Langsung ke konten utama

Ironi Si Miskin dan Rokok


Meskipun terus mengalami penurunan secara konsisten selama lima tahun terkahir, jumlah penduduk miskin di Indonesia boleh dibilang masih cukup tinggi. Data terakhir menunjukkan, pada Maret 2011, jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 30,02 juta jiwa. Angka sebesar ini tentu masih sangat tinggi, bahkan lebih tinggi dari jumlah penduduk Malaysia yang hanya mencapai 28 juta jiwa. Itupun dengan catatan, mereka yang dikatakan miskin adalah yang berpengeluaran kurang dari Rp 233.740/kapita/bulan atau sekitar Rp 7.800/kapita/hari.

Salah satu ciri utama penduduk miskin adalah tingginya pendapatan yang dialokasikan untuk kebutuhan makananan. Kebutuhan makanan menyedot sebagain besar pendapatan mereka, sehingga sangat sedikit porsi pendapatan yang bisa dialokasikan untuk pendidikan dan kesehatan, apalagi saving atau menabung.

Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dilaksanakn Badan Pusat Statistik (BPS) di bulan Maret adalah satu-satunya survei yang mampu menangkap pola pengeluaran penduduk Indonesia, termasuk kelompok penduduk miskin. Dan sejak dua tahun terakhir, data SUSENAS telah menangkap fakta menarik terkait pola pengeluaran penduduk miskin, yakni tingginya konsumsi rokok ─filter dan kretek─di kalangan penduduk miskin. Beras dan rokok ternyata merupakan dua komoditi yang paling dominan kontribusinya terhadap pembentukan garis kemiskinan (GK)/konsumsi penduduk miskin.

[]
Sebagian besar pengeluaran/pendapatan penduduk miskin ternyata selain dihabiskan untuk membeli beras juga dihabiskan untuk membeli rokok. Dari Peraga di atas, pada tahun 2011, terlihat jelas bahwa sebagian besar pendapatan penduduk miskin digunakan untuk membeli beras (25,44 persen di perkotaan dan 32,81 persen di perdesaan) dan rokok (7,7 persen di perkotaan dan 6,23 di perdesaan).

Ini tentu merupakan statistik yang miris. Semua orang tahu dan semua dokter di muka bumi ini telah sepakat bahwa rokok sama sekali tidak ada manfaatnya. Malah sebaliknya, berdampak buruk bagi kesehatan. Selain itu, kebiasaan merokok adalah pemborosan. Sesuatu yang tidak pantas dilakukan oleh orang kaya apalagi orang miskin. Negeri ini memang aneh.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga