Langsung ke konten utama

Jangan Sampai Gadis Asal Lamongan itu Patah Hati



Tulisan ini terinspirasi berita bertajuk Novi Wulandari Mantap Pilih STIS yang diturunkan Kompas.Com Jumat lalu (1/4), tentang seorang siswa SMA kurang mampu asal Lamongan, Jawa Timur, peraih nilai Ujian Akhir Nasional (UAN) tertinggi kedua nasional untuk mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam, yang menolak tawaran bea siswa dari sejumlah perguruan tinggi negeri ternama (UI, UGM, dan ITS) dan lebih memilih masuk Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) demi mengejar mimpinya menjadi seorang statistisi. Novi telah dinyatakan lulus tes tahap satu (tertulis) STIS dan sedang menunggu pengumuman tes tahap II (psikotes).

Selain karena minatnya yang begitu tinggi pada Statistika, alasan Novi memilih STIS adalah dia tidak akan dipusingkan soal biaya selama kuliah dan pekerjaan ketika lulus nantinya. Maklum, STIS adalah sebuah perguruan tinggi kedinasan (PTK) yang berafiliasi dengan Badan Pusat Statistik (BPS). Mahasiswanya mendapat  keistimewaan berupa: biaya kuliah gratis, uang saku per bulan selama menempuh studi dengan nominal yang cukup lumayan, dan jaminan akan diangkat sebagai CPNS/PNS golongan IIIA di lingkungan BPS setelah lulus. Keistimewaan ini –utamanya yang terakhir – sudah barang tentu begitu menggiurkan buat Novi yang secara ekonomi kurang mampu: ayahnya hanya seorang penjaga toko dengan bayaran Rp750.000 per bulan, sementara ibunya lebih miris lagi, hanya seorang pembantu rumah tangga dengan upah Rp500.000 per bulan.

Bukan sekedar promosi gratis
Dalam konteks peminatan siswa lulusan SMA terhadap STIS –mungkin juga PTK secara umum – kasus Novi boleh dibilang cukup menarik. Jamaknya, para lulusan SMA memilih masuk STIS karena dua alasan klise: ekonomi (kuliah gratis dan uang saku) dan jaminan diangkat sebagai PNS/CPNS. Tapi, Novi sedikit berbeda. Dia memilih STIS bukan hanya karena dua alasan klise tersebut, tetapi juga karena minatnya yang begitu tinggi pada Statistika. Nampaknya, gadis asal Lamongan itu telah jatuh cinta pada Statistika.

Sejatinya, apa yang ditawarkan PTK, termasuk STIS, adalah pendidikan profesi bukan murni keilmuan. Fokus dari penyelenggaraan pendidikan di PTK umumnya adalah mempersiapkan calon birokrat (aparat pemerintah) yang memiliki keahlian khusus dan dasar keilmuan yang cukup dalam menjalankan fungsi birokrasi yang diembannya. Pendidikan di STIS, misalnya, fokusnya adalah mempersiapkan para calon “statistisi pemerintah” yang akan bekerja sebagai birokrat di BPS, bukan sebagai akademisi apalagi peneliti. Mereka tidak hanya dicekoki dengan ilmu statistik, tetapi juga official statistics, bekal berharga untuk bekerja di BPS yang tak bakal diperoleh di jurusan Statistika di perguruan tinggi manapun, selain STIS.

Kalau boleh jujur, rasa dan nuansa keilmuan sebetulnya kurang terasa di STIS. Kalaupun terasa, tidak sekuat perguruan tinggi lain yang dari segi keilmuan memang fokus pada pengajaran dan pengambangan ilmu Statistik. Jurusan Statistika Institut Pertanian Bogor (IPB), misalnya. Contoh sederhana, tak satupun seminar nasional tentang Statistika pernah dihelat di pergaruan tinggi yang katanya merupakan kampus Statistika terbesar –dari segi jumlah mahasiswa – di Indonesia, bahkan mungkin di dunia itu. Seandainya Guiness World Record mencatat, saya kira, kampus kecil di Otista itu, dengan jumlah mahasiswa lebih dari seribu orang, bakal tercatat sebagai perguruan tinggi dengan jumlah mahasiswa Jurusan Statistika terbesar di dunia.

Sayangnya, eksistensi STIS dalam pengembangan Statistika di kencah nasional, boleh dibilang, nyaris tak terdengar gaungnya. Orang sering lupa, atau mungkin tak tahu, bahwa ada sebuah perguruan tinggi sebesar STIS, ketika berbicara tentang pengambangan Statistika di Indonesia. Padahal, dengan melihat sumber daya yang ada, STIS seharusnya bisa berada di garda terdepan dalam pengembangan ilmu Statistik, tak kalah dengan perguruan tinggi lain semisal IPB. Meskipun, hanya sebuah sekolah tinggi. Kita tentu tidak menutup mata bahwa selama ini mahasiwa STIS memang seringkali menjadi kampium dalam berbagai kompetisi Statistika tingkat nasional, semisal Olimpiade Statistika Nasional dan Statistika Ria. Tapi, itu saja saya kira tidak cukup untuk menjadikan STIS eksis di kancah nasional dalam hal Statistika. Apalagi kenyataannya, tak satu pun ajang kompetisi tingkat nasional tersebut yang dihelat di STIS.

Eksistensi STIS di kancah Statistika nasional juga terkait dengan keberadaan BPS sebagai lembaga yang paling bertanggung jawab terhadap penyelanggaraan kegiatan statistik (sensus dan survei) untuk pembangunan negeri ini. Faktual, mesin penggerak utama BPS sebagai penyedia data-data (statistik) adalah jebolan STIS. Dan saya kira, kondisi ini akan terus berlanjut di masa-masa yang akan datang. Kepercayaan publik, utamanya kalangan akademisi dan peneliti, terhadap data-data BPS tentu bakal kian meningkat jika STIS mampu menunjukkan eksistensinya dalam pengembangan ilmu statistik di kancah nasional.

Patut dicamkan! Selain merupakan bentuk promosi gratis yang kian melambungkan nama STIS, kepercayaan yang telah diberikan Novi Wulandari merupakan tantangan bagi STIS untuk menunjukkan eksistensinya di panggung Statistika Nasional. Pasalnya, dia mantap memilih STIS bukan hanya karena alasan ekonomi dan jaminan menjadi PNS, tapi juga karena kecintaannya pada Statistika. Kecintaaan yang sebetulnya bisa dia luapkan tidak hanya di STIS. Jangan sampai gadis Lamongan itu patah hati. Jayalah STIS!. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga