Langsung ke konten utama

Salah Kaprah Soal Urbanisasi


Pasca-Lebaran, Jakarta selalu dibanjiri para pendatang baru dari daerah, yang kepincut gemerlap ibu kota. Tahun ini diperkirakan warga baru Jakarta yang datang bersamaan dengan arus balik lebaran bakal mencapai 68 ribu orang. Sekitar 60 persen di antaranya diperkirakan bakal menetap secara permanen (Koran Tempo, 4 Agustus).

Umumnya, para pendatang baru tersebut memutuskan untuk mengadu nasib di Ibu Kota karena ajakan, atau terpengaruh cerita sukses dari teman/kerabat yang sudah lebih dulu merantau ke Ibu Kota. Dalam literatur demografi, pola migrasi seperti ini disebut migrasi berantai (chain migration).
Dalam bahasa sehari-hari, kata urbanisasi juga sering dipakai untuk menjelaskan arus pendatang baru ke Jakarta. Sebetulnya, penggunaan kata urbanisasi dalam konteks ini kurang tepat. Mengapa demikian?

Dalam literatur demografi atau kependudukan, kata urbanisasi didefinisikan sebagai proses bertambahnya jumlah atau proporsi penduduk yang mendiami wilayah perkotaan. Penambahan proporsi ini dapat disebabkan dua hal. Pertama, perluasan wilayah perkotaan. Hal ini terjadi karena perluasan wilayah kota atau daerah-daerah yang semula pedesaan tumbuh dan berkembang menjadi perkotaan. Kedua, migrasi atau perpindahan penduduk dari desa ke kota.

Dalam prakteknya, status suatu daerah, apakah termasuk pedesaan atau perkotaan, ditentukan berdasarkan sebuah indeks khusus. Indeks tersebut dihitung dengan menggunakan tiga variabel, yakni kepadatan penduduk, persentase rumah tangga pertanian, dan akses terhadap fasilitas umum.
Karena itu, berdasarkan definisi urbanisasi yang disebutkan sebelumnya, banyak di antara kita yang selama ini tidak tepat dalam memahami dan menggunakan kata urbanisasi. Kata ini cenderung disempitkan maknanya menjadi perpindahan penduduk dari desa ke kota.

Selain mengalami penyempitan makna, kata urbanisasi juga cenderung dimaknai negatif. Padahal sejatinya, laju urbanisasi merepresentasikan sesuatu yang positif, bahkan merupakan indikator kemajuan.

Tingkat urbanisasi yang tinggi merupakan indikasi bahwa telah terjadi perbaikan kesejahteraan dan kualitas pelayanan yang dirasakan masyarakat. Urbanisasi yang disebabkan oleh ekspansi daerah perkotaan, misalnya, merupakan indikator kemajuan pembangunan. Bukti bahwa perekonomian terus bertumbuh dan bertransformasi dari sektor pertanian-pedesaan ke sektor perkotaan (industri dan jasa).

Urbanisasi juga berpotensi mereduksi kemiskinan. Dalam Global Monitoring Report 2013, berjudul "Rural-Dynamics and The Millennium Development Goals", Bank Dunia melaporkan bahwa dua dari sepuluh orang yang berhasil keluar dari jerat kemiskinan di wilayah Asia Timur dan Pasifik difasilitasi oleh proses urbanisasi.

Sementara itu, nyaris 30 persen peningkatan dalam pencapaian tujuan Millennium Development Goals (MDGs) terkait dengan sanitasi merupakan resultante dari proses urbanisasi, baik berupa migrasi penduduk dari daerah pedesaan ke daerah perkotaan maupun ekspansi daerah perkotaan.

Kemiskinan

Kembali ke soal pendatang baru yang menyerbu Jakarta setiap tahun pasca-Lebaran. Hal ini selalu memunculkan dilema. Di satu sisi, migrasi ke Jakarta untuk merengkuh kehidupan yang lebih baik merupakan hak setiap orang, yang tentu saja tak boleh dihambat. Di sisi lain, kehadiran para pendatang baru tersebut justru menambah runyam berbagai persoalan sosial di Ibu Kota, seperti meningkatnya kemiskinan kota, kriminalitas, dan kekumuhan.

Faktanya, para pendatang baru yang mengadu nasib ke Jakarta bersamaan dengan arus balik Lebaran umumnya berpendidikan rendah dan minim keahlian. Tidak membikin heran, bila selama ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta selalu menunjukkan “resistensi” terhadap arus pendatang baru ke Ibu Kota. Hal ini tercermin dari penerapan Operasi Yustisi kependudukan yang kerap dilakukan secara intensif  pasca Lebaran.

Yang terbaru, resistensi tersebut tercermin dari penerapan perjanjian pidana untuk para pendatang baru yang terjaring razia masalah sosial, sebelum mereka dipulangkan ke kampung halaman masing-masing.

Seperti halnya Operasi Yustisi, penerapan perjanjian pidana sebetulnya tetap saja tidak menyelesaikan akar permasalahan yang sesungguhnya: kemiskinan. Sejatinya, arus urbanisasi ke Ibu Kota merupakan konsekuensi dari sulitnya merengkuh kesejahteraan di desa. Karena itu, arus pendatang baru dalam jumlah besar pasca-Lebaran ke Jakarta bakal terus berulang selama sektor pertanian-pedesaan masih menjadi pusat kemiskinan.

Rumusnya sederhana, bila desa tetap miskin dan tertinggal, arus pendatang baru Jakarta akan terus berlangsung dan sulit dibendung.  Karena itu, perekonomian pedesaan harus dibangun. (*)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga