Gejolak harga beras yang terjadi belakangan ini memunculkan
beragam analisa terkait penyebabnya dan dampaknya terhadap kesejahteraan
petani.
Ihwal dampaknya terhadap kesejahteraan petani, pendapat
Puteri Indonesia, Elvira Devinamira, cukup menarik untuk disimak. Menurutnya,
kenaikan harga beras yang terjadi belakangan ini justru berdampak positif bagi
petani (Tempo.co,02 Maret). Argumennya sederhana: kenaikan harga beras bakal
mendongkrak pendapatan petani karena harga jual hasil panen yang meningkat.
Pada akhirnya, hal tersebut bakal menggenjot kesejahteraan mereka.
Sementara itu, ihwal penyebab kenaikan harga beras hingga
mencapai 30 persen, sejumlah analisa dari berbagai pihak juga mengemuka dan
meramaikan diskusi di ruang publik: mulai dari akibat pembagian raskin yang
telat, alur distribusi yang acak-adul, jadwal panen raya yang mundur sehingga
memengaruhi suplai, hingga dugaan adanya mafia beras yang sengaja memanfaatkan
situasi untuk meraup rente ekonomi.
Terlepas diagnosis mana yang paling tepat, gejolak harga
beras yang terjadi belakangan ini sejatinya memberi konfirmasi bahwa pasar
beras memang “tidak sehat”. Musababnya adalah perbedaan informasi yang dimiliki
para pelaku ekonomi perdagangan beras (Bustanul Arifin, 2007). Para pedagang
beras, apalagi yang merangkap/menguasai penggilingan padi, kemungkinan
besar mampu “mengelola” stok beras dengan piawai. Celakanya, berapa besar stok
yang sebetulnya dikuasai para pedagang hingga kini tetap menjadi misteri.
Ketika harga beras ditentukan melalui mekanisme pasar seperti saat ini, hal
tersebut tentu berpotensi memunculkanmarket power(praktek kartel).
Struktur pasar beras yang tidak sehat juga tercermin dari
tingginya disparitas harga gabah dan harga beras. Faktanya, kenaikan harga
beras tidak diikuti/sebanding dengan kenaikan harga gabah petani (transmisi
harga tidak bekerja). Meski harga beras termurah sudah di atas Rp10.000 per
kilogram, harga gabah kering giling masih sekitar Rp5.000 per kilogram. Itu
artinya, margin dan nilai tambah perdagangan beras tidak dinikmati oleh petani,
tapi pelaku lain, seperti pedagang dan penggilingan padi.
Hal tersebut sejatinya mematahkan argumen bahwa kenaikan
harga beras yang terjadi belakangan ini bakal menguntungkan petani padi.
Alih-alih menikmati berkah lonjakan harga beras, sebagai konsumen, sebagian
besar petani padi justru bakal dipusingkan dengan biaya hidup yang melambung.
Pasalnya, porsi pengeluaran rumah tangga padi yang dialokasikan
untuk beras cukup besar, sementara mayoritas mereka sejatinya adalah
konsumen neto (net-consumer) beras. Itu artinya, sebagai konsumen, mereka juga
harus membeli beras dengan harga pasar, meski pada saat yang sama
merupakan produsen padi/beras.
Gejolak harga beras yang terjadi belakangan ini juga memberi
konfirmasi bahwa pemerintah tidak memiliki instrumen kebijakan yang jelas ihwal
stabillisasi harga beras. Upaya yang dilakukan selama ini selalu terkesenad-hocdengan
tujuan utama hanya untuk pengendalian inflasi. Dalam soal ini, salah satu opsi
kebijakan yang bisa diambil adalah dengan menetapkan harga atap (ceiling price)
beras seperti di jaman Orde Baru. Hal tersebut terbukti efektif dalam meredam
gejolak harga beras yang tak terkendali. (*)
Komentar
Posting Komentar