Langsung ke konten utama

Dosa Para Peramal (Produksi Padi)


Petani/buruh tani sedang melakukan panen
Tahun 2011 lalu, pemerintah telah menetapkan target ambisius terkait produksi beras nasional, yakni surplus 10 juta ton beras pada tahun 2014. Maklum, saat ini, produksi dan stabilitas harga beras nasional masih menjadi salah satu indikator kinerja pemerintah.

Target ambisius  tersebut mengundang pesimisme dari sejumlah kalangan. Pasalnya, sederet tantangan yang dihadapi sektor pertanian–tanaman pangan–dewasa ini tidaklah ringan. Laju konversi lahan pertanian (khususnya lahan sawah) yang kian pesat, ketidakpastian pasokan air, anomali iklim, tanah yang tak lagi subur, sumberdaya manusia yang tak lagi mendukung, dan sederet tantangan berat lainnya menjadikan upaya menggenjot produksi padi nasional bukanlah pekerjaan yang remeh.

Soal konversi lahan sawah, misalnya, menurut sejumlah kalangan mencapai 100.000 hektar per tahun. Sementara itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) menyebutkan, laju konversi lahan sawah mencapai 25.000 hektar per tahun. Entah mana yang betul di antara kedua data tersebut, kenyataannya laju konversi lahan sawah yang kian mengkhawatirkan itu tidak mampu diimbangi oleh pemerintah dengan pencetakan lahan sawah baru.

Selain konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian (perumahan dan industri) yang terjadi secara masif di Jawa, yang juga patut dicermati adalah konversi lahan sawah ke lahan perkebunan sawit dalam skala yang cukup besar di luar Jawa (Sumatera). Data Institute for Development Economics and Finance (Indef), menunjukkan, di tahun 2011, luas lahan perkebunan sawit tumbuh sebesar 6,7 persen. Mudah diduga, sebagian donasi dari pertumbuhan tersebut berasal dari konversi lahan sawah.

Konsekwensi dari luas baku lahan sawah yang terus berkurang tentu jelas: luas tanam terus berkurang yang berujung pada ancaman terhadap keberlanjutan produksi beras nasional, termasuk pencapaian target surplus beras 10 juta ton pada tahun 2014.

Overestimate
Selain mengundang pesimisme dari sejumlah kalangan, target ambisius di atas juga dihadapkan pada persoalan lain, yakni data-data perberasan yang kalau boleh dibilang "masih goyang" untuk dijadikan dasar pijakan.

Ada tiga data penting untuk menentukan bahwa surplus beras telah tercapai atau belum: produksi padi, angka konversi gabah ke beras, dan konsumsi beras per kapita. Selama ini, ketiga data ini dihitung oleh BPS.

Ada banyak bukti yang bisa kita hadirkan untuk menunjukkan bahwa akurasi ketiga data di atas (hingga saat ini) belum memuaskan, utamanya data produksi padi dan konsumsi beras per kapita. Soal data produksi padi, misalnya, telah lama ditengarai oleh para ekonom pertanian menderita overestimate alias terlalu ketinggian dengan tren yang terus membesar.

Selama ini terlihat jelas, adanya ketidakkonsistenan antara data produksi padi/beras hasil hitungan BPS dengan perkembangan harga beras di pasaran, begitu pula dengan data konsumsi yang diperoleh dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS, BPS), ekspor-impor (Trade, FAO), dan perubahan stok (Neraca Bahan Makanan, BPS). 

Ambil contoh, pada November 2010, BPS melaporkan bahwa produksi padi nasional (ARAM II) mencapai 66 juta ton gabah kering giling (GKG). Jika menggunakan angka konversi sebesar 0,57, itu artinya produksi beras nasional mencapai 37,6 juta ton. Sementara itu, jika digunakan angka konversi yang dipakai pemerintah selama ini sebesar 0,63, produksi beras nasional lebih tinggi lagi, mencapai 41,4 juta ton.

Baik menggunakan angka konversi sebesar 0,57 maupun 0,63, kenyataannya produksi beras nasional jauh melampaui kebutuhan beras nasional yang hanya mencapai 32 juta ton. Dengan lain perkataan, terjadi surplus beras sebesar 5-9 juta ton. Namun anehnya terjadi disasosiasi antara angka produksi beras di atas kertas dengan harga beras di pasaran dan stok beras yang ada.

Beras tidak dijumpai dalam jumlah yang memadai di pasaran. Hingga Oktober 2010, Bulog mengalami kesulitan menjaga stok beras pada level aman dengan alasan harga pasar sangat jauh di atas harga pembelian pemerintah (HPP) meskipun pada saat panen raya (musim rendeng: Maret-April). Stok beras Bulog idealnya sebesar 2 juta ton atau setidaknya pada level aman sebesar 1,5 juta ton. Sementara beras yang dikuasai Bulog kala itu hanya 1,2 juta ton, jauh dari level aman.

Hal yang sama kembali berulang pada Juli 2011 lalu. Kala itu, BPS merilis angka produksi padi kualitas GKG sebesar 68,06 juta ton (ARAM I). Berdasarkan angka ini, jika digunakan angka konversi sebesar 0,57–saja, bukan 0,63 sebagaimana yang digunakan pemerintah–dan konsumsi beras per kapita 237,6 juta penduduk Indonesia sebesar 139,15 kg per kapita per tahun, itu artinya juga terjadi surplus sebesar 5-6 juta ton kala itu. Bahkan, jika menggunakan angka konsumsi beras per kapita sebesar 113,48 kg per tahun (hasil survei konsumsi beras yang dilakukan BPS pada tahun 2011), surplus beras yang terjadi lebih besar lagi: mendekati angka 10 juta ton. Itu artinya, kita tidak perlu menunggu lama sampai 2014 untuk mencapai surplus 10 juta ton.

Tapi, mengapa pada saat yang sama harga beras terus merangkak naik? Indikasi kuat akan kelangkaan suplai beras di pasaran. Kenapa pula Pemerintah harus menganggarkan sekitar 7 triliuan rupiah pada tahun 2011 untuk mendatangkan sekitar 1,8 juta ton beras impor dari sejumlah negara karena Bulog mengalami kesulitan untuk mengamankan stok beras dengan hanya mengandalkan produksi beras dalam negeri. Padahal, kita surplus. Kemana larinya 5-6 juta ton beras itu?

Tentu ada banyak sebab yang bisa kita tengarai sebagai biang disasosiasi tersebut. Dan, dari sekian banyak sebab itu, salah satunya mungkin adalah data produksi padi/beras yang terlalu ketinggian alias overestimate.

Pandangan mata
Selama ini, BPS menggunakan hasil perkalian antara luas panen dan produktivitas dalam menghitung produksi padi, yang kemudian dikonversi ke beras dengan menggunakan angka konversi tertentu (hasil survei).

Dalam prakteknya, penghitungan produktivitas (produksi per hektar) menjadi tanggung jawab BPS yang dilakukan melalui metode sampling/survei ubinan. Akurasinya sebetulnya cukup baik. Setiap tahun jumlah sampel ubinan terus ditambah sehingga kesalahan akibat penarikan sampel (sampling error)  dapat terus ditekan. Hingga tahun 2012 ini, satu sampel ubinan (plot seluas 6,25 m2) mewakili luasan 150 hektar untuk padi sawah dan 128 hektar untuk padi ladang.

Satu-satunya sumber ketidakuratan dalam pengukuran produktivitas adalah moral hazard petugas: hasil ubinan ditentukan secara subjektif (bukan berdasarkan prosedur statistik/penarikan sampel) atau ubinan tidak dilakukan di sawah, tetapi “di atas meja.” Peluang moral hazard  bisa terjadi pada petugas BPS (sampel ganjil) dan petugas Kementan (sampel genap).

Potensi moral hazard  cukup besar untuk petugas Kementan. Alasannya sederhana: konflik kepentingan (conflict of interest). Di lapangan, sebagian petugas Kementan yang melakukan ubinan juga merangkap sebagai petugas penyuluh lapangan, dan meningkatnya angka produktivitas merupakan ukuran terhadap keberhasilan mereka sebagai penyuluh. Hasil kajian yang dilakukan Pusat Studi Pembangunan Institut Pertanian Bogor (PSP IPB) pada tahun 2000 menunjukkan, hasil ubinan yang dilakukan petugas Kementan lebih besar dari hasil ubinan Petugas BPS dengan perbedaan yang cukup signifikan.

Sementara itu, penghitungan luas panen menjadi tanggung jawab Kementerian Pertanian (Kementan). Secara teknis, penghitungan luas penen didasarkan pada laporan petugas Dinas Pertanian yang disetor ke BPS.

Kalau mau jujur, jika diasumsikan angka produksi padi yang ada selama ini menderita overestimate, kontributor utamanya adalah angka luas panen yang jauh dari akurat. Betapa tidak. Perkiraan laus panen masih mengandalkan metode pandangan mata (eye estimate).
Dalam prakteknya, petugas Dinas Pertanian datang ke sewah untuk memperkirakan luasan hamparan padi yang akan dipanen. Masih untung jika petugas datang ke sawah, bagaimana jika laus panen diperkirakan di atas meja?

Kejanggalan yang selalu muncul terkait laus panen adalah angkanya yang terus persisten pada posisi sekitar 13 juta hektar. Padahal, laju konversi lahan sawah sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya terus terjadi secara masif di depan mata. Konon, luas panen sebesar 13 juta hektar itu merupakan hasil optimalisasi indeks pertanaman (IP) pada sekitar 8 juta hektar luas baku lahan sawah yang selama ini juga banyak dipertanyakan oleh sejumlah pihak perihal ketepatannya.

Karena itu, perlu didorong penggunaan metodologi yang lebih baik terkait penghitungan luas panen. Pemanfaatan penginderaan jauh (inderaja), misalnya. Konon katanya, saat ini bukan hanya luas panen yang dapat diperkirakan dengan citra satelit, tetapi juga produktivitas.

Angka produksi padi tahun tertentu disajikan dalam 4 status angka yang berbeda: Angka Ramalan I (ARAM I), ARAM II, Angka Sementara (ASEM), dan Angka Tetap (ATAP). Sebetulnya, ketika berbicara kebijakan perberasan, dua angka pertama lebih memegang peranan penting karena masing-masing dirilis pada bulan Juli dan November tahun t. ASEM dan ATAP sudah terlalu basi bagi pemerintah karena dirilis pada tahun t+1, kedua angka ini hanya berguna bagi para peneliti dan akademisi untuk kepentingan post analysis.

Itulah sebab, terkait angka produksi padi, selama ini angka ramalan (ARAM) lebih populer ketimbang ASEM atau ATAP. Namun sayangnya, penghitungan ARAM tidak sepenuhnya didasarkan pada hasil realisasi survei ubinan dan laporan luas panen yang juga masih dipertanyakan akurasinya. Unsur forecasting (peramalan) dengan menggunakan berbagai metode statistik masih cukup dominan: 66,66 persen pada ARAM I dan 33,33 persen pada ARAM II. Kalau mau jujur, selama ini, validitas dan keterandalan model-model yang digunakan untuk forecasting masih menjadi “tanda tanya.” Jika ARAM yang dihasilkan selama ini memang betul overestimate , mudah-mudahan itu karena kelemahan model (hasil peramalan tentu tidak seratus persen benar, error  pasti terjadi), bukan mistake atau “dosa para peramal”.(*)


Pendapat pribadi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga