Langsung ke konten utama

Jangan Sampai Gadis Lamongan itu Jadi Bonsai


Foto: Nyolong punya adek tingkat.


Sebelum hilang dari ingatan saya yang cepat lupa, lewat tulisan ini, saya ingin membagikan pengalaman menarik saat menyelesaikan penyusunan skripsi di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) dua tahun yang lalu. Pengalaman ini sebetulnya juga terkait dengan apa yang telah saya tulis sebelumnya: "Jangan Sampai Gadis Asal Lamongan itu Patah Hati".

Karena terlanjur jatuh hati pada tema kemiskinan di tahun ketiga, saya dengan mantap memutuskan untuk mengambil topik mengenai kemiskinan dalam penyusunan skripsi sebagai prasyarat merengkuh gelar Sarjana Sains Terapan (SST) dari STIS. Saya fokus pada kemiskinan di wilayah perdesaan, tempat tinggal bagi sekitar 63 persen penduduk miskin negeri ini yang jumlahnya mendekati angka 30 juta jiwa. Melalui skripsi bertajuk Kaitan Antara Pertumbuhan Sektor Pertanian, Non Pertanian, dan Kemiskinan di Perdesaan Indonesia: Analisis Data Panel 2002-2008, saya mengajukan tesis bahwa sektor pertanian merupakan motor penggerak pertumbuhan ekonomi di daerah perdesaan, kunci utama keberhasilan pengentasan kemiskinan di negeri ini.

Lewat proses yang boleh dibilang sangat melelahkan, penelitian saya menunjukkan bahwa tesis di atas memang betul adanya. Dan, sejak saat itu, saya telah menjadi pendukung setia gagasan John Mellor: bahwa sektor pertanian yang tangguh merupakan syarat utama berhasilnya transformasi struktur ekonomi di negara-negara berkembang. Saya pun mendapat nilai “A” untuk skripsi yang, kata salah seorang dosen penguji, ketika membacanya seolah sedang membaca buku Michael P. Todaro itu. Hehehe….Maaf, kalau opening-nya sedikit narsis.

Ibarat bonsai
Keputusan untuk memilih topik kemiskinan dalam penyusunan skripsi memang berbuah manis. Bukan hanya karena dengan itu saya berhasil menggondol nilai “A” dalam ujian sidang skripsi. Tapi lebih dari itu, saya berkesempatan untuk dibimbing  langsung oleh ahli kemiskinan Badan Pusat Statistik (BPS), yang juga alumni AIS/STIS. Kesempatan yang  tentu saja jarang didapat oleh mahasiswa STIS yang lain.

Selain keahlian yang mumpuni dalam hal kemiskinan, dosen pembimbing saya, yang kini telah menjadi pejabat eselon I di BPS itu, juga rajin memberi motivasi dan berbagi pengalaman: bagaimana agar bisa sukses berkarir di BPS. Kami sering berdiskusi berbagai hal di luar topik skripsi. Saya ingat betul. Suatu hari saya pernah berdiskusi dengannya tentang STIS. Kepadanya, saya ungkapkan bahwa sepertinya ada yang salah dengan pendidikan di kampus itu.

Saya katakan kepadanya, “Jujur, Pak, di STIS kami tidak punya ikon yang bisa memotivasi, yang bisa membakar semangat, yang bisa menumbuhkan rasa percaya diri, menyadarkan bahwa kami sejatinya orang-orang pilihan, yang punya potensi menjadi orang hebat seperti teman Bapak, Adler Manurung, atau seperti Bapak yang bisa meraih gelar S3 dari British University dan menulis artikel di beberapa jurnal internasional.”Beliau hanya tersenyum dan mengangguk saat menanggapi curcol yang saya sampaikan dengan berapi-api itu.

Saya lanjutkan lagi curcol saya dengan memaparkan fakta yang menurut saya patut diperhatikan, “Kalau dilihat ke belakang, Pak, semua mahasiswa STIS itu hebat-hebat, penuh dengan segudang prestasi. Rata-rata mereka adalah juara kelas dan jaura lomba sekelas olimpiade di sekolahnya. Namun, ketika masuk STIS mereka seolah melempem, mereka seolah dibonsai, potensi mereka seolah “termatikan” oleh proses pendidikan yang jujur sama sekali tidak mengajak untuk sekedar bermimpi menjadi orang hebat. Hampir saban hari mereka dicekoki ilmu oleh para dosen yang miskin dedikasi dan semangat mencerahkan serta semangat berbagi, oleh dosen yang seolah “mengutuki” dirinya sendiri karena ditakdirkan menjadi seorang dosen. Walhasil, mereka tamat dari STIS dengan “kebingungan” identitas. Mereka bingung dengan ilmu statistik yang teleh mereka tekuni selama empat tahun lamanya, padahal pada diri mereka tersemat gelar “statistisi”. Mereka mengambil peminatan ekonomi dan sosial, tapi buta tentang persoalan ekonomi dan sosial negeri ini…..Tragisnya, setelah bekerja, mereka hanya bisa menjadi seorang “kuli data.”Curcol saya kali ini nampaknya ditangapi dengan serius oleh beliau. Dia kemudian bertanya, “Menurut kamu apa yang harus dilakukan (terkait pola pendidikan di STIS)?”. Saya hanya diam dan tak menjawab kala itu.

Apa yang saya ungkapkan dalam diskusi di atas adalah pengelaman saat menjadi mahasiswa STIS dulu, saat kampus di Otista itu gedungnya belum semegah saat ini. Kini, kondisinya mungkin telah berubah. Jika tidak, saya khawatir, Novi Wulandari, gadis yang pandai nian asal Lamongan itu bakal mengalami nasib yang sama seperti banyak pendahulunya, yang terlanjur menjadi bonsai, yang sejatinya dapat tumbuh besar nan tinggi menjulang di alam lepas.(*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga