kalau kemudian di AS, deskripsi mengenai kinerja pemerintah—umumnya terkait kondisi ekonomi—yang tergambar melalui angka-angka statistik resmi menjadi faktor yang sangat menentukan keputusan pemilih saat menjatuhkan pilihan di bilik suara. Sayang, di Indonesia peran statistik dalam kehidupan demokrasi belum seperti di AS meskipun katanya kita adalah negara demokratis terbesar ketiga di dunia. Dalam pemilihan presiden atau kepala daerah, misalnya, sebagian besar pemilih k

Wanita Tangguh Pengumpul Data

Negeri ini tak pernah sepi dari perempuan-perempuan luar biasa yang terus membaktikan diri untuk pembangunan negeri. Mereka telah berkontribusi untuk kemajuan bangsa dan negaranya di berbagai ladang pengabdian. Di Badan Pusat Statistik (BPS) pun demikian, pengabdian untuk mempersembahkan statistik berkualitas bagi pembangunan negeri juga tidak lepas dari kontribusi perempuan-perempuan luar biasa, yang telah bekerja keras dalam kegiatan pengumpulan data di lapangan. Di BPS, petugas pengumpul data di lapangan atau surveyor disebut Koordinator Statistik Kecamatan (KSK). Disebut KSK karena wilayah kerja mereka mencakup satu kecamatan. Idealnya, untuk setiap satu kecamatan di Indonesia harus memiliki seorang KSK. Namun karena keterbatasan sumber daya, kondisi ideal ini belum bisa terpenuhi. Bayangkan, ada sekitar 7 ribu kecamatan di Indonesia. Tugas KSK boleh dibilang lumayan berat dengan tanggung jawab yang besar. Berat karena nyaris saban hari mereka harus berada di lapanga

Konsumsi Nasi dan Runtuhnya Kejayaan Perberasan Indonesia

Anda tentu pernah mendengar cerita lama tentang keberhasilan Indonesia dalam merengkuh swasembada beras di jaman Orde Baru. Prestasi gilang-gemilang, yang seolah begitu sulit untuk kembali diulang, itu menjadikan Pak Harto diganjar penghargaan oleh organisasi pangan dan pertanian internasional, Food and Agriculture Organization (FAO). Penghargaan tersebut di terima Pak Harto di Roma, Italia, pada tahun 1984. Capaian Indonesia dalam merengkuh swasembada beras kala itu memang bukan isapan jempol. Tetapi kasat mata dan diakui dunia internasional. Tanpa justifikasi data statistik pun, produksi beras nasional kenyataannya begitu melimpah. Saking melimpahnya, Indonesia—dalam hal ini Badan Urusan Logistik (Bulog)—memutuskan untuk masuk ke pasar beras internasional sebagai eksportir. Meskipun merugi, keputusan Bulog itu berhasil mengguncang pasar beras internasional. Betapa tidak. Harga beras jatuh dari USD250 per ton menjadi USD150 per ton akibat ekspor beras dalam jumlah besar y

Kue Ekonomi untuk Si Miskin

Awal bulan ini, Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis kabar gembira. Ekonomi nasional tahun 2012 dilaporkan bertumbuh sebesar 6,23 persen. Memang sedikit lebih rendah dari yang ditargetkan pemerintah sebesar 6,5 persen. Tapi, pertumbuhan sebesar 6,23 persen ini, boleh dibilang cukup tinggi, di tengah situasi ekonomi global yang belum menggembirakan. Dengan pertumbuhan sebesar 6,23 persen ini, Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2012 yang dinilai berdasarkan basis harga-harga tahun 2000 mencapai Rp2.618,1 triliun. Jika dinilai berdasarkan harga-harga tahun 2012, nilai PDB mencapai Rp8.241,9 triliun. Dan itu artinya, pendapatakn per kapita (hasil bagi PDB terhadap jumlah penduduk) pada tahun 2012 telah menyentuh Rp33,3 juta atau USD3.562,6 per tahun, meningkat jika dibandingkan pendapatan per kapita tahun 2011 yang mencapai Rp30,4 juta atau USD3.498,2 per tahun. Statistik yang sudah barang tentu sangat menggembirakan. Sayangnya, statistik kemiskinan yang dirilis BPS se

Persoalan Pangan di Indonesia

Peringatan Hari Pangan Dunia pada 16 Oktober tahun ini mengusung tema “Sustainable Food Systems for Food Security and Nutrition”. Tema ini memberi penekanan pada pentingnya sistem pangan berkelanjutan untuk mendukung ketahanan pangan dan gizi. Diketahui, dalam konteks global, ketahanan pangan dan gizi masih menjadi isu penting. Organisasi Pangan Dunia (FAO) memperkirakan: dari jumlah penduduk dunia yang mencapai 7 miliar lebih, sekitar 870 juta atau 12 persen di antaranya menderita kekurangan pangan kronik (chronic undernourishment) atau kelaparan pada 2010-2012. Sementara itu, dalam soal gizi, pada 2011 sekitar 101 juta anak usia di bawah lima tahun (balita) di berbagai belahan dunia mengalami kekurangan berat badan (underweight), 165 juta mengalami hambatan pertumbuhan atau kekerdilan (stunting), dan 52 juta mengalamai penyusutan (wasting) karena kekurangan gizi (undernutrition) (Unicef, 2013). Potret Indonesia Di tengah berbagai kemajuan pembangunan ekonomi yang

Hasil Sensus Pertanian 2013: Bangunlah Desa

Angka sementara hasil Sensus Pertanian 2013 (ST2013) yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal bulan ini (2/9) menyebutkan, rumah tangga (ruta) pertanian di Indonesia mencapai 26,13 juta ruta. Bila dibandingkan dengan hasil Sensus Pertanian 2003, itu artinya telah terjadi penurunan sebesar 5 juta ruta atau sekitar 1,75 persen. Statistik ini menunjukkan, meski struktur ekonomi nasional kianmengarah pada dominasi sektor industri dan jasa, sektor pertanian harus tetap mendapat atensi khusus dalam agenda pembangunan di masa mendatang. Bayangkan, bila diasumsikan setiap ruta terdiri dari empat orang, itu artinya ada sekitar 105 juta penduduk negeri ini yang penghidupannya (livelihood) secara struktural bergantung pada sektor pertanian. Itupun dengan catatan, angka 26,13 juta ruta pertanianhasil ST2013 sebetulnya belum sepenuhnya mencakup ruta pekerja bebas di sektor pertanian (buruh). Pembangunan pedesaan Sebagai bagian dari komunitas global, agenda pembangunan nas

Hasil Sensus Pertanian 2013: Lupakan Swasembada Daging

Hingga kini, Badan Pusat Statistik (BPS) baru merilis dua data penting hasil sensus pertanian yang dilaksanakan sepanjang Mei 2013 (ST2013), yakni jumlah usaha rumah tangga pertanian dan populasi sapi dan kerbau (ternak). Data-data rinci yang juga amat penting dan ditunggu oleh banyak kalangan seperti perkembangan guremisasi dan profil petani/rumah tangga pertanian  sedang dalam proses pengolahan. Meski baru dua data penting yang dirilis, tanggapan dari publik terhadap dua data tersebut sungguh luar biasa. Ihwal populasi sapi dan kerbau, BPS melaporkan bahwa populasi sapi dan kerbau pada 1 Mei 2013 mencapai  14,2 juta ekor atau mengalami penurunan yang cukup tajam bila dibandingkan dengan hasil Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau (sensus ternak) yang dilaksanakan BPS pada Juni 2011. Populasi sapi dan kerbau hasil sensus ternak mencapai 16,7 juta ekor. Itu artinya, penurunan populasi pada tahun ini mencapai 2,5 juta ekor atau sekitar 15 persen bila dibandingkan de

Catatan Penurunan Kemiskinan 2013

Pada Juni 2013 Badan Pusat Statistik (BPS) merilis potret kemiskinan kondisi Maret 2013. BPS melaporkan, jumlah penduduk miskin negeri ini mencapai 28,07 juta jiwa atau sekitar 11,37 persen dari total penduduk. Jika dibandingkan dengan kondasi Maret tahun lalu, berarti telah terjadi penurunan tipis 0,59 persen atau sebesar 1,06 juta jiwa. Di tengah luar biasanya energi yang telah dicurahkan pemerintah melalui berbagai program penanggulangan kemiskinan, laporan BPS ini kembali mengkonfirmasi, tren penurunan kemiskinan terus berlanjut. Dan sayangnya, dengan kecepatan yang lambat. Konsekwensinya, sasaran tingkat kemiskinan nasional sebesar 8 hingga 10 persen tahun depan seperti ditetapkan pada Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional bakal sulit (baca: mustahil) dicapai. Pasalnya, dampak kenaikan harga BBM Juni lalu dipastikan bakal memicu lonjakan jumlah penduduk miskin minimal 1 persen pada 5-6 bulan mendatang. Dalam beberapa tahun terakhir, kinerja penurunan kemiskin