Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2018

Akurasi Data Surplus Beras 2014

Tahun ini bukan hanya tahun politik, tapi juga tahun pembuktian terwujudnya sejumlah target politik pemerintahan SBY-Budionoyang sudah di ambang senja. Salah satu target itu adalah surplus beras 10 juta ton. Maklum, hingga kini beras masih memiliki nilai politis sebagai tolak ukur keberhasilan pemerintah di bidang pangan. Di atas kertas, pencapaian target ambisius ini sangat ditentukan olehakurasi data yang digunakan dalam perhitungan surplus. Pendek kata, tercapai atau tidaknya target ini membutuhkan justifikasi data statistik. Data pokok yang digunakan dalam perhitungan surplus beras adalah data produksi padi yang dikonversi ke beras dan data konsumsi beras.Soal akurasi, kedua data ini kerap menuai kritikan dari banyak kalangan. Data produksi padi ditengarai over-estimated atau lebih tinggi dari angka yang sebenarnya. Akibatnya, disasosiasi antara produksi, stok, dan harga beras di pasarkerap terjadi. Pada 2011, misalnya, data menunjukkan produksi beras cukup m

Pangan dan Penduduk

Buku "Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035” telah diluncurkan oleh Presiden SBY di Istana Negara beberapa waktu lalu (29 Januari 2014). Hasil proyeksi menunjukkan, jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2035 bakal mencapai 305,6 juta jiwa. Pertanyaannya, apakah negeri ini mampu mencukupi kebutuhan pangan bagi penduduk sebanyak itu? Dalam konteks Indonesia, beras adalah komoditas pangan utama. Konsumsi beras nasional saat ini mencapai 139 kilogram per kapita per tahun. Itu artinya, bila angka konsumsi beras tidak bisa ditekan, kebutuhan beras nasional pada tahun 2035 bakal mencapai 43 juta tonatau setara dengan 76 juta ton gabah dalam kualitas gabah kering giling (GKG). Pertanyaannya, mampukah kita menyediakan beras sebanyak itu tanpa harus mengimpor dari luar negeri (swasembada), di tengah daya dukung sektor pertanian yang dari hari ke hari terus menurun? Tak bisa dimungkiri, selama ini kebijakan pertanian kita terlalu berorientasi pada peningkatan produksi padi/beras.

Impor dan Statistik Beras

Kisruh beras impor kualitas premium asal Vietnam belum jelas ujungnya.Seperti diketahui, ihwal kisruh tersebut, pemerintah memutuskan untuk menghentikan sementara (moratorium) importasi beras khusus atau kualitas premium selama enam bulan mendatang sembari membenahi kembali tata niaga impor beras. Meski sah saja,beras impor selalu menuai tanggapan negatif dari publik. Tak peduli beras impor tersebut kualitas premium atau medium. Bagi Indonesia yang luas sawahnya mencapai 8 juta hektar, impor beras sungguh keterlaluan. Bukti bahwa bangsa ini lemah dalam soal kemandirian pangan. Galibnya, dalam soal importasi beras kualitas premium, yang dilakukan pemerintah bukan sekedar moratorium, tapi penghentian secara permanen. Pasalnya, selain membuka peluang masuknya beras illegal, produk substitusi untuk beras kualitas premium yang diimpor selama ini sebetulnya bisa dihasilkan di dalam negeri. Beras jenis Rojolele dan Cianjur, misalnya, memiliki kualitas yang setara dengan beras imp

Kinerja DKI dalam Penurunan Kemiskinan

Persoalan pelik yang tengah dihadapi Jakarta dewasa ini bukan hanya banjir dan macet, tapi juga kemiskinan kota yang kronik. Fenomena kemiskinan dapat dengan mudah dijumpai di berbagai tempat, seperti bantaran kali, pinggiran rel kereta api, dan kawasan kumuh lainnya. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, dalam setahun terakhir, perkembangan kemiskinan di Jakarta belum menunjukkan kemajuan yang mengesankan. Persentase penduduk miskin bahkan mengalami peningkatan dari 3,70 persen pada September 2012 menjadi 3,72 persen padaSeptember 2013. Itu artinya, kinerja Jokowi dalam soal pengentasan kemiskinan di ibu kota belum maksimal. Celakanya, bukan hanya kemiskinan yang menjadi masalah serius di ibu kota, Kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si miskin juga semakin melebar. Data BPS menunjukkan, Jakarta adalah salah satu provinsi dengan kesenjangan ekonomi yang paling buruk di tanah air. Hal ini ditunjukkan oleh rasio gini Jakarta yang mencapai 0,433 poin pada September

Inflasi dan Kemiskinan di Ibu Kota

Kinerja Jokowi dalam soal pengentasan kemiskinan dalam setahun terakhir masih belum maksimal. Hal ini tercermin dari profil kemiskinan Provinsi DKI Jakarta yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada 1 Juli. BPS mencatat, pada Maret 2014 jumlah penduduk miskin—yakni penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan lebih kecil dari  Rp447.797—di Jakarta mencapai 393,98 ribu orang atau mencakup 3,92 persen dari total jumlah penduduk Jakarta. Itu artinya, jumlah penduduk miskin bertambah sebanyak 22,28 ribu orang bila dibandingkan dengan kondisi pada September 2013. Jumlah penduduk miskin juga mengalami kenaikan bila dibandingkan dengan kondisi pada Maret 2013. BPS mencatat, jumlah penduduk miskin pada Maret tahun lalu mencapai 352,96 ribu orang atau 3,55 persen dari total penduduk. Itu artinya, dalam setahun terakhir jumlah penduduk miskin bertambah sebanyak 41,02 ribu orang. Inflasi Seperti diketahui, inflasi atau kenaikan harga-harga barang dan jasa sangat me

Menggenjot Kebahagiaan

Setiap orang tentu mendambakan kebahagiaan. Di Negeri Abang Sam, mengejar kebahagiaan (pursuit of happiness) bahkan dianggap sebagai hak asasi yang melekat pada diri setiap orang, seperti halnya hak untuk hidup (life) dan memperoleh kebebasan (liberty). Dalam konteks Indonesia, tentu menarik bila kita menyoal: apakah 249 juta penduduk negeri ini sudah hidup bahagia? Definisi kebahagiaan sangatlah kualitatif, karena menyangkut perasaan atau kondisi emosional yang dirasakan oleh seseorang pada saat tertentu. Kondisi ini sangat dipengaruhi oleh kualitas hidup yang tengah dirasakan. Karena itu, pengukuran kebahagiaan bukanlah sesuatu yang mudah. Meskipun tak mudah, berbagai upaya telah dilakukan untuk mengukur kebahagian. Upaya ini didasari oleh kesadaran bahwa kebahagiaan merupakan variabel sosial yang perlu dievaluasi progresnya. Bhutan adalah negara pertama yang melakukan pengukuran kebahagian secara kuantitatif pada 2010. Negara ini kemudian merilis sebuah ukuran kebahag

Pendapatan Petani Relatif Rendah

Hasil Survei Pendapatan Rumah Tangga Usaha Pertanian tahun 2013 (SPP 2013) yang dirilis Badan Pusat Statistik pada awal bulan ini (1 Juli) menyebutkan, pendapatan rumah tangga tani dari usaha di sektor pertanian rata-rata hanya sebesar Rp12,4 juta per tahun atau Rp1 juta per bulan. Itu artinya, petani bakal sulit merengkuh kesejahteraan bila hanya mengandalkan usaha tani. Mudah dipahami, rendahnya rata-rata pendapatan dari usaha tani bertalian erat dengan fakta bahwa sebagian besar petani negeri ini merupakan petani tanaman pangan (padi dan palawija) dengan penguasaan lahan yang sempit. Hasil Sensus Pertanian 2013 menunjukkan, sebagian besar petani tanaman pangan mengusahakan lahan kurang dari setengah hektare (petani gurem). Lahan yang sempit mengakibatkan usaha tani tanaman pangan tidak ekonomis, karena efisiensi dan skala ekonomi usaha tani menjadi sulit digapai. Hasil SPP2013 memperlihatkan, rata-rata pendapatan rumah tangga tani tanaman pangan dari usaha pertanian han

Nasib Petani Tanaman Pangan

Hasil lengkap Sensus Pertanian 2013 (ST 2013) yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal bulan ini (1 Juli) menunjukkan: jumlah petani tanaman pangan berkurang cukup signifikan selama dasawarsa terakhir. BPS mencatat, jumlah rumah tangga usaha tani padi, jagung, dan kedelai pada 2013 mengalami penurunan masing-masing sebanyak 58,4 ribu rumah tangga (0,41 persen), 1,3 juta rumah tangga (20,4 persen), dan 314,8 ribu rumah tangga (31,9 persen) dibandingkan dengan kondisi pada 2003. Penurunan jumlah rumah tangga usaha padi dan jagung yang sangat besar terjadi di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Sementara itu, penurunan jumlah rumah tangga usaha kedelai yang sangat signifikan terjadi di Jawa. Setidaknya ada dua hal yang dapat menjelaskan fenomena penurunan tersebut. Pertama, petani tanaman pangan telah beralih ke subsektor lain yang lebih atraktif dan ekonomis, misalnya, subsektor perkebunan. Hal ini tercermin dari lonjakan jumlah rumah tangga usaha tani perkebunan dalam 10

Indeks Pembangunan Manusia Indonesia Jalan di Tempat

Pembangunan manusia Indonesia masih harus ditingkatkan. Hal ini tercermin dari laporan bertajuk “Sustaining Human Progress: Reducing Vulnerability and Building Resilience” yang diluncurkan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP)  pada Kamis lalu (24/7). UNDP menyebutkan, Indeks Pembangunan Manusia Indonesia (IPM) pada 2013 sebesar 0,684. Angka ini menunjukkan kenaikan sebesar 0,44 persen bila dibandingkan dengan skor IPM pada 2012  yang sebesar 0,681. Meski mengalami kenaikan, peringkat IPM Indonesia tetap bertengger di urutan 108 dari 287 negara. Indonesia juga belum beranjak dari kelompok medium dalam soal pembangunan manusia. Di regional ASEAN, Indonesia berada pada kelompok yang sama dengan Filipina, Vietnam, Timor Leste, Kamboja, dan Laos. Progres Indonesia dalam soal pembangunan manusia boleh dibilang sedikit lambat. Sepanjang periode 2000-2013, pertumbuhan skor IPM Indonesia rata-rata sebesar 0,9 persen per tahun. Progres yang lambat juga tercermin dar

Memacu Daya Saing Indonesia

Laporan berjudul “The Global Competitiveness Report 2014-2015” yang dirilis Forum Ekonomi Dunia pada Rabu lalu (3/9) menyebutkan bahwa peringkat daya saing Indonesia, yang diukur melalui indeks daya saing global, berada pada urutan ke-34 dari 144 negara. Hal ini menunjukkan peningkatan sebesar empat peringkat bila dibandingkan dengan peringkat Indonesia sebelumnya. Meski mengalami peningkatan daya saing, capaian Indonesia sebetulnya belum sesuai harapan. Bila dibandingkan dengan negera-negara lain di kawasan ASEAN, peringkat Indonesia masih tertinggal dari Singapura (2), Malaysia (20), dan Thailand (31). Hal ini tentu sedikit merisaukan karena tahun depan Masyarakat Ekonomi ASEAN bakal diberlakukan, dan ini menuntut kesiapan Indonesia untuk berkompetisi dengan negara-negara ASEAN lainnya. Pertanyaannya: mampukah kita bersaing secara head-to-head atau hanya bakal menjadi penonton? Karena itu, memacu daya saing di kancah global harus menjadi fokus perhatian pemerintahan mend

Ahok dan Konsep Kemiskinan BPS

Salah satu persoalan pembangunan di Jakarta yang diwariskan oleh Joko Widodo (Jokowi) kepada gubernur yang baru, Basuki Tjahaja Purnam (Ahok), adalah kemiskinan kota (urban poverty) yang kronik dan sulit diselesaikan. Statistik memperlihatkan, alih-alih mengalami penurunan, tingkat kemiskinan di Ibu Kota justru mengalami peningkatan dalam setahun terakhir. Kondisi kemiskinan saat ini bahkan lebih buruk dari kondisi kemiskinan saat Jakarta dipimpin oleh Fauzi Bowo (Foke). Seperti terlihat pada peraga (grafik), persentase penduduk DKI yang hidup di bawah garis kemiskinan alias miskin mengalami kenaikan yang cukup signifikan sepanjang Maret 2013-Maret 2014. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, persentase penduduk miskin di Jakarta pada Maret tahun ini mencapai 3,92 persen, atau bertambah 0,37 persen dibanding persentase penduduk miskin pada Maret tahun lalu yang mencapai 3,55 persen dari total penduduk Jakarta. Peraga juga menunjukkan, kondisi kemiskinan di Jakarta saat

Salah Kaprah Soal Urbanisasi

Pasca-Lebaran, Jakarta selalu dibanjiri para pendatang baru dari daerah, yang kepincut gemerlap ibu kota. Tahun ini diperkirakan warga baru Jakarta yang datang bersamaan dengan arus balik lebaran bakal mencapai 68 ribu orang. Sekitar 60 persen di antaranya diperkirakan bakal menetap secara permanen (Koran Tempo, 4 Agustus). Umumnya, para pendatang baru tersebut memutuskan untuk mengadu nasib di Ibu Kota karena ajakan, atau terpengaruh cerita sukses dari teman/kerabat yang sudah lebih dulu merantau ke Ibu Kota. Dalam literatur demografi, pola migrasi seperti ini disebut migrasi berantai (chain migration). Dalam bahasa sehari-hari, kata urbanisasi juga sering dipakai untuk menjelaskan arus pendatang baru ke Jakarta. Sebetulnya, penggunaan kata urbanisasi dalam konteks ini kurang tepat. Mengapa demikian? Dalam literatur demografi atau kependudukan, kata urbanisasi didefinisikan sebagai proses bertambahnya jumlah atau proporsi penduduk yang mendiami wilayah perkotaan. Penamb

Ahok dan Kekeliruan Mengenai Konsep Penduduk

Seperti diberitakan sejumlah media dalam jaringan beberapa waktu lalu, Basuki Tjahja Purnama (Ahok), yang kini menjabat sebagai Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta, melayangkan protes kepada Badan Pusat Statistik (BPS) ihwal definisi penduduk yang digunakan saat melakukan pendataan. Menurut Ahok, BPS seharusnya hanya mengikutkan warga DKI yang memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) ketika melakukan perhitungan jumlah penduduk miskin dan angka pengangguran di Ibu Kota (Liputan6.com, 9 Oktober). Protes Ahok tersebut tentu saja tidak bisa diterapkan oleh BPS. Pasalnya, sebagai lembaga statistik resmi (official statistics), BPS bekerja berdasarkan terminologi yang sudah baku dan disepakati secara internasional, termasuk dalam soal konsep “penduduk”. Hal ini penting agar ada keseragaman, konsistensi, dan keterbandingan data antar negara, yang merupakan kelaziman dalam statistik resmi. Dalam memproduksi statistik resmi, BPS harus tunduk pada 10 Fundamental Principles of Officia

Mimpi Kedaulatan Pangan

Angka ramalan produksi tanaman pangan yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada Senin lalu (3/11) menyebutkan bahwa produksi padi, jagung, dan kedelai nasional pada tahun ini diperkirakan masing-masing sebesar 70,61 juta ton gabah kering giling (GKG) 19,13 juta ton pipilan kering, dan 921,34 ribu ton biji kering. Itu artinya, bila dibandingkan dengan kondisi pada 2013, produksi padi diprediksi mengalami penurunan sebesar 0,67 juta ton (0,94 persen). Sementara itu, produksi jagung dan kedelai diperkirakan mengalami kenaikan masing-masing sebesar 0,62 juta ton (3,33 persen) dan 141,34 ribu ton (18,12 persen). Sejatinya, gambaran kinerja produksi yang dirilis BPS tersebut menunjukkan bahwa kedaulatan pangan untuk komoditas padi/beras, jagung, dan kedelai—yang merupakan  pengejawantahan dari visi kemandirian ekonomi dalam Nawa Cita—masih sebatas mimpi yang harus diwujudkan oleh pemerintah Jokowi-JK. Faktanya, penurunan produksi padi pada 2014 sejalan dengan seretnya re

Persoalan Ketimpangan Ekonomi dan Solusinya

Salah satu persoalan pembangunan yang diwarisakan SBY kepada presiden baru, Joko Widodo (Jokowi), adalah ketimpangan distribusi pendapatan yang semakin melebar. Ekonomi Indonesia memang tumbuh mengesankan—pada kisaran 5-6 persen—selama dasa warsa terakhir . Namun, pertumbuhan tersebut  ternyata tidak dinikmati secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat. Hal ini tercermin dari perkembangan gini rasio, indikator yang mengukur ketimpangan distribusi pendapatan, yang menunjukkan tren peningkatan selama sepuluh tahun terakhir. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pada 2004 gini rasio baru mecapai 0,32, yang manunjukkan bahwa ketimpangan distribusi pendapatan masih tergolong rendah. Namun, pada 2013, gini rasio telah menyentuh angka 0,41. Artinya, ketimpangan sudah memasuki skala medium dan tentu saja mengkhawatirkan. Angka gini rasio sebesar 0,41 menunjukkan bahwa sekitar 49 persen pendapatan nasional terkonsentrasi pada 20 persen penduduk dengan pendapatan tertinggi