Langsung ke konten utama

Inflasi dan Kemiskinan di Ibu Kota



Kinerja Jokowi dalam soal pengentasan kemiskinan dalam setahun terakhir masih belum maksimal. Hal ini tercermin dari profil kemiskinan Provinsi DKI Jakarta yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada 1 Juli.

BPS mencatat, pada Maret 2014 jumlah penduduk miskin—yakni penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan lebih kecil dari  Rp447.797—di Jakarta mencapai 393,98 ribu orang atau mencakup 3,92 persen dari total jumlah penduduk Jakarta. Itu artinya, jumlah penduduk miskin bertambah sebanyak 22,28 ribu orang bila dibandingkan dengan kondisi pada September 2013.
Jumlah penduduk miskin juga mengalami kenaikan bila dibandingkan dengan kondisi pada Maret 2013. BPS mencatat, jumlah penduduk miskin pada Maret tahun lalu mencapai 352,96 ribu orang atau 3,55 persen dari total penduduk. Itu artinya, dalam setahun terakhir jumlah penduduk miskin bertambah sebanyak 41,02 ribu orang.

Inflasi
Seperti diketahui, inflasi atau kenaikan harga-harga barang dan jasa sangat memengaruhi perkembangan jumlah penduduk miskin. Apalagi, bila inflasi yang terjadi digerakkan oleh kenaikan harga-harga bahan makanan yang merupakan kebutuhan pokok penduduk miskin. Hal ini disebabkan sekitar 60-70 persen pengeluaran penduduk miskin dihabiskan untuk memenuhi kebutuhan makanan. Pendek kata, inflasi yang tinggi bakal menggerus daya beli penduduk miskin sehingga mengoreski tingkat kesejahteraan mereka.

Itulah sebab, pengendalian inflasi menjadi sangat penting. Hal ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah pusat dan Bank Indonesia (BI), tapi juga pemerintah daerah. Pentingnya peran pemerintah daerah (pemda) dalam pengendalian inflasi tercermin dari pembentukan Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah (TPID). Dalam tim ini, pemda berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam melakukan pemantauan dan pengendalian inflasi di daerah masing-masing.

Mudah diduga, kenaikan jumlah penduduk miskin di Jakarta dalam setahun terakhir tidak lepas dari sumbangan inflasi yang terjadi sepanjang Maret 2013- Maret 2014. Kenaikan jumlah penduduk miskin pada September 2013 disebabkan  oleh kanaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada akhir Juni 2013. Kebijakan tidak populer ini memicu inflasi Jakarta hingga mencapai 3,16 persen pada Juli 2013.  Sementara itu, kenaikan jumlah penduduk miskin pada Maret 2014 nampaknya disebabkan inflasi sepanjang Desember 2013-Februari 2014 yang relatif tinggi sebagai efek dari tingginya permintaan terhadap barang dan jasa saat Ramadhan, Idul Fitri, Natal, dan Tahun Baru.

Karena itu, pengendalian inflasi memegang peranan penting bagi keberhasilan Pemda DKI dalam menurunkan jumlah penduduk miskin di Jakarta. Sayangnya, kinerja Pemda DKI dalam soal pengendalian inflasi belum maksimal. Hal ini tercermin dari pergerakan angka inflasi Jakarta, yang secara umum, di atas angka inflasi nasional dalam setahun terakhir. BPS mencatat, laju inflasi sepanjang Juni 2013-Juni 2014 (year on year) di Jakarta mencapai 7,09 persen, lebih tinggi dari angka nasional yang sebesar  6,7 persen. (*)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga