Langsung ke konten utama

Beda Perempuan Jepang dan Perempuan Indonesia


Sesuai judulnya, fokus dari tulisan ini adalah bahasan mengenai perbedaan antara perempuan Jepang dan perempuan Indonesia. Tentu ada banyak perbedaan di antara keduanya. Dari sekian banyak perbedaan itu, tulisan ini mencoba mengulas perbedaan antara perempuan Jepang dan Indonesia dalam hal menikah dan memiliki anak.

Perbedaan antara perempuan Jepang dan Indonesia dalam hal menikah dan memiliki anak tentu tidak lepas dari pengaruh posisi kedua negara, yang satu sebagai negara maju (Jepang) dan satunya lagi sebagai negara berkembang atau dunia ketiga (Indonesia). Secara rata-rata, perempuan Jepang sudah pasti well educated jika dibandingkan dengan perempuan Indonesia. Kondisi ini tentu sangat memengaruhi perbedaan paradigma atau cara pandang perempuan kedua negara terhadap yang namanya menikah dan memiliki anak.

Enggan buru-buru menikah
Secara tradisional, umur menikah (marriage age) perempaun Jepang adalah antara 23 sampai dengan 25 tahun. Di Jepang, perempuan yang belum menikah di atas  umur 25 tahun akan mendapat julukan “chrismast cake”, yakni sebutan untuk kue Natal yang tidak diinginkan lagi oleh siapa pun setelah 25 Desember. Ini memiliki kemiripan dengan di Indonesia. Di negeri ini, wanita yang telah berumur lebih dari 25 tahun dan belum kunjung menikah juga dianggap telat menikah, dan seringkali menjadi bahan pergunjingan di keluarga dan lingkungan kerja.

Namun seiring berjalannya waktu, makin banyak perempuan Jepang menjadi wanita karier. Bagi mereka, keputusan untuk cepat-cepat menikah adalah sesuatu yang menghambat karier. Menikah dianggap akan membatasi mereka dalam hal karier karena harus mengurus suami dan anak. Selain itu, mereka juga memiliki kemapanan dan kemandirian secara ekonomi sehingga tidak perlu cepat-cepat menikah.

Karenanya, perempuan Jepang, yang umumnya well educated, memandang menikah sebagai sesuatu yang tidak  harus buru-buru dilakukan. Bahkan, banyak perempuan  Jepang lebih memilih untuk hidup melajang hingga umur yang tidak muda lagi (30-40 tahun) ketimbang buru-buru menikah. Tidak seperti di Indonesia, pilihan melajang bagi seorang wanita adalah sesuatu yang tabu dan pastinya akan menjadi bahan pergunjingan di masyarakat.

Itulah sebab umur kawin pertama (first age marriage) perempuan Jepang cukup tinggi, di atas 25 tahun. Bandingkan dengan umur kawin pertama perempuan Indonesia, yang berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010, sebesar 22 tahun. Hasil sensus pada tahun 2005 di Negara ‘Matahari Terbit’ itu menunjukkan, 32 persen perempuan Jepang masih lajang di awal umur 30 an, dan hampir 50 persen perempuan berumur antara 25-29 tahun berstatus belum menikah. Sementara di Indonesia, hasil Sensus Penduduk 2010 menunjukkan bahwa  74,71 persen perempaun berumur antara 25-29 tahun berstatus telah menikah, dan 90,39 persen perempuan berumur antara 30-34 tahun juga berstatus telah menikah.

Enggan memiliki anak
Selain enggan menikah, perempuan Jepang juga enggan memiliki anak. Bahkan, ada kecenderungan saat ini bahwa perempuan-perempuan Jepang─yang masih lajang─ lebih memilih untuk memelihara anjing ketimbang memiliki anak.

Memiliki anak di Jepang adalah sebuah keputusan yang menuntut konsekwensi ekonomi yang tidak ringan. Biaya untuk mengurus anak sangat mahal, dan membutuhkan investasi dalam hal pendidikan dan kesehatan yang tidak murah. Ditambah lagi dengan adanya kecenderungan bahwa anak-anak yang telah sukses di Jepang justru menelentarkan orang tuanya ketika memasuki usia senja sehingga memunculkan persepsi untuk apa berlelah-lelah memelihara anak kalau toh nantinya setelah sukses mereka tidak memperhatikan kita.

Konsekwensi dari hal ini sangat jelas, angka kelahiran di Jepang sangat rendah. Kalau sudah seperti ini pertumbuhan penduduk bisa negatif─berkurang─dan lambat laun orang Jepang bisa punah dari muka bumi. Selain itu, struktur penduduk yang kian didominasi oleh kelompok usia tua akan menambah beban anggaran pemerintah untuk memberikan jaminan sosial kepada penduduk usia tua, yang tak lagi produktif secara ekonomi. Tidak heran kalau pemerintah Jepang saat ini tak henti-hentinya menghimbau rakyatnya untuk menikah dan memiliki anak.

Bagaimana dengan perempuan Indonesia? Di Indonesia yang terjadi adalah sebaliknya, memiliki anak adalah sesuatu yang begitu didamba oleh perempuan yang baru saja menikah karena dianggap sebagai tolak ukur bahwa dia adalah seorang perempuan sejati atau ideal. Seperti halnya telat menikah, tidak memiliki anak adalah aib di Indonesia, dan bakal menjadi bahan pergunjingan di keluarga, lingkungan kerja, dan masyarakat.

Konsekwensi berbeda
Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2007 menunjukkan, perempuan usia subur di Indonesia rata-rata memiliki 2 sampai 3 orang anak. Konsekwensi dari hal ini sangat jelas. Kalau pemerintah Jepang dipusingkan oleh rendahnya angka kelahiran, pertumbuhan penduduk yang negatif, dan penduduk yang didominasi kelompok usia tua. Pemerintah Indonesia justru dipusingkan dengan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi─salah satu terpesat di dunia─dan semakin membengkaknya jumlah penduduk usia muda. Meskipun, hal ini sebetulnya ini juga memiliki sisi positif atau keuntungan buat Indonesia.

Hasil Sensus Penduduk 2010 menunjukkan, dalam sepuluh tahun terakhir, penduduk Indonesia tumbuh secara rata-rata 1,49 persen per tahun. Itu artinya, dalam satu tahun, secara rata-rata ada tambahan sekitar 3-4 juta penduduk, atau secara kasar hampir sekitar 10.000 bayi di negeri ini yang lahir setiap harinya. Itulah sebab pemerintah begitu gencar mengampanyekan slogan ‘dua anak saja  sudah cukup’, dan tak henti-hentinya menghimbau pasangan yang telah menikah untuk ber KB. Dengan demikian, negara yang jumlah penduduknya telah menembus 240 juta orang ini─keempat di dunia─bisa selamat dari ledakan jumlah penduduk.
*****

Sumber tulisan: (1) Marriage in Japan: History, love, Arranged Marriages, International Marriages (2) Yahoo.com (3) Badan Pusat Statistik (BPS), Sensus Penduduk 2010, dan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2007 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga