Langsung ke konten utama

Petani Indonesia Tetap Miskin


Tingginya jumlah penduduk miskin merupakan persoalan mendasar yang belum terselesaikan hingga kini. Data terakhir menunjukkan, pada Maret 2011, jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 30,02 juta jiwa (12,49 persen). Angka sebesar ini tentu masih sangat tinggi, bahkan lebih tinggi dari jumlah penduduk Malaysia yang hanya mencapai 28 juta jiwa. Itupun dengan catatan, mereka yang dikatakan miskin adalah yang berpengeluaran kurang dari Rp 233.740/kapita/bulan atau sekitar Rp 7.800/kapita/hari.

Jika ditelaah lebih jauh, kemiskinan di Indonesia pada dasarnya merupakan fenomena perdesaan, lebih khusus lagi pertanian. Sekitar 2/3 penduduk miskin Indonesia adalah mereka yang tinggal di daerah perdesaan. Mudah untuk diduga, sebagain besar mereka bekerja di sektor pertanian, baik sebagai petani maupun buruh tani. BPS mencatat, pada Maret 2011, 57,78 persen penduduk miskin Indonesia bekerja di sektor pertanian.

Itulah sebabnya hampir tidak adalagi generasi muda bangsa ini yang mau menjadai petani. Dalam mindset mereka, menjadi petani identik dengan miskin. Mindset seperti itu memang ada benarnya kerena kenyataan yang ada memang demikian. Menjadi petani adalah pilihan terakhir generasi muda perdesaan ketika pekerjaan lain dengan pendapatan yang lebih baik sudah tidak tersedia. Bahkan, tidak jarang di antara mereka lebih memilih untuk mengadu nasib di kota ketimbang menjadi petani.

Belakangan ini, pemerintah sering dipusingkan dengan derasnya arus urbanisasi yang melanda Jakarta dan kota-kota penyangganya BODETABEK (Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) setiap paska libur Lebaran. Hal ini memang wajar terjadi jika perdesaan tidak lagi menjadi tempat tinggal yang nyaman dan mampu menjamin kelangsungan hidup penduduknya. Mereka sudah pasti akan menyerbu kota untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Sayangnya, mereka yang melakukan migrasi adalah penduduk miskin perdesaan. Mereka adalah sumber daya manusia yang tidak berkualitas, dengan kualifikasi yang tidak diinginkan oleh pasar tenaga kerja di perkotaan. Keberadaan mereka hanya akan menambah jumlah penduduk miskin dan berbagai masalah sosial di perkotaan.

Karena itu, operasi yustisia yang menjadi agenda rutin Pemprov DKI paska lebaran untuk meredam derasnya arus pendatang dari desa adalah bentuk kesia-sian dan pemborosan anggaran semata. Selama pangkal masalahnya, yakni kemiskinan perdesaan belum terselesaikan, para pendatang dari desa akan terus menyerbu Jakarta dan BODETABEK.

Tetap miskin
Apa yang tersaji pada peraga di bawah secara jelas memperlihatkan bahwa posisi perdesaan sebagai kantong kemiskinan tidak banyak berubah selama satu dekade terakhir. Desa tetap menjadi rumah bagi sekitar 60 persen penduduk miskin negeri ini.

[]
Ini merupakan buah dari pembangunan selama ini yang terlalu bias ke kota. Ambisi untuk menjadi negara industri secara terburu-buru menyebabkan kita sempat kurang memperhatikan pembangunan sektor pertanian yang merupakan corak utama daerah perdesaan, tempat tinggal bagi sekitar 80 persen penduduk negeri ini. Industrialisasi telah mengarahkan fokus kita ke kota dan abai terhadap pembangunan sektor perdesaan dan pertanian.

Akhir-akhir ini, kita dikagetkan dengan fakta bahwa negara yang katanya agraris ini ternyata adalah salah satu pengimpor pangan tropis terbesar di dunia. BPS mencatat, sepanjang periode Januari-Juli 2011, Indonesia telah menggelontorkan tidak kurang dari 45 triliun untuk mengimpor segala rupa produk pangan─mentah dan olahan─ mulai dari beras hingga singkong. Begitupula dengan buah-buahan tropis impor yang kini membanjiri pasar kita, mulai dari durian Bangkok hingga lengkeng dari Cina. Padahal, lahan kita luas lagi subur. Ini semua merupakan hasil dari abainya kita terhadap pembangunan sektor pertanian dan perdesaan selama ini.

Walaupun belakangan ini, telah timbul kesadaran akan pentingnya peran sektor pertanian melalui program Revitalisasi Pertanian untuk meningkatkan kembali vitalitas dan kinerja sektor pertanian perdesaan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan petani dan mengurangi kemiskinan di daerah perdesaan, hasilnya belum memuaskan.

Revitalisasi Pertanian yang dicanangkan pada Juni 2005 oleh Presiden SBY di Waduk Jatiluhur, Jawa Barat, merupakan salah satu bentuk operasionalisasi dari staretegi pembangunan Kabinet Indonesia Bersatu jilid I yang dikenal dengan strategi tiga jalur (triple track strategy) yang berazaskan pro-growth, pro-employment, dan pro-poor. Operasionalisasi konsep strategi tiga jalur tersebut dirancang melalui: (1) peningkatan pertumbuhan ekonomi diatas 6,5 persen per tahun melalui percepatan investasi dan ekspor; (2) pembenahan sektor riil untuk mampu menyerap tambahan angkatan kerja dan menciptakan lapangan kerja baru; dan (3) revitalisasi sektor pertanian dan perdesaan untuk berkontribusi pada pengentasan kemiskinan.

[]
Khusus untuk pengentasan kemiskinan, kala itu, SBY dan kabinetnya memiliki target yang cukup ambisius, yakni menurunkan angka kemiskinan hingga 8 persen pada tahun 2008. Namun kenyataannya, jauh panggang dari api. Hingga saat ini, angka kemiskinan masih di atas 10 persen. Sejak tahun 2005 hingga kini, angka kemiskinan secara umum memang terus menurun secara konsisten. Namun sanyangnya, penurunan ini sangat lambat dan tidak sebanding dengan banyaknya dana yang telah digelontorkan oleh pemerintah untuk program-rogram pengentasan kemiskinan yang telah naik berlipat-liapat sejak 2004 hingga kini.

Revitalisasi sektor pertanian dan peerdesaan telah terbukti tidak berkontribusi secara maksimal terhadap pengentasan kemiskinan di daerah perdesaan. Penurunan persentase penduduk miskin di perdesaan cenderung lambat dan hingga kini masih tetap tinggi.

Sektor perdesaan merupakan kunci utama keberhasilan pengentasan kemiskinan di Indonesia karena 2/3 penduduk miskin kita ada di desa. Karena itu, pembangunan sektor perdesaan melalui penguatan sektor pertanian dan pengembangan sektor non pertanian perdesaan merupakan suatu keharusan demi berhasilnya upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia.
*****

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga