Langsung ke konten utama

Masih Banyak Sarjana “Nganggur” di Hari Sarjana


Nampaknya, sedikit yang tahu kalau hari Kamis lalu (29/9) adalah Hari Sarjana Nasional. Hari yang tentu istimewa bagi mereka yang telah bergelar sarjana. Sebagai insan unggul, para sarjana merupakan aset bangsa yang diharapkan dapat memberikan sumbangsih berarti dalam pembangunan. Sayangnya, di Hari Sarjana, masih banyak sarjana yang menganggur. Mereka bukannya memberi sumbangsih kepada pembangunan bangsa, tetapi justru menjadi beban pembangunan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Februari 2011, 8,12 juta (6,8 persen) angkatan kerja kita adalah pengangguran terbuka ─sama sekali tidak memiliki pekerjaan─ dan sekitar 600 ribu (7,6 persen) orang diaantaranya adalah mereka yang telah lulus universitas alias sarjana. Kondisi ini sedikit lebih baik jika dibandingkan dengan Agustus 2010 lalu. Kala itu, jumlah penganggur sarjana mencapai sekitar 700 ribu orang (8,5 persen).




Jumlah penganggur sarjana dipastikan akan lebih banyak lagi jika defenisi pengangguran diperluas hingga mencakup mereka yang setengah menganggur─jumlah jam kerja kurang dari jam kerja normal─ dan mereka yang bekerja pada lapangan pekerjaan yang tidak sesuai dengan kualifikasi pendidikan yang dimiliki atau lebih rendah dari kualifikasi kemampuan yang dimiliki  (disguised unemployment).

Kondisi ini tentu sebuah ironi yang seharusnya tidak terjadi. Galibnya, tingkat pendidikan yang lebih tinggi (sarjana) seharusnya bisa memberikan akses yang lebih baik pula untuk mendapatkan pekerjaan. 

Mengapa sarjana banyak nganggur?
Tentu ada banyak faktor yang menjadi penyebab kenapa jumlah sarjana yang menganggur masih cukup tinggi. Kualitas lulusan dari segi keilmuan mungkin salah satunya. Tetapi saya kira, penyebab utama kenapa banyak sarjana kita tidak terserap pasar tenaga kerja adalah karena kesenjangan antara kualifikasi yang mereka miliki dengan kebutuhan pasar tenaga kerja.

Saat ini, sektor pertanian masih merupakan sektor utama penyerap angkatan kerja. BPS mencatat, pada Februari 2011, pangsa sektor pertanian terhadap penyerapan angkatan kerja mencapai 33 persen (42,47 juta orang). Padahal, kita tahu, kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan oleh sektor pertanian tidak perlu sarjana. Sarjana kita kenyataanya juga memang enggan bekerja di sektor ini.



[ ]

Data BPS menunjukkan, pada Februari 2011 sekitar 50 persen angkatan kerja kita, yang bekerja, hanya menamatkan pendidikan maksimal sekolah dasar (SD). Sementara itu, yang menamatkan pendidikan sarjana hanya sekitar 5 persen. Hal ini tentu wajar karena kenyataannya sebagian besar angkatan kerja kita terserap di sektor pertanian.

Hal ini merupakan tantangan buat pemerintah agar menciptakan kesempatan kerja yang lebih banyak lagi bagi para sarjana. Data BPS menunjukkan, tingkat penyerapan angkatan kerja di sektor-sektor yang menjadi pasar buat angkatan kerja dengan pendidikan sarjana, seperti sektor jasa kemasyarakatan, keuangan, dan komunikasi masih relatif kecil.

Pihak perguruan tinggi juga sedikit banyak bertanggungjawab akan hal ini. Mereka seharusnya mencari tahu struktur kebutuhan pasar tenaga kerja sebagai acuan bagi pengembangan kurikulum di perguruan tinggi. Dengan demikian, sarjana-sarjana yang dihasilkan bisa terserap oleh pasar tenaga kerja yang ada. Selama ini, pihak perguruan tinggi seolah tidak tahu-menahu dengan struktur kebutuhan pasar tenaga kerja. Selama ini pula, pihak perguruan tinggi terlalu beroriantasi akademik ketimbang menghasilkan tenaga profesi yang dibutuhkan oleh dunia kerja.

Selain itu, hubungan antara perguruan tinggi dengan dunia industri juga harus diperkuat. Perguruan tinggi harus membuat yang namanya career development sebagaimana yang disampaikan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaiman Iskandar ketika mengunjungi bursa kerja di Universitas Indonesia beberapa waktu yang lalu (8/2).

Entrepreneurship perlu digalakkan
Dan yang paling penting adalah bagaimana pihak universitas mampu menggalakkan dan menumbuhkan semangat entrepreneurship di kalangan para mahasiswa sehingga ketika lulus nanti mereka bisa menjadi orang-orang yang mampu menciptakan lapangan kerja, bukan tergantung pada pasar tenaga kerja.

Selama ini, tingkat ketergantungan angkatan kerja terdidik, khususnya sarjana, untuk menjadi birokrat atau pegawai negeri sipil (PNS) cukup tinggi. Jika ditelaah lebih jauh, penurunan jumlah lulusan sarjana yang menganggur sekitar 100 ribu orang selama periode Agustus 2010─Pebruari 2011 sebenarnya diduga lebih disebabkan oleh adanya penerimaan PNS selama periode tersebut.

Jika memang benar demikian, penurunan jumlah pengangguran lulusan sarjana beberapa tahun ke depan kemungkinan akan semakin kecil. Pasalnya, beberapa waktu yang lalu, pemerintah telah memutuskan untuk melakukan penghentian sementara penerimaan PNS (moratorium penerimaan PNS) selama beberapa tahun ke depan.

*****
Sumber tulisan Suara Merdeka, data-data dari BPS: KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2011


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga