Langsung ke konten utama

Hasil Sensus Pertanian 2013: Bangunlah Desa


Angka sementara hasil Sensus Pertanian 2013 (ST2013) yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal bulan ini (2/9) menyebutkan, rumah tangga (ruta) pertanian di Indonesia mencapai 26,13 juta ruta. Bila dibandingkan dengan hasil Sensus Pertanian 2003, itu artinya telah terjadi penurunan sebesar 5 juta ruta atau sekitar 1,75 persen.

Statistik ini menunjukkan, meski struktur ekonomi nasional kianmengarah pada dominasi sektor industri dan jasa, sektor pertanian harus tetap mendapat atensi khusus dalam agenda pembangunan di masa mendatang. Bayangkan, bila diasumsikan setiap ruta terdiri dari empat orang, itu artinya ada sekitar 105 juta penduduk negeri ini yang penghidupannya (livelihood) secara struktural bergantung pada sektor pertanian. Itupun dengan catatan, angka 26,13 juta ruta pertanianhasil ST2013 sebetulnya belum sepenuhnya mencakup ruta pekerja bebas di sektor pertanian (buruh).

Pembangunan pedesaan

Sebagai bagian dari komunitas global, agenda pembangunan nasional yang dilaksanakan pemerintah tentu harus sejalan dengan pencanangan pembangunan milenium atau Millenium Development Goals (MDGs) yang berfokus pada perjuangan melawan kemiskinan ekstrim, kelaparan, dan penyakit.

Sebagaimana diketahui, MDGs bakal berakhir pada tahun 2015. Namun, secara nomenklatur, tujuan pembangunan dalam MDGs akan terus berlanjut pasca 2015. Sebuah agenda/kerangka pembangunan baru telah disiapkan, yakni Sustainable Development Goals (SDGs). SDGs bakal melanjutkan perjuangan melawan kemiskinan, serta mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang disertai pemerataan, berkelanjutan, dan ramah lingkungan.

Gambaran yang dipotret melalui ST2013 menunjukkan, pembangunan pertanian (agriculture development) memainkan peran penting dalam progres pencapaian MDGs—juga SDGs. Delapan tujuan pembangunan milenium, boleh dibilang, memiliki kaitan (linkage) kuat dengan kinerja sektor pertanian, baik secara langsung maupun tidak langsung (Agriculture and Achieving The Millenium Development Goals, 2003).

Dalam konteks Indonesia, MDG yang pertama, misalnya, yakni mengurangi kemiskinan ekstrim dan kelaparan tentu memiliki kaitan kuat secara langsung dengan kinerja sektor pertanian—yang merupakan motor pertumbuhan ekonomi pedesaan dan penghasil pangan bagi penduduk.
Sebagian besar kelompok penduduk yang menjadi target MDGs tinggal di pedasaan. Statistik menunjukkan, sekitar 63 persen penduduk miskin negeri ini tinggal di pedesaan dan bergantung pada sektor pertanian. Itu artinya, peningkatan produktivitas dan perbaikan kesejahteraan masyarakat di sektor pertanian merupakan penentu bagi keberhasilan upaya pengentasan kemiskinan dan pemerataan pendapatan.

Pembangunan pertanian pada dasarnya hanyalah bagian dari kerangka pembangunaan yang lebih luas, yakni pembangunan pedesaan (rural development). Namun, yang terjadi belakangan ini, pembangunan perdesaan seolah tereduksi hanya pada pembangunan pertanian—yang hanya berfokus pada peningkatan produktivitas dan produksi pertanian, khususnya pangan.

Pembangunan manusia pedesaan seolah diabaikan. Akibatnya, tingkat kapabilitas (pendidikan dan kesehatan) mereka jauh tertinggal bila dibandingkan dengan penduduk perkotaan. Sekedar memberi contoh dalam soal pendidikan, rata-rata lama sekolah (mean year schooling) penduduk pedesaan hanya sebesar 6,54 tahun atau setara tamat sekolah dasar (SD), sementara penduduk perkotaan sebesar 9,25 tahun atau setara tamat SMP (BPS, 2011).

Kapabilitas yang rendah mengakibatkan penduduk miskin pedesaan sulit keluar dari jerat kemiskinan. Alhasil, daerah pedesaan tetap menjadi lumbung kemiskinan meski pada saat yang sama danatriliunan rupiah telah digelontorkan pemerintah melalui berbagai program untuk menggenjot produktivitas dan produksi pertanian.

Mudah diduga, fraksi terbesar penduduk miskin di sektor pertanian adalah para petani gurem dengan penguasaan lahan yang sempit(kurang dari 0,5 hektare) dan buruh tani. Dengan kapabilitas yang jauh dari mumpuni, sulit rasanya bagi mereka untuk mengembangkan diri. Akses terhadap kegiatan ekonomi di luar usaha tani (off farm) pun praktis menjadi sangat terbatas. Padahal, kegiatan off farm amat penting untuk menambah pendapatan selain dari kegiatan pertanian (on farm), yang tentu saja jauh dari cukup untuk memenuhi biaya kebetuhuan hidup yang terus meningkat. Kapabilitas yang rendah juga mengakibatkan inovasi dan penerapan teknologi pertanian guna meningkatkan produksi menjadi terhambat dan tidak maksimal.

Tingkat kapabilitas yang rendah kian diperparah dengan orientasi pembangunan pertanian yang seolah hanya berfokus pada peningkatan produksi pangan dan abai terhadap fakta bahwa guremisasi terus meningkat, dan distribusi pemilikan lahan di sektor pertanian dari hari ke hari, kian timpang.Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA 1960) dan UU Land Reform 1961 yang mengatur batas atas dan batas bawah kepemilikan lahan juga tak kunjung dilaksanakan sebagaimana mestinya. Cukuplah ini menjadi bukti atas sikap abai tersebut.

Kian ditinggalkan

Tak heran bila profesi petani tak lagi menarik dan kian terpinggirkan. Untuk apa bertani bila tak bisa menopang hidup dan begitu sulit merengkuh kesejahteraan. Untuk apa bertani bila harga pupuk dan benih tak lagi terjangkau, jaringan irigasi rusak, lahan kian sempit, dan harga jual komoditas pertanian justru membunuh hasrat untuk bertani.

Penurunan jumlah ruta tani sekitar 5 juta ruta dalam satu dasawarsa terakhir boleh jadi merupakan peringatan serius. Sinyalemen bahwa belakangan ini tengah terjadi mutasi pekerja di sektor pertaniandalam jumlah besar (rata-rata sekitar 200 ribu orang per tahun) sebagaimana dipotret melalui Survei Angkatan Kerja Nasional selama ini nampaknya terbukti. Dan tentu saja ini amat merisaukan. Bisa dibayangkan, apa jadinya bila sektor yang merupakan penghasil pangan untuk memenuhi kebutuhan sekitar 250 juta penduduk negeri ini—yang jumlahnya terus bertumbuh—kian ditinggalkan oleh para pekerjanya?

Hasil ST2013 menunjukkan, peran penting sektor pertanian tak hanya menyangkut posisinya sebagai penyedia atau benteng ketahanan pangan, tapi juga menyangkut fakta bahwa ada sekitar 105 juta penduduk negeri ini yang kehidupannya bergantung pada sektor pertanian. Mereka adalah obyek pembangunan manusia (human development) yang harus disejahterakan dan tingkatkan kapabilitasnya. Karena itu, pembangunan pertanian sudah semestinya diselaraskan dengan pembangunan manusia dan diletakkan pada kerangka pembangunan pedesaan. (*)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga