Langsung ke konten utama

Kepala BPS Baru dan Data Pangan

Pada Kamis lalu (15/9), Suhariyanto dilantik oleh Menteri PPN/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro, sebagai Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) yang baru. Ia menggantikan Suryamin yang telah memasuki masa purnabakti. Dalam sambutannya pada acara pelantikan tersebut, Menteri PPN/Kepala Bappenas memberi penekanan khusus pada data produksi pangan. Data tersebut harus reliable sebagai landasan pemerintah dalam melakukan perencanaan dan penentuan kebijakan terkait pangan nasional.

Dipahami bersama bahwa tanpa data produksi pangan yang akurat, perencanaan pembangunan bakal keliru. Kebijakan yang diambil juga tidak tepat dan melenceng dari sasaran. Ongkos ekonomi, sosial, dan politik sebagai akibat perencanaan dan kebijakan yang keliru tentu sangat mahal. Karena itu, harapan yang sangat besar disandarkan kepada BPS sebagai lembaga penyedia data statistik resmi yang selama ini menjadi rujukan semua pihak.
Ketika berbicara data produksi pangan, persoalan akan mengerucut pada data produksi padi/beras nasional. Tak bisa dipungkiri, dari sekian banyak data yang dihasilkan BPS selama ini, data tersebut kerap menjadi sorotan banyak kalangan. Akurasinya dipertanyakan karena tidak sejalan dengan perkembangan harga beras di pasar dan keputusan pemerintah mengimpor beras untuk memperkuat cadangan beras nasional dan stabilisasi harga. 
Tahun lalu misalnya, produksi padi nasional dilaporkan mencapai 75 juta ton gabah kering giling atau setara dengan 43 juta ton beras. Dengan angka kebutuhan beras nasional yang mencapai 114 kilogram per kapita per tahun, kelebihan produksi beras pada tahun lalu bisa mencapai 13 juta ton. Surplus beras sebanyak itu mestinya menjadikan harga beras rendah dan stabil karena suplai yang melimpah. Selain itu, Indonesia seharusnya sudah menjadi negara eksportir neto beras seperti halnya Vietnam dan Thailand.
Faktanya, sepanjang 2015 harga beras cenderung tinggi dan tidak stabil. Hal tersebut merupakan indikasi kuat bahwa suplai beras tidak mencukupi. Lebih dari itu, alih-alih menjadi eksportir neto beras, realisasi impor beras nasional justru mencapai lebih dari 1 juta ton. 
Tidak membikin heran jika Wakil Presiden Jusuf Kalla berulang kali mengingatkan agar data produksi padi/beras nasional dihitung dengan cermat dan teliti. Menurutnya, angka produksi padi sebanyak 75 juta ton terlalu tinggi dan sangat berbahaya jika dijadikan landasan kebijakan terkait pangan. Kritik dari para pengamat dan akademisi yang mempertanyakan akurasi data produksi padi/beras nasional juga bertubi-tubi. Guru besar Institut Pertanian Bogor Andreas Santosa bahkan mengatakan bahwa data produksi pangan yang dirilis BPS abal-abal.
Sebetulnya, sumbu permasalahan data produksi padi/beras telah lama ditemukenali. Dalam Lokakarya bertema ”Data Pangan sebagai Pijakan Pengambilan Kebijakan” pada tahun lalu, BPS secara terbuka juga telah mengakui bahwa data produksi padi yang dirilis selama ini tidak akurat. Sumber ketidakakuratan tersebut adalah data luas panen yang ditengarai overestimate. 
Bagi BPS, persoalan data luas panen memang pelik. Pasalnya, data ini dalam prakteknya tidak dikumpulkan oleh BPS, tapi oleh Dinas Pertanian di bawah koordinasi Kementerian Pertanian. Sialnya, BPS harus menggunakan data ini dalam perhitungan produksi yang merupakan hasil perkalian data luas panen dan data produktivitas. Pendek kata, BPS hanya ketiban sial.
Secara umum, permasalahan pada data luas panen mengerucut pada dua hal. Pertama, data tersebut dikumpulkan oleh institusi yang berkepentingan dengan setiap digit angka luas panen yang dilaporkan. Dalam hal ini, potensi konflik kepentingan sangat besar karena institusi pengumpul data dievaluasi kinerja dan pencapaiannya berdasarkan data yang dikumpulkannya sendiri. 
Kedua, pengumpulan data luas panen tidak menggunakan metode objective measurement tapi berbagai metode konvensional, seperti estimasi dengan pandangan mata (eye estimate) yang berpotensi besar menghasilkan taksiran luas panen yang tidak akurat.  
Karena itu, solusinya cukup jelas, yakni menyerahkan sepenuhnya perhitungan data produksi padi nasional (luas panen dan produktivitas) kepada BPS. Dengan demikian, BPS harus mengupayakan metode perhitungan luas panen yang lebih akurat dengan menggunakan objective measurements. 
Kabar baiknya, komitmen terkait hal ini telah disampaikan Suhariyanto sesaat setelah dilantik sebagai Kepala BPS yang baru. Perhitungan luas panen kedepannya bakal dilakukan oleh BPS dengan berbasis citra satelit sehingga hasilnya bakal lebih akurat.
Patut dicatat, selain melaksanakan perbaikan metode perhitungan luas panen, BPS juga harus berani melakukan koreksi dan proyeksi kilas balik (backcasting) pada data produksi padi/beras yang selama ini telah dirilis dan menjadi konsumsi publik. Resistensi dari sejumlah pihak terhadap hal ini memang tak bisa dielakkan, tapi sebagai lembaga yang memiliki otoritas menghasilkan data statistik resmi di negeri ini, BPS harus berani melakukannya meskipun konsekuensinya bakal tidak mengenakkan.  
Sosialisasi dan komunikasi yang intensif dan kooperatif terkait hal ini juga harus dilakukan oleh BPS kepada semua institusi dan stakeholders yang selama ini berkepentingan dengan statistik produksi padi/beras, baik di tingkat pusat maupun daerah. 
Akurasi data produksi padi/beras merupakan ujian terhadap kredibilitas BPS yang mengusung visi sebagai pelopor data statistik yang terpercaya untuk semua. Jangan sampai karena nila setitik jadi rusak susu sebelanga. Karena itu, besar harapan kita pembenahan data produksi padi/beras dapat dilakukan secara maksimal oleh Kepala BPS yang baru, yang meraih gelar doktor Ekonomi Pertanian dari Reading University dan pernah menjadi Kepala Subdirektorat Statistik Tanaman Pangan. (*)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga