Langsung ke konten utama

Catatan Mengenai Akses Air Bersih di Indonesia



Di tengah krisis yang kian memburuk di Venezuela, air bersih menjadi barang yang sangat berharga untuk bertahan hidup di negara tersebut. Di sana, seliter air nilainya seperti emas, sangat mahal.
Hubungan politik antara Malaysia dan Singapura yang kerap memanas belakangan ini juga dipicu oleh persoalan air bersih. Harga penjualan air bersih oleh Malaysia ke Singapura (water agreement) yang sudah ketinggalan jaman karena ditetapkan pada tahun 1962 dinggap sudah tidak relevan.
Perdana Menteri Malaysia Mahatir Mohammad menginginkannya untuk direvisi sementara Singapura tetap bersikukuh dengan kesepakan yang lama. Alasannya tentu sangat jelas, ongkos ekonomi yang harus ditanggung Singapura jika kontrak tersebut direvisi bakal sangat besar karena negara kecil lagi miskin sumber daya alam ini amat bergantung pada suplai air dari Malaysia.
Fakta-fakta ini menegaskan kepada kita betapa pentingnya komoditas air bersih dalam kehidupan manusia, terutama ketika ia menjadi barang langka. Sejumlah kalangan bahkan menyatakan bahwa salah satu faktor utama pemicu perang dunia berikutnya adalah perebutan komoditas air (fresh water).
Tanggal 22 Maret yang baru saja berlalu diperingati sebagai Hari Air Sedunia (World Water Day). Peringatan tahun ini mengangkat tema 'leaving no one behind', yang menegaskan bahwa akses terhadap air bersih merupakan hak setiap orang yang harus dipenuhi. Karena itu, negara harus menjamin dan mengupayakan setiap warganya memiliki akses yang memadai terhadap air bersih.
Hal ini sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) ke-6, yakni menjamin ketersediaan serta pengelolaan air bersih dan sanitasi yang berkelanjutan bagi semua. Terkait hal ini, pada tahun 2030, target yang harus dicapai adalah akses universal dan merata terhadap air minum yang aman dan terjangkau bagi semua.
Lalu bagaimana kondisi di Indonesia sejauh ini terkait akses masyarakat terhadap air bersih? Jawaban dari pertanyaan ini dipotret oleh hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilaksanakan secara rutin oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dua kali dalam setahun.
Terkait akses terhadap sumber air bersih masyarakat Indoensia, hasil Susenas menyajikan potret yang boleh dibilang cukup menggembirakan. Persentase rumah tangga degan sumber air minum bersih terus meningkat secara konsisten selama beberapa tahun terakhir.
Tentu hal ini tidak terlepas dari upaya-upaya serius yang telah dilakukan oleh banyak pihak, khususnya pemerintah. Untuk dipahami, Air minum bersih bersumber dari ledeng, pompa, sumur terlindung, mata air terlindung dan air hujan yang berjarak >= 10 m dari tempat penampungan kotoran/tinja.
Namun patut diperhatikan, persentase rumah tangga yang belum memiliki akses air minum bersih masih sangat tinggi, yakni mencapai 28.37 persen pada 2017.
Selain itu, ketimpangan akses antar daerah juga sangat tinggi, khususnya antara wilayah Jawa yang telah memiliki infrastruktur air bersih yang lebih baik dan wilayah luar Jawa yang memiliki infrastruktur yang lebih tertinggal.
Sekadar gambaran, persentase rumah tangga dengan ketiadaan akses terhadap air minum bersih di Provinsi DKI Jakarta hanya sekitar 7.12 persen sementara di Provinsi Kalimantan Barat dan Papua masing-masing mencapai 68.51 persen dan 59.72 persen.
Ketimpangan akses juga terjadi antara masyarakat di wilayah perkotaan dan pedesaan. Pada tahun 2017, rumah tangga perkotaan yang mengakses air minum bersih mencapai 81.71 persen. Angka ini jauh lebih tinggi dari wilayah pedesaan di mana rumah tangga yang mengakses air minum bersih hanya sebesar 59.46 persen.
Fakta-fakta ini harus menjadi perhatin pemerintah sesuai dengan amanah undang-undang. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.39 Tahun 2016 disebutkan bahwa pemerintah perlu menjamin pemenuhan komponen rumah sehat bagi keluarga, yaitu akses/ketersediaan air bersih dan akses/penggunaan jamban sehat.
Karena itu, upaya-upaya yang lebih serius untuk memastikan bahwa setiap warga Indonesia memiliki akses terhadap air bersih dapat terwujud sangat diperlukan. 
Hal ini antara lain dapat dilakukan dengan mengupayakan agar sarana dan prasarana air bersih tersedia secara merata di seluruh wilayah Indonesia. Dengan kata lain, pembangunan infrastruktur air bersih harus difokuskan di wilayah pedesaan dan daerah tertinggal, khususnya di kawasan timur Indonesia. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga