Langsung ke konten utama

Hanya 30 Persen Orang Indonesia Aman dari Kemiskinan


Pada Oktober 2015 Bank Dunia merevisi garis kemiskinan internasional (international poverty line) untuk pengukuran kemiskinan ekstrem yang semula 1.25 dolar Amerika Serikat (AS) menjadi 1.9 dolar AS. Berdasarkan standar kemiskinan ini, seseorang terkategori sangat miskin jika memiliki pendapatan/pengeluaran kurang dari 1.9 dolar per kapita per hari.
Nampaknya, ini merupakan jawaban atas kritik banyak pihak terkait kelayakan standar kemiskinan sebesar 1.25 dolar per kapita per hari. Sebelumnya banyak yang mempertanyakan: bisakah seseorang bertahan hidup dengan pendapatan sebesar itu?
Bukan dolar kurs
Patut diperhatikan, garis kemiskinan internasional tidak bisa dikonversi secara langsung kedalam rupiah dengan menggunakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS di pasar uang (currency). Pasalnya, perhitungannya didasarkan pada daya beli atas sekumpulan barang dan jasa. Hal ini merupakan kekeliruan yang kerap terjadi ihwal penggunaan garis kemiskinan Bank Dunia dalam menganalisis persoalan kemiskinan.
Perhitungan garis kemiskinan Bank Dunia didasarkan pada paritas daya beli atau purchasing power parity (PPP). Sekadar diketahui, PPP merupakan ukuran daya beli relatif dari dua mata uang yang berbeda. Karena itu, saat membandingkan dolar AS dan rupiah dalam perspektif PPP, itu artinya kita sedang membandingkan daya beli relatif kedua mata uang atas sejumlah barang dan jasa.
Secara sederhana, satu dollar AS dalam PPP merupakan jumlah rupiah yang diperlukan di Indonesia untuk membeli sekumpulan barang dan jasa—dengan jenis dan kuantitas yang sama—yang dibeli dengan harga satu dolar di Amerika Serikat. 
Dalam prakteknya, penghitungan PPP cukup rumit dan kompleks serta melibatkan ribuan komoditas. Selama ini, PPP dihitung oleh International Comparison Program (ICP). Fokus dari ICP adalah menghitung Produk Domestik Bruto (PDB) seluruh negara di dunia dalam dolar PPP. Dengan demikian, tingkat kesejahteraan dan capaian ekonomi antar negara dapat diperbandingkan secara apple-to-apple.
Hingga saat ini, ICP telah melakukan penghitungan PPP sebanyak empat kali, yakni pada tahun 1985, 1993, 2005, dan terakhir tahun 2011. Garis kemiskinan internasional terbaru menggunakan PPP tahun 2011. Jika menggunakan PPP terkini, garis kemiskinan internasional yang sebesar 1.9 dolar AS setara dengan Rp9.080,8.
Rentan miskin
Lalu bagaimana gambaran kemiskinan di Indonesia dengan menggunakan garis kemiskinan internasional terkini tersebut? Bila menggunakan garis kemiskinan sebesar 1.9 dolar AS per hari, jumlah penduduk miskin di Tanah Air mencapai 17.8 juta jiwa atau mencakup 6.8 persen dari total jumlah populasi Indonesia pada Maret 2016.
Angka tersebut jauh lebih rendah dari hasil perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS) dengan menggunakan standar kemiskinan nasional sebesar Rp343.647 per kapita per bulan atau sekira Rp11.455 per kapita per hari jika diasumsikan bahwa dalam sebulan terdiri dari 30 hari. Diketahui, hasil perhitungan BPS menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia sebanyak 28.4 juta orang atau sekitar 10.9 persen dari total penduduk pada Maret 2016.
Sayangnya, meski jumlah penduduk Indonesia yang terkategori miskin ekstrem alias sangat miskin (extreme poor) relatif rendah, laporan Bank Dunia berjudul ‘Balancing Act’ yang dirilis pada Oktober lalu mengungkapkan bahwa jumlah orang Indonesia yang berstatus miskin sedang  (moderate poor)—dengan pengeluaran per hari antara 1.9 dolar dan  3.1 dolar—ternyata sangat besar, yakni mencakup sekitar 25 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Itu artinya, lebih dari 30 persen penduduk Indonesia masih terkategori miskin pada 2015 dengan pengeluaran/pendapatan per hari kurang dari 3.1 dolar AS.
Data Bank Dunia juga memperlihatkan bahwa hanya 30 persen orang Indonesia yang benar-benar aman dari kemiskinan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa tingkat kerentanan untuk menjadi miskin di Tanah Air relatif tinggi. Hal ini tecermin dari tingginya proporsi penduduk dengan kategori rentan miskin (vulnerable) yang mencapai sekitar 30 persen dari populasi Indonesia pada tahun 2015. Penduduk berkategori rentan miskin tersebut bisa menjadi miskin sewaktu-waktu jika terjadi gejolak ekonomi yang memukul daya beli mereka.
Faktanya, proporsi penduduk berkategori rentan miskin cenderung stagnan dan tidak mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Karena itu, pemerintah sebaiknya memberi perhatian serius terhadap hal ini, yakni bagaimana meningkatkan pendapatan mereka secara signifikan.
Hal ini dapat dilakukan antara lain melalui pembangunan wilayah perdesaan mengingat sebagian besar penduduk dengan kesejahteraan menengah-bawah tinggal di daerah perdesaan. Sejalan dengan hal ini, seperti yang dikemukakan oleh banyak ahli ekonomi, pembangunan infrastruktur pedesaan yang dapat meningkatkan produktivitas di sektor pertanian dan peningkatan nilai tambah produk pertanian harus menjadi fokus perhatian pemerintah. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga