Langsung ke konten utama

Hasil Sensus Pertanian 2013: Lupakan Swasembada Daging


Hingga kini, Badan Pusat Statistik (BPS) baru merilis dua data penting hasil sensus pertanian yang dilaksanakan sepanjang Mei 2013 (ST2013), yakni jumlah usaha rumah tangga pertanian dan populasi sapi dan kerbau (ternak). Data-data rinci yang juga amat penting dan ditunggu oleh banyak kalangan seperti perkembangan guremisasi dan profil petani/rumah tangga pertanian  sedang dalam proses pengolahan. Meski baru dua data penting yang dirilis, tanggapan dari publik terhadap dua data tersebut sungguh luar biasa.

Ihwal populasi sapi dan kerbau, BPS melaporkan bahwa populasi sapi dan kerbau pada 1 Mei 2013 mencapai  14,2 juta ekor atau mengalami penurunan yang cukup tajam bila dibandingkan dengan hasil Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau (sensus ternak) yang dilaksanakan BPS pada Juni 2011.

Populasi sapi dan kerbau hasil sensus ternak mencapai 16,7 juta ekor. Itu artinya, penurunan populasi pada tahun ini mencapai 2,5 juta ekor atau sekitar 15 persen bila dibandingkan dengan kondisi pada 2011. Mudah diduga, penyumbang terbesar penurunan ini adalah menyusutnya populasi sapi potong.
Ditengarai, penyebab utama penurunan populasi sapi potong adalah maraknya pemotongan sapi dalam beberapa tahun terakhir—sebagai dampak naiknya harga di pasaran—tanpa diimbangai dengan upaya pemerintah meningkatkan populasi sapi potong di dalam negeri secara berkelanjutan.

Celakanya, ditengarai pula, tak sedikit dari sapi yang dijagal itu adalah sapi betina produktif yang keberadaannya justru amat penting untuk menggenjot populasi. Hal ini mestinya dapat dicegah melalui monitoring yang ketat dengan memanfaatkan data hasil sensus ternak. Diketahui, sekitar 68 persen dari populasi sapi potong adalah sapi betina. Data mengenai seberannya pun telah tersedia secara terperinci, bahkan lengkap dengan nama peternak dan alamatnya (by name, by address).

Untuk mencegah pemotongan sapi betina produktif secara masif, Undang-Undang No.18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang mengatur mengenai larangan pemotongan sapi betina produktif serta sanksi hukumnya mestinya juga ditegakkan, jangan hanya garang di atas kertas.
Konsekuensinya, swasembada daging pada 2014 nampaknya bakal sulit (sekedar untuk tidak menyebut gagal) direngkuh. Berdasarkan terminologi FAO (Food and Agriculture Organization), suatu negara dianggap telah mencapai swasembada jika impor daging maksimal hanya 10 persen dari kebutuhan nasional. Saat ini, kebutuhan daging nasional ditaksir sekitar 600 ribu ton dalam setahun. Dengan populasi sapi potong yang menyusut, sulit rasanya bila 90 persen dari kebutuhan tersebut bisa dipenuhi dari sapi potong dalam negeri.

Nampaknya, target swasembada daging pada 2014 bakal bernasib sama dengan target-target swasembada pada komoditas lain seperti gula dan kedelai: sebuah mimpi yang harus dilupakan.
Terlepas dari kian beratnya tantangan pemerintah dalam mewujudkan swasembada daging, data populasi ternak hasil ST2013 merupakan pijakan penting bagi perumusan dan evaluasi kebijakan pemerintah ke depan, bukan hanya menyangkut upaya pengamanan pencapaian target swasembada daging, tapi juga penetapan kuota impor.

Basis data terbaru yang memuat nama seluruh peternak di Indonesia by name, by address telah tersedia. Pemerintah tinggal memutakhirkannya secara berkala. Ini dapat dilakukan, misalnya, di awal tahun. Dengan demikian, monitoring terhadap perubahan populasi dapat dilakukan secara berkelanjutan untuk mengawal pencapaian target swasembada. Begitupula dengan stok atau ketersediaan daging sapi di dalam negeri dapat diperkirakan secara akurat sebagai dasar penentuan kuota impor.

Terlepas dari ekses kenaikan harga daging sapi yang disebabkannya seperti yang terjadi baru-baru ini, dalam konteks kemandirian pangan, kebijakan pemerintah memangkas impor daging sapi secara gradual melalui penentuan kuota impor sebetulnya merupakan tindakan mulia lagi heroik. Tentu saja, sungguh keterlaluan jika negeri yang katanya agraris ini justru ternyata defisit perdagangan komoditas pangannya (termasuk daging) mencapai 1,4 miliar dolar AS pada 2010.

Selain itu, kebijakan penentuan kuota impor sejatinya merupakan wujud keberpihakan pemerintah terhadap peternak kecil. Tak bisa dimungkiri, para peternak kecil dan pengusaha Rumah Potong Hewan (RPH) justru kian bergairah dan diuntungkan dengan harga daging sapi lokal yang semakin kompetitif sebagai imbas dari kebijakan pemangkasan kuota impor. Namun demikian, penentuan kuota impor harus didasarkan pada data yang akurat. Begitupula dengan pengurangan impor daging sapi dan bakalan, harus dibarengi dengan upaya peningkatan populasi sapi potong di dalam negeri secara serius dan berkelanjutan. Dengan demikian, kebijakan yang sejatinya heroik ini tak hanya menguntungkan peternak, tetapi juga tak berbuah pahit bagi konsumen akibat lonjakan harga daging. (*)



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga