Langsung ke konten utama

PNS = Pegawai Negeri Santai?

Bagi sebagian orang, menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah sesuatu yang begitu didamba. Beban kerja yang relatif santai, gaji plus tunjungan yang lumayan, serta jaminan pensiun di hari tua adalah sejumlah alasannya. Singkatnya, bagi mereka yang lebih memilih untuk menjadi ‘safety player’ dalam hidup ini, PNS adalah pilihan yang menggiurkan. 

Tidak bisa dipungkiri, saat ini, menjadi birokrat atau PNS masih menjadi primadona, khususnya di daerah. Bahkan, boleh dibilang tingkat ketergantungan angkatan kerja berpendidikan sarjana untuk menjadi PNS masih sangat tinggi. Karenanya, test penerimaan PNS tidak pernah sepi peminat. Anda tentu sering menyaksikan, test penerimaan PNS yang dilangsungkan di gelanggang olah raga (GOR) atau stadion sepakbola karena jumlah peserta yang membludak.

Untuk menjadi PNS, sebagian orang terkadang tidak sungkan mengelurkan duit hingga puluhan juta rupiah agar diangkat sebagai PNS. Dan memang, sudah menjadi rahasia umum selama ini kalau proses rekrutmen PNS, khususnya di daerah, syarat dengan praktek Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Hal ini tentu tidak baik bagi penyelenggaraan birokrasi, karena mereka yang dingkat menjadi PNS pada dasarnya tidak brekompeten untuk megemban amanah sebagai abdi negara. Dan pastinya, kualitas pelayanan publik akan terkorbankan. 

Menjadi PNS sejatinya adalah profesi yang sangat mulia. Namanya saja abdi negara. Mereka yang berkecimpung dalam profesi ini idealnya adalah orang-orang pilihan yang siap membaktikan diri kepada bangsa dan negara dengan segenap tenaga dan pikirannya. Namun sayang, stigma yang dilekatkan kepada PNS selama ini kenyataannya lebih banyak negatif ketimbang positifnya. Selama ini, profesi PNS lebih sering dicitrakan dengan malas dan tidak produktif dengan indikator kinerja yang tidak jelas. Hal ini memang tidak sepenuhnya benar, tetapi sebagian oknum PNS yang jumlahnya tidak sedikit kenyataannya memang seperti itu. Mereka lebih sering keluyuran di mal-mal dengan seragam dinasnya saat jam kerja, datang ke kantor hanya sekedar nongkrong dan baca koran, bahkan terkadang hanya sekedar datang absen di pagi hari lalu raib entah kemana dan baru balik lagi di sore harinya.

Padahal, sebagai PNS, mereka telah menerima gaji dan tunjungan yang cukup menguras anggaran negara. Di daerah, selama ini beban anggaran lebih banyak tersedot untuk membiaya gaji dan tunjangan PNS ketimbang pembangunan infrastruktur. Menurut data Bappenas, di kebanyakan daerah, sekitar 70-80 persen dari anggaran hanya untuk belanja rutin dan belanja pegawai. Dan tahun depan, anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk gaji dan tunjangan PNS mencapai Rp 104,9 triliun, naik 16,9 persen dari tahun ini yang mencapai Rp 89,7 triliun. Jumlah yang sudah barang tentu tidak sedikit. 

Tidak semua 

Terlepas dari stigma negatif PNS di atas, kita tidak menutup mata kenyataannya masih banyak PNS yang bekerja dengan sungguh-sungguh mengabdikan diri kepada bangsa dan negara. Bahkan, kalau boleh dibilang beban kerja dan jerih payah mereka tidak sebanding dengan gaji dan tunjangan yang mereka terima.



Di instansi tempat saya bekerja−Badan Pusat Statistik (BPS)−para Koordinator Statistik Kecamatan (KSK) adalaha contohnya. KSK yang biasa dikenal dengan sebutan mantri statistik atau petugas sensus merupakan ujung tombak BPS dalam proses pengumpulan data di lapangan melalui berbagai sensus dan survei. Tugas mereka boleh dibilang cukup berat bila dibandingkan dengan PNS kebanyakan. Betapa tidak. Segala rupa pendataan, sensus, dan survei silih berganti menyambangi mereka setiap tahun. Orang yang tahu betul tentang statistik tentu mafhum, kegiatan statistik−khususnya pengumpulan data− adalah pekerjaan yang sangat exhausted. Belum lagi ditambah dengan medan tugas yang karap kali menyulitkan. Mereka tidak jarang harus menembus hutan dan menerjang ombak hanya untuk sekedar menyambangi responden hingga ke pelosok dan sudut-sudut Nusantara.

Data-data seperti jumlah penduduk, tingkat kemiskinan dan pengangguran, produksi padi, jumlah sapi potong, dll, yang amat penting bagi perumusan kebijakan pembangunan negeri ini, bagi sebagian orang mungkin hanya sekedar kumpulan digit-digit angka, tanpa tahu bahwa untuk memperolehnya dibutuhkan kerja yang tidak ringan, dan jujur benar-benar menguras tenaga dan pikiran. 

Saya telah meyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana teman-teman bekerja berjibaku dengan ribuan dokumen (kuesioner). Mereka terkadang harus begadang semalaman, bahkan tidak jarang harus menginap di kantor hanya untuk menghasilakn digit-digit angka guna menyokong denyut nadi pembangunan bangsa ini. Dan saya kira, stigma ‘PNS=Pegawai Negeri Santai’ tidak layak disematkan kepada mereka. 

**** 
 Data-data detikcom

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga