Langsung ke konten utama

Korupsi Gerus Kebahagiaan Masyarakat Indonesia



Laporan Kebahagiaan Dunia 2018 (the World Happiness Report 2018) baru saja dirilis oleh the Sustainable Development Solutions Network for the United Nations pada 14 Maret lalu menjelang peringatan Hari Kebahagian Dunia yang jatuh pada 20 Maret nanti.

Laporan ini merangking tingkat kebahagiaan 156 negera di dunia termasuk Indonesia. Tingkat kebahagiaan yang merupakan representasi apa yang disebut sebagai subjective-well being diukur pada skala 0 sampai dengan 10 melalui sejumlah variabel, yakni Produk Domestik Bruto per kapita dalam paritas daya beli, harapan hidup sehat, kebebasan dalam membuat pilihan, persepsi korupsi, dan dukungan sosial.

Secara umum, komposisi lima negara dengan tingkat kebahagiaan tertinggi pada laporan tahun 2018 tidak jauh berbeda dengan laporan tahun sebelumnya. Pada tahun ini lima negara paling bahagia sejagat berturut-turut adalah Finlandia dengan skor kebahagiaan sebesar 7.632, Norwegia (7.594), Denmark (7.555), Islandia (7.495), dan Swiss (7.487). Adapun tahun lalu, Norwegia menjadi negara paling bahagia di dunia dengan skor mencapai  7.537, disusul berturut-turut oleh Denmark (7.522), Islandia (7.504), Swiss (7.494), dan Finlandia (7.469).

Fakta ini kembali meneguhkan dominasi negara-negara Skandinavia dalam pengukuran well-being dan aspek holistik dari pembangunan manusia. Negara-negara ini berhasil menyeimbangkan antara pembangunan ekonomi (material) dan aspek non-mateterial kehidupan manusia.

Lalu bagaimana dengan capaian Indonesia?
Pada laporan kali ini, Indonesia berada pada ranking 96 dari 156 negara dengan skor tingkat kebahagiaan sebesar 5.093. Bila dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara (ASEAN) capaian Indonesia boleh dibilang kurang menggembirakan. Betapa tidak, Indonesia kalah dibanding Singapura (6.343), Malaysia (6.322), Thailand (6.072), Filipina (5.524), dan Vietnam (5.103). Tingkat kebahagiaan orang Indonesia bahkan jauh di bawah Nigeria yang menempati peringkat 91 dengan skor tingkat kebahagiaan mencapai 5.155.

Faktanya, perkembangan tingkat kebahagiaan penduduk Indonesia menunjukkan tren penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Laporan tahun ini menyajikan rata-rata skor tingkat kebahagiaan sepanjang 2015-2017. Jika dibandingkan dengan kondisi sepanjang 2008-2010 rata-rata skor tingkat kebahagiaan Indonesia berkurang sebesar 0.160 poin.

Peraga berikut menunjukkan bahwa sepanjang 2006-2017 tingkat kebahagiaan tertinggi Indonesia dicapai pada 2014 dengan skor kebahagiaan mencapai 5.597. Sayangnya, tingkat kebahagiaan Indonesia kemudian mengalami penurunan yang cukup signifikan hingga mencapai 5.098 pada 2017.

Bila diurai menurut kontribusi setiap variabel terhadap skor tingkat kebahagiaan, sebagian besar tingkat kebahagiaan masyarakat Indonesia dijelaskan oleh variabel PDB per kapita dan dukungan sosial. Fakta ini selain mengonfirmasi peran penting kemapanan ekonomi dalam menjelaskan kebahagiaan, juga menunjukkan bahwa orang Indonesia umumnya merasa aman ketika dihadapkan pada kesulitan karena memiliki keluarga atau teman yang siap membantu kapanpun mereka membutuhkan pertolongan. Dengan kata lain, hal ini menunjukkan bahwa orang Indonesia memiliki jiwa tolong-menolong yang cukup baik.

Variabel dengan kontribusi paling kecil terhadap skor tingkat kebahagiaan adalah persepsi terhadap korupsi. Jika dibandingkan dengan Finlandia kondisinya sangat jauh berbeda. Persepsi terhadap korupsi mampu menjelaskan sekitar 0.393 poin dari total skor kebahagiaan Finlandia sementara untuk Indonesia kontribusi variabel persepsi korupsi dalam menjelaskan skor kebahagiaan sangat nihil, yakni hanya sebesar 0.018.

Tidak berlebihan jika dikatakan kalau praktek korupsi yang dilakukan oleh para pejabat publik di negeri ini telah menggerus kebahagiaan masyarakat Indonesia. Hal ini bisa dijelaskan karena praktek korupsi mengakibatkan anggaran negara yang mestinya dapat digunakan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat mengalami kebocoran dan hanya dinikmati oleh segelintir orang.

Kecilnya kontribusi variabel persepsi korupsi ini tentu tidak mengherankan mengingat eskalasi praktek korupsi di negeri ini masih sangat tinggi dan masif. Belakangan ini bahkan hampir saban hari kita disuguhi berita tentang penangkapan pejabat publik yang terlibat kasus korupsi. Hal ini mestinya menjadi perhatian serius bagi kita semua. Di tengah capaian pembangunan ekonomi yang sudah lumayan baik dan terus menunjukkan kemajuan berarti, pekerjaan rumah pemberantasan korupsi ternyata masih jauh dari kata memuaskan dan belum menunjukkan kemajuan yang berarti. (*)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga