Langsung ke konten utama

Kinerja DKI dalam Penurunan Kemiskinan


Persoalan pelik yang tengah dihadapi Jakarta dewasa ini bukan hanya banjir dan macet, tapi juga kemiskinan kota yang kronik. Fenomena kemiskinan dapat dengan mudah dijumpai di berbagai tempat, seperti bantaran kali, pinggiran rel kereta api, dan kawasan kumuh lainnya.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, dalam setahun terakhir, perkembangan kemiskinan di Jakarta belum menunjukkan kemajuan yang mengesankan. Persentase penduduk miskin bahkan mengalami peningkatan dari 3,70 persen pada September 2012 menjadi 3,72 persen padaSeptember 2013. Itu artinya, kinerja Jokowi dalam soal pengentasan kemiskinan di ibu kota belum maksimal.

Celakanya, bukan hanya kemiskinan yang menjadi masalah serius di ibu kota, Kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si miskin juga semakin melebar. Data BPS menunjukkan, Jakarta adalah salah satu provinsi dengan kesenjangan ekonomi yang paling buruk di tanah air. Hal ini ditunjukkan oleh rasio gini Jakarta yang mencapai 0,433 poin pada September 2013. Angka ini tertinggi nomor 4 dari 33 provinsi di Indonesia.

Rasio gini sebesar 0,433 menunjukkan, kemajuan ekonomi yang terjadi di ibu kota tidak dinikmati secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat. Boleh jadi yang diuntungkan hanyalah kelompok penduduk kelas menengah dan kaya, bukan wong cilik!

Sebetulnya, persoalan kemiskinan adalah masalah nasional, bukan hanya fenomena khas ibu kota.Faktanya, masih banyak provinsi yang potret kemiskinannya lebih parah dibanding Jakarta. 
Dalam sepuluh tahun terakhir, kinerja pemerintah dalam pengentasan kemiskinan boleh dibilang sudah cukup baik. Hal iniditunjukkan oleh perkembangan kemiskinan yang terus menurun.

Namun demikian, penurunan yang terjadi belum seperti yang diharapkan. Faktanya, meski anggaran untuk penanggulangan kemiskinan terus ditingkatkan hingga hampir mencapai 100 triliun pada tahun lalu, laju penurunan jumlah penduduk miskin cenderung lambat. 

Data BPS menunjukkan, pada September 2013, jumlah penduduk miskin mencapai 28,55 juta jiwa atau sekitar 11,47 persen dari total penduduk. Angka ini masih jauh dari terget yang telah dipatok pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2009-2014, yang menargetkan persentase penduduk miskin sebesar 8-10 persen.

Menurut para ahli, penyebab hal ini adalah berbagai program penanggulangan kemiskinan yang dijalankan selama ini lemah dalam implementasi, monitoring, dan evaluasi. Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang terjadi tidak berkualitas meski mencatatkan angka yang tinggi.

Pertumbuhan ekonomi lebih ditopang oleh sektor jasa (non-tradable) yang sama sekali tidak memberi nilai tambah ekonomi pada kelompok penduduk miskin. Sektor pertanian yang menjadi tumpuan hidup penduduk miskin justru melempem.

Secara faktual, kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian. Sekitar 63 persen penduduk miskin ada di desa, dan itu di sektor pertanian. Karena itu, kinerja penanggulangan kemiskinan amat bertalian erat dengan kinerja sektor pertanian.

Sayangnya, dalam sepuluh tahun terakhir, sektor ini tidak pernah tumbuh di atas empat persen, kecuali pada 2008 tumbuh 4,8 persen. Revitalisasi sektor pertanian yang digaungkan selama ini hanya sekedar wacana.

Karena itu, jika nanti Jokowi terpilih sebagai presiden. Pengentasan kemiskinan harus menjadi agenda utama. Hal ini merupakan bukti bahwa Jokowi dan PDIP memang memperjuangkan nasib wong cilik.Indonesia hebat hanya pepesan kosong bila jumlah penduduk miskin masih tinggi.

Revitalisasi sektor pertanian juga harus menjadi agenda utama. Karena hanya dengan memajukan sektor pertanian dan meningkatkan kesejahteraan petani, pengentasan kemiskinan akan maksimal. Dalam soal ini, Jokowi harus membuktikan bahwa ia seorang “sukarnois”. Sejarah bangsa ini menunjukkan, hanya Soekarno satu-satunya presiden negeri ini yang betul-betul memperjuangkan nasib petani. (*)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga