Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2018

Apakah Ramalan Dukun Lebih Akurat dari Hasil Survei?

"There are four ways economists can lose their reputation. Gambling is the quickest, sex is the most pleasurable and drinking the slowest. But forecasting is the surest." (Max Walsh, The Age, 1993) Hasil hitung cepat pemilihan gubernur (Pilgub) Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Jawa Tengah membuat sejumlah pihak meragukan reputasi lembaga survei dalam menakar tingkat keterpilihan (elektabilitas) para kandidat. Betapa tidak, berdasarkan hasil survei sejumlah lembaga sepanjang Mei-Juni 2018, elektabiltas pasangan Sudirman Said-Ida Fauziah dalam pilgub Jawa Tengah hanya sebesar 12-23 persen. Sementara hasil hitung cepat, yang boleh dibilang, lebih mendekati hasil perhitungan resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebutkan bahwa perolehan suara keduanya mencapai 40 persen lebih. Hal yang sama juga terjadi di Jawa Barat. Hasil survei sejumlah lembaga sebelumnya memotret bahwa elektabilitas pasangan Sudrajat-Ahmad Syaikhu rata-rata di bawah 10 persen sepanjang Mei-Jun

Mengapa Juara Piala Dunia Sulit Diprediksi?

"Gamblers can price in random quirks that statisticians struggle to capture in their models" (The Economist). Saat ini, demam Piala Dunia sedang melanda seluruh belahan dunia. Mata semua penggila bola sedang tertuju ke Rusia. Salah satu pertanyaan besar yang ditunggu jawabannya di ujung perhelatan akbar ini adalah siapa yang bakal keluar sebagai juara? Untuk menjawab pertanyaan ini, orang lalu mencoba membuat berbagai prediksi dengan cara yang beragam mulai dari penggunaan hewan di kebun binatang hingga model-model statistik canggih dan machine learning. Kita tentu masih mengingat Paul, seekor gurita dari Oberhausen, Jerman, yang berhasil memprediksi hasil pertandingan sepak bola dengan, boleh dibilang, sangat akurat. Betapa tidak, sepanjang perhelatan Piala Eropa 2008 hingga Piala Dunian 2010, prediksi Paul hanya dua kali melesat. Sayangnya, sang prediktor hebat ini sudah mati. Lalu, di tengah perkembangan ilmu pengetahuan yang kian pesat dan era big dat

Mengapa Petani Kita di Ambang Kepunahan?

Hasil Survei Struktur Ongkos Usaha Tani Padi tahun 2017 (SOUT 2017) yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) belum lama ini mengungkap sejumlah fakta miris terkait usaha tanaman padi di Tanah Air.  Profil petani padi kita kian mengkhawatirkan karena didominasi oleh generasi tua dan berpendidikan rendah. Alhasil, inovasi di sektor pertanian tanaman pangan, khususnya padi, dihadapkan pada tantangan yang kian berat, yakni daya dukung sumber daya manusia yang lemah. SOUT 2017 memotret struktur ongkos usaha tanaman padi secara nasional. Selain informasi ini, survei ini juga mengumpulkan sejumlah informasi tambahan terkait profil petani padi Tanah Air dan kegiatan budidiaya yang mereka lakukan, seperti kendala usaha, penggunaan alat dan mesin pertanian (alsintan), dan penguasaan lahan pertanian. Apakah petani untung? Hasil survei menunjukkan bahwa nilai produksi yang diperoleh dari membudidayakan tanaman padi sawah seluas satu hektar rata-rata mencapai sekitar Rp18,5 j

Ketimpangan Upah Pekerja Laki-laki dan Perempuan

Statistik upah kondisi Februari 2018 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) belum lama ini mengungkap fakta menarik tentang ketimpangan upah/gaji antara buruh/pegawai/karyawan perempuan dan laki-laki di Indonesia.  BPS mencatat, rata-rata upah/gaji buruh/pegawai/karyawan perempuan sebesar 2,21 juta rupiah per bulan, lebih rendah dibanding rata-rata upah/gaji buruh/pegawai/karyawan laki-laki yang mencapai 2,91 juta rupiah per bulan. Itu artinya, kesenjangan upah/gaji menurut gender (gender wages gap) di Tanah Air mencapai sekitar 32 persen. BPS mendefenisikan upah sebagai imbalan/balas jasa yang diterima buruh/karyawan/pegawai selama sebulan yang lalu dari pekerjaan utama, yang terdiri dari komponen upah/gaji pokok dan tunjangan, baik berupa uang maupun barang yang dibayarkan oleh perusahaan/kantor/majikan. Jika ditelaah lebih jauh, upah buruh/pegawai/karyawan perempuan lebih rendah dibanding buruh/pegawai/karyawan laki-laki di sebagian besar lapangan pekerjaan. Upah

Korupsi Gerus Kebahagiaan Masyarakat Indonesia

Laporan Kebahagiaan Dunia 2018 (the World Happiness Report 2018) baru saja dirilis oleh the Sustainable Development Solutions Network for the United Nations pada 14 Maret lalu menjelang peringatan Hari Kebahagian Dunia yang jatuh pada 20 Maret nanti. Laporan ini merangking tingkat kebahagiaan 156 negera di dunia termasuk Indonesia. Tingkat kebahagiaan yang merupakan representasi apa yang disebut sebagai subjective-well being diukur pada skala 0 sampai dengan 10 melalui sejumlah variabel, yakni Produk Domestik Bruto per kapita dalam paritas daya beli, harapan hidup sehat, kebebasan dalam membuat pilihan, persepsi korupsi, dan dukungan sosial. Secara umum, komposisi lima negara dengan tingkat kebahagiaan tertinggi pada laporan tahun 2018 tidak jauh berbeda dengan laporan tahun sebelumnya. Pada tahun ini lima negara paling bahagia sejagat berturut-turut adalah Finlandia dengan skor kebahagiaan sebesar 7.632, Norwegia (7.594), Denmark (7.555), Islandia (7.495), dan Swiss (7.

Ironi Negara Agraris Pengimpor Pangan

Di bangku sekolah kita selalu diajarkan bahwa kekayaan alam yang melimpah merupakan modal penting bagi Indonesia untuk bersaing dengan negara-negara lain di pentas dunia. Sayang, potensi besar ini belum dimanfaatkan secara maksimal. Statistik menunjukkan bahwa luas daratan Indonesia mencapai 1,9 juta km 2 . Sebagian besarnya sangat cocok untuk lahan pertanian. Orang bilang tanah kita adalah tanah surga. Tongkat dan kayu pun bisa jadi tanaman. Lahan pertanian yang luas lagi subur telah menjadikan produksi komoditas pertanian kita melimpah. Tidak membikin heran bila saat ini Indonesia menjadi negara produsen utama sejumlah komoditas pertanian di kancah global. Dalam soal beras, misalnya, meski belakangan ini kita harus mengimpor beras sebanyak 500 ribu ton, produksi di dalam negeri sejatinya melimpah. Data Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) memperlihatkan bahwa pada 2016 Indonesia menempati posisi ke-3 sebagai negara penghasil padi terbesar di dunia setelah China dan In

Mengapa Beras Kerap Menuai Polemik

Belum lama ini pemberitaan media sempat diramaikan dengan polemik tentang beras. Musababnya, harga komoditas ini melambung tinggi hingga melampaui harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah. Oleh sebagian kalangan, kenaikan harga beras ini dianggap tidak sejalan dengan klaim pemerintah bahwa produksi beras nasional pada 2017 cukup melimpah. Diketahui, Kementerian Pertanian melaporkan bahwa produksi padi nasional dalam kualitas gabah kering giling (GKG) diperkirakan mencapai 81 juta ton sepanjang 2017. Jika menggunakan laju konversi gabah ke beras sebesar 0,57, produksi padi tersebut setara dengan 46 juta ton beras untuk konsumsi pangan penduduk. Pada saat yang sama, kebutuhan beras nasional pada 2017 hanya sekitar 32 juta ton dengan asumsi bahwa angka konsumsi beras per kapita penduduk Indonesia sebesar 124,89 kilogram per tahun seperti yang dilaporkan Badan Perencanaan Pembanganunan Nasional. Itu artinya, terdapat surplus beras hingga 14 juta ton. Dengan angka ya

Diversifikasi Pangan Kunci Swasembada Berkelanjutan

Anda tentu pernah mendengar cerita lama tentang keberhasilan Indonesia dalam merengkuh swasembada beras di jaman Orde Baru. Prestasi gilang-gemilang, yang seolah begitu sulit untuk kembali diulang, itu menjadikan Presiden Suharto diganjar penghargaan oleh organisasi pangan dan pertanian internasional, Food and Agriculture Organization (FAO), di Roma, Italia, pada tahun 1984. Capaian Indonesia dalam merengkuh swasembada beras kala itu memang bukan sekadar isapan jempol, tapi kasat mata dan diakui dunia internasional. Tanpa justifikasi data statistik pun, produksi beras nasional kenyataannya begitu melimpah. Saking melimpahnya, Indonesia—dalam hal ini Badan Urusan Logistik (Bulog)—memutuskan untuk masuk ke pasar beras internasional sebagai eksportir. Meskipun merugi, keputusan Bulog itu berhasil mengguncang pasar beras internasional. Betapa tidak, menurut pengamat pertanian Indonesia Sapuan Gafar, kala itu harga beras dunia jatuh dari USD250 per ton menjadi USD150 per ton akibat

Perempuan dan Kemiskinan

Kemiskinan adalah narasi tentang kegetiran hidup serba kekurangan. Cerita tentang hidup yang selalu kalah dan terpinggirkan karena hilangnya kesempatan, rasa percaya diri, dan martabat sebagai manusia. Dengan nada lirih Mahatma Gandhi pernah menulis, kemiskinan adalah kekerasan dalam bentuk yang paling buruk. Data Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan, sebanyak 27,77 juta penduduk Indonesia tergolong miskin pada Maret 2017. Jumlah ini mencakup 10,64 persen dari total jumlah penduduk. Mudah diduga, fraksi terbesar dari kelompok miskin tersebut adalah perempuan dan anak-anak. Data terbaru menunjukkan, sekitar 40 persen atau 11 juta penduduk miskin adalah anak-anak (usia 0-17). Anak-anak ini miskin karena tumbuh dari keluarga yang juga miskin. Hidup dalam kemiskinan menjadikan mereka berpotensi menjadi bagian dari lingkaran setan kemiskinan saat menginjak usia dewasa. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa peluang anak yang hidup dalam rumah tangga dengan kemiskinan kronis un

Hanya 30 Persen Orang Indonesia Aman dari Kemiskinan

Pada Oktober 2015 Bank Dunia merevisi garis kemiskinan internasional ( international poverty line ) untuk pengukuran kemiskinan ekstrem yang semula 1.25 dolar Amerika Serikat (AS) menjadi 1.9 dolar AS. Berdasarkan standar kemiskinan ini, seseorang terkategori sangat miskin jika memiliki pendapatan/pengeluaran kurang dari 1.9 dolar per kapita per hari. Nampaknya, ini merupakan jawaban atas kritik banyak pihak terkait kelayakan standar kemiskinan sebesar 1.25 dolar per kapita per hari. Sebelumnya banyak yang mempertanyakan: bisakah seseorang bertahan hidup dengan pendapatan sebesar itu? Bukan dolar kurs Patut diperhatikan, garis kemiskinan internasional tidak bisa dikonversi secara langsung kedalam rupiah dengan menggunakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS di pasar uang ( currency ). Pasalnya, perhitungannya didasarkan pada daya beli atas sekumpulan barang dan jasa. Hal ini merupakan kekeliruan yang kerap terjadi ihwal penggunaan garis kemiskinan Bank Dunia dalam menganali

Pengentasan Kemiskinan Jakarta

Dalam sambutannya pada silaturahmi ulama dan tokoh agama di Balai Kota belum lama ini, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menegaskan komitmennya untuk membereskan persoalan ketimpangan di Jakarta melalui berbagai kebijakan yang akan berpihak kepada masyarakat miskin dan kaum marjinal (Antara, 14 November 2017). Komitmen ini perlu diapresiasi mengingat ketimpangan ekonomi yang terjadi di Ibu Kota merupakan persoalan serius yang mendesak untuk segera diatasi. Isu ini menjadi penting karena ketimpangan ekonomi yang semakin melebar akan memperlemah kohesi sosial antar warga. Konsekuensinya, konflik dengan latar kecemburuan sosial dan isu keadilan ekonomi akan mudah tersulut. Lalu seberapa parahkah sebetulnya ketimpangan ekonomi di Jakarta sehingga perlu dirisaukan? Salah satu ukuran kuantitatif yang sering digunakan untuk menjelaskan tingkat ketimpangan ekonomi adalah gini rasio yang berada pada skala antra 0 (pemerataan sempurna) dan 1 (the most extreme gap). Hasil perhi

Indonesia Pusat Kemiskinan ASEAN

Laporan bertajuk "Financing the Sustainable Development Goals in ASEAN: Strengthening integrated national financing frameworks to deliver 2030 Agenda" yang dirilis belum lama ini menyebutkan bahwa secara umum negara-negara di kawasan Asia Tenggara (ASEAN) telah berhasil mencapai sebagian besar target the Millenium Development Goals (MDGs) selama kurun waktu 2005 hingga 2015. Namun demikian, masih ada sejumlah catatan yang mesti dibereskan. Dan, sebagian catatan tersebut berkait erat dengan peran Indonesia sebagai negara terbesar di ASEAN. Diketahui, ASEAN merupakan rumah bagi lebih dari 600 juta jiwa yang tersebar di 10 negara, dan lebih dari sepertiga dari total jumlah tersebut merupakan penduduk Indonesia. Terkait masalah kekurangan gizi (malnutrisi), misalnya, Indonesia masih dihadapkan pada persoalan kekurangan gizi kronik yang tercermin dari tingginya prevalensi balita bertubuh kerdil (stunting). Laporan ini menyebutkan, 36 persen balita di Tanah Air bertubu

Menjadikan Jakarta Kota yang Nyaman

Kota apakah di dunia ini yang paling nyaman untuk dihuni? Untuk menjawab pertanyaan ini, sejak 2007 Economist Intelligence Unit (EIU) telah menyusun sebuah ukuran kuantitatif yang bertujuan untuk mengukur tingkat kenyamanan (liveability rating) kota-kota utama dunia yang tersebar di 140 negara. Kenyamanan suatu tempat secara umum diukur melalui sejumlah faktor yang memengaruhi kualitas hidup. Pengukuran tingkat kenyaman yang dilakukan oleh EIU sendiri melibatkan 30 indikator, baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif, yang dianggap merepresentasikan lima dimensi kenyamanan: stabilitas, layanan kesehatan, budaya dan lingkungan, pendidikan, dan infrastruktur. Hasil survei yang dilaksanakan EIU pada tahun ini dan dirilis pada Agustus lalu kembali menobatkan kota Melbourne di Australia sebagai kota paling nyaman di dunia (the most liveable city in the world) dengan rating nyaris sempurna, yakni sebesar 97,5 pada skala 0-100. Dengan capaian ini, Melbourne berhasil me