Langsung ke konten utama

Singkong Saja Kok Harus Impor


Singkong atau ubi kayu merupakan salah satu makanan pokok rakyat Indonesia selain beras dan jagung. Tanaman palawija ini telah dikenal dan dibudidayakan secara luas di hampir seluruh wilayah Indonesia. Selama lima tahun terakhir, produksi singkong Indonesia terus meningkat secara konsisten. Pada tahun 2011, bedasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) produksi singkong nasional mencapai 24,08 juta ton.

[]
Sayangnya, produksi singkong dalam negeri yang terus meningkat ini ternyata belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi dan industri dalam negeri. Sehingga dengan sangat terpaksa, komoditi ini harus diimpor. Anda mungkin sedikit kaget, singkong kok harus diimpor. Tapi itulah faktanya, berdasarkan data BPS, sepanjang periode Januari hingga Juni 2011, Indonesia telah mengimpor sebanyak 4,73 ton singkong dengan nilai sebesar 21,9 ribu dolar AS. Singkong impor tersebut berasal dari Italia dan Cina. Dari Italia, Indonesia mengimpor 1,78 ton singkong atau senilai 20,64 ribu dolar AS, sedangkan dari Cina Indonesia mengimpor sebanyak 2,96 ton dengan nilai mencapai 1.273 dolar AS.

Statistik ini tentu sangat miris buat kita. Sepertinya isu kemandirian dan kedaulatan pangan yang selama ini digembar-gemborkan pemerintah cuma slogan semata. Karena kenyataannya, untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri kita masih harus impor. Tidak hanya beras dan jagung, singkong pun harus kita impor.

Jika ditelaah lebih jauh, kebutuhan singkong dalam negeri sebenarnya sebagian besar ditujukan untuk bahan baku industri, bukan konsumsi (rumah tangga). Singkong memang salah satu bahan makanan pokok, tapi komoditas ini tidak seperti beras dan jugung, komsumsinya pasti sangat terbatas dan tidak terlalu tinggi. Sehingga, bisa saja kekurangan suplai komoditas ini di pasaran yang berujung pada impor terjadi bukan karena produksi dalam negeri yang tidak mencukupi. Tetapi karena faktor lain, seperti konektivitas petani dengan pihak industri (informasi asimetris antara petani dan pihak industri), dalam hal ini produksi singkong petani melimpah, tetapi mereka tidak tahu ke mana memasarkannya, padahal pihak industri membutuhkan. Atau juga, mungkin ada mafia yang bermain untuk memperoleh keuntungan, seperti yang terjadi pada sejumlah komoditas pangan lainnya.

Potensi untuk swasembada, bahkan ekspor sangat besar

Jika masalahnya adalah produksi yang kurang, potensi untuk swasembada bahkan ekspor sebenarnya sangat besar, jika saja ada keseriusan dari pemerintah. Untuk meningkatkan produksi singkong, pemerintah harus fokus pada perluasaan areal tanam dengan membuka lahan baru dan peningkatan produktivitas melalui penggunaan varietas unggul (singkong gajah misalnya). Potensi untuk meningkatkan produksi masih sangat besar terutama melalui perluasan areal tanam. Apalagi, tanaman palawija ini dapat tumbuh di suluruh wilayah Indonesia, di dataran tinggi maupun rendah.


[]


Potensi untuk memperluas areal tanam masih sangat tinggi, khususnya di luar Pulau Jawa. Selama ini, produksi singkong nasional sebagian besar dihasilkan di laur Jawa, dan ini masih sangat potensial untuk terus ditingkatkan. Sementara itu, untuk pulau Jawa strageti yang paling tepat untuk meningkatkan produktivitas adalah melalui penggunaan varietas unggul. Perluasan areal tanam sangat tidak mungkin dilakukan. Karena di Jawa lahan pertanian semakin sempit akibat alih fungsi lahan untuk kegiatan non pertanian yang semakin pesat.

*****

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga