Langsung ke konten utama

Persoalan Pangan di Indonesia


Peringatan Hari Pangan Dunia pada 16 Oktober tahun ini mengusung tema “Sustainable Food Systems for Food Security and Nutrition”. Tema ini memberi penekanan pada pentingnya sistem pangan berkelanjutan untuk mendukung ketahanan pangan dan gizi.

Diketahui, dalam konteks global, ketahanan pangan dan gizi masih menjadi isu penting. Organisasi Pangan Dunia (FAO) memperkirakan: dari jumlah penduduk dunia yang mencapai 7 miliar lebih, sekitar 870 juta atau 12 persen di antaranya menderita kekurangan pangan kronik (chronic undernourishment) atau kelaparan pada 2010-2012.

Sementara itu, dalam soal gizi, pada 2011 sekitar 101 juta anak usia di bawah lima tahun (balita) di berbagai belahan dunia mengalami kekurangan berat badan (underweight), 165 juta mengalami hambatan pertumbuhan atau kekerdilan (stunting), dan 52 juta mengalamai penyusutan (wasting) karena kekurangan gizi (undernutrition) (Unicef, 2013).

Potret Indonesia

Di tengah berbagai kemajuan pembangunan ekonomi yang telah direngkuh, yang tecermin, antara lain, melalui pertumbuhan ekonomi yang mengesankan dan pendapatan masyarakat yang terus meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun belakangan ini, akses terhadap pangan yang mencukupi ternyata masih menjadi persoalan pelik bagi puluhan juta penduduk negeri ini.
Betapa tidak, sekitar 21 juta atau 8,6 persen orang Indonesia mengalami kelaparan pada 2010-2012 (FAO, 2012). Sementara itu, data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada Juli lalu menyebutkan, sekitar 28,07 juta (11,37 persen) penduduk miskin negeri ini tak mampu memenuhi kebutuhan dasar makanan sebesar 2.100 kilo kalori per hari.

Kekurangan gizi juga masih menjadi persoalan serius. Secara global, Indonesia merupakan salah satu kontributor utama prevelensi kekurangan berat, kekerdilan, dan penyusutan pada balita. Bahkan, Indonesia, boleh dibilang, yang terburuk dalam persoalan ini di kawasan Asia Tenggara (Indonesia Economic Querterly, Juli 2013). Menurut laporan yang berjudul Improving Child Nutrition: The achievable imperative for global progress yang dipublikasikan oleh United Nation of Children’s Fund (Unicef) pada April 2013, Indonesia menempati peringkat kelima dengan kasus kekerdilan terbanyak, dan peringkat keempat dengan kasus penyusutan terbanyak dari 88 negara di dunia.

Bayangkan, pada 2011, Unicef memperkirakan ada sekitar 7,5 juta balita di negeri ini yang mengalami hambatan pertumbuhan sehingga tampak kerdil atau memiliki tinggi kurang dari harapan di usianya. Angka ini menunjukkan, sekitar 4,5 persen prevalensi kekerdilan pada balita di seluruh dunia terjadi di Indonesia. Sementara itu, sekitar 5,4 persen prevalensi penyusutan pada balita secara global juga terjadi di Indonesia. Ditaksir, sekitar 2,8 juta balita di negeri ini mengalami penyusutan sehingga tampak kurus karena memiliki berat kurang dari harapan sesuai tinggi di usianya.

Tak membikin heran bila angka kematian balita di Indonesia masih relatif tinggi. Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia yang dilaksanakan BPS pada 2012 menyebutkan, angka kematian balita di Indonesia mencapai 40 kematian per 1.000 kelahiran hidup. Diketahui, sekitar 45 persen kasus kematian balita secara global disebabkan oleh kekurangan gizi.

Ini karuan saja merupakan peringatan bagi Indonesia yang saat ini tengah menikmati bonus demografi berupa kelimpahan penduduk usia produktif. Jutaan balita dengan gizi yang buruk dan gangguan pertumbuhan merupakan persoalan serius di masa mendatang. Hal ini tak hanya mengancam kapabilitas tenaga kerja atau penduduk usia produktif Indonesia, tapi juga bakal mengikis pertumbuhan ekonomi dan memperberat tantangan pemerintah dalam mereduksi kemiskinan. Selain itu, balita dengan gangguan partumbuhan berpotensi menderita berbagai penyakit tak menular (non-communicable diseases)ketika dewasa sehingga bakal meningkatkan biaya kesehatan yang mesti dikeluarkan pemerintah di masa mendatang.

Karena itu, kecukupan pangan dan gizi bagi 250 juta penduduk negeri ini, utamanya kelompok miskin, sudah semestinya menjadi prioritas pemerintah. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan telah menegaskan bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia. Dengan demikian, negara berkewajiban mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang bagi seluruh penduduk.

Kemandirian dan kedaulatan

Dalam konteks Indonesia, persoalan pangan dewasa ini bukan hanya mengenai kecukupan atau ketahanan pangan (food security). Tapi lebih dari itu, yang juga tak kalah penting adalah bagaimana negeri ini bisa memenuhi kebutuhan pangannya secara mandiri tanpa harus bergantung pada importasi produk pangan dari negara lain serta memiliki kedaulatan untuk menentukan kebijakan pangan bagi penduduknya tanpa harus didikte oleh negara lain. Dengan kata lain, kemandirian pangan (food independence) dan kedaulatan pangan (food sovereignty) harus diwujudkan.

Tentu kenyataan yang sulit diterima bila pada 2011 saja defisit perdagangan tujuh komoditas pangan utama (beras, jagung, gandum, kedelai, gula, susu, dan daging) dari sebuah negara yang katanya agraris telah mencapai USD9,5 miliar. Bahkan, besarnya defisit bakal kian menganga bila defisit perdagangan produk sayur-sayuran dan buah-buahan yang mencapai USD37 miliar juga ikut diperhitungkan (BPS, 2011). Padahal, Indonesia—dengan luas daratan mencapai 188,2 juta hektar—diberkahi dengan keseburan tanah yang melegenda. Di negeri ini, tongkat dan kayu pun bisa jadi tanaman.


Untuk itu, sinyalemen bakal urung tercapainya swasembada pada sejumlah komoditas pangan strategis, seperti gula, jagung, kedelai, dan daging sapi pada 2014 harus disikapi serius oleh pemerintah. Meski berat, ini merupakan pekerjaan rumah yang harus dituntaskan. Apa gunanya kebutuhan pangan tercukupi lagi murah bila tanpa kemandirian dan kedaulatan, karena sebagian besarnya harus diimpor dari negara lain.  (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga