Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) punya cara unik untuk
memastikan tingkat konsumsi beras masyarakat Indonesia: demo menanak nasi di
Kantor Wakil Presiden (Kompas, 22 Maret). Hari itu (20 Maret) ada empat takaran
beras yang dimasak untuk membuktikan angka konsumsi beras mana yang paling
menggambarkan tingkat konsumsi beras masyarakat Indonesia.
Hal ini sangat penting dilakukan karena angka kebutuhan
(konsumsi) beras nasional merupakan data yang sangat penting. Data tersebut
menyangkut kebijakan pemerintah terkait impor beras dan pencapaian swasembada
beras nasional. Jika tingkat konsumsi beras masyarakat Indonesia yang paling
akurat diketahui, kebutuhan beras nasional dapat dihitung dengan tepat.
Sekadar diketahui, saat ini ada empat angka konsumsi beras
per kapita yang menggambarkan tingkat konsumsi beras masyarakat Indonesia.
Angka pertama adalah data Badan Pusat Statistik (BPS) sebesar 87,63 kilogram
per tahun atau 240 gram per hari. Data tersebut merupakan hasil Survei Sosial
Ekonomi Nasional (Susenas) yang hanya memotret konsumsi beras di dalam rumah
tangga.
Angka kedua adalah data yang tercantum dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, yakni sebasar 124,89
kilogram per tahun atau 340 gram per hari. Ketiga adalah angka konsumsi sebesar
139,15 kilogram per tahun atau 381 gram per hari yang merupakan hasil kesepakatan
bersama BPS, Badan Ketahanan Pangan, dan praktisi serta ahli pertanian. Keempat
adalah data BPS sebesar 114,8 kilogram per tahun atau 315 gram per hari, yang
merupakan kombinasi antara konsumsi beras di rumah tangga hasil Susenas dan
konsumsi beras di luar rumah tangga hasil Survei Konsumsi Beras Nasional pada
tahun 2012.
Hasil demo menanak nasi hari itu menyimpulkan bahwa data
keempat merupakan angka konsumsi beras yang paling mendekati tigkat konsumsi
beras masyarakat Indonesia. Kesimpulan tersebut memperlihatkan bahwa tingkat
konsumsi beras masyarakat Indonesia ternyata tidak sebanyak seperti yang
dibayangkan selama ini. Selain itu, tingkat konsumsi tersebut ternyata
terus menurun secara konsisten dalam beberapa tahun terakhir.
Hasil Susenas menunjukkan bahwa sepanjang 2010-2014 tingkat
konsumsi beras rumah tangga Indonesia terus menurun secara konsisten dengan
rerata laju penurunan sebesar -0,2 persen per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa
secara perlahan-lahan tingkat ketergantungan masyarkat Indonesia terhadap beras
sebagai satu-satunya sumber asupan karbohidrat terus berkurang.
Tentu hal tersebut merupakan sebuah kecenderungan yang
menggembirakan. Itu artinya, diversifikasi atau penganekaragaman pangan terjadi
di masyarakat dan peningkatan kebutuhan beras nasional dapat ditekan. Dengan
demikian, swasembada beras bisa diwujudkan sehingga negeri ini tak perlu
mengimpor beras dari luar negeri karena kebutuhan beras nasional dapat dipenuhi
sepenuhnya oleh petani kita.
Namun demikian, ada fakta yang sedikit merisaukan di
balik penurunan tingkat konsumsi beras masyarakat Indonesia. Penurunan
tersebut ternyata tidak dibarengi peningkatan konsumsi komoditas pangan
lokal yang merupakan sumber karbohidrat selain beras. Tapi, yang meningkat
justru konsumsi produk olahan tepung terigu, terutama mie instan dan
roti.
Hasil Susenas memperlihatkan, selama periode 1996-2011, laju peningkatan pangsa pengeluaran rumah tangga Indonesia yang dialokasikan untuk membeli mie instan mencapai 5,95 persen per tahun. Hal ini memberi konfirmasi bahwa peran mie instan kian besar dalam pola konsumsi masyarakat Indonesia.
Hasil Susenas memperlihatkan, selama periode 1996-2011, laju peningkatan pangsa pengeluaran rumah tangga Indonesia yang dialokasikan untuk membeli mie instan mencapai 5,95 persen per tahun. Hal ini memberi konfirmasi bahwa peran mie instan kian besar dalam pola konsumsi masyarakat Indonesia.
Tidak membikin heran, bila belakangan ini mie instan
merupakan salah satu komoditas yang diikutkan dalam perhitungan garis
kemiskinan. Kontribusinya pun cukup besar. Pada September 2014, misalnya, mie
instan merupakan salah satu dari lima komoditas makanan yang memberi andil
paling besar terhadap garis kemiskinan. Kontribusi mie instan di
pedesaan mencapai 2,41 persen, sementara di perkotaan mencapai 2,62 persen
(BPS, 2015).
Data World Instant Noodles Association (WINA) juga
memberi konfirmasi bahwa konsumsi mie instan masyarakat Indonesia terus
meningkat dari tahun ke tahun. Bayangkan, pada tahun 2013, konsumsi mie instan
masyarakat Indonesia sudah mencapai 14,9 miliar bungkus, atau mengalami
peningkatan sebesar 1 miliar bungkus bila dibandingkan dengan konsumsi pada
tahun 2009. Itu artinya, secara rata-rata setiap orang Indonesia mengkonsumsi
sekitar 60-61 bungkus atau 1,5 dus mie instan pada tahun 2013. Tingginya angka
konsumsi mie instan ini menempatkan Indonesia di posisi kedua sebagai negara
pengkonsumsi mie instan terbesar di dunia setelah Cina, yang konsumsinya
mencapai 46,2 miliar bungkus.
Celakanya, bahan baku pembuatan mie instan adalah tepung
terigu yang merupakan produk olahan gandum. Karena gandumnya harus diimpor, tak
bisa dihindari, peningkatan konsumsi mie instan juga dibarengi lonjakan impor
gandum. Tidak membikin heran bila kini Indonesia merupakan negara importir
gandum terbesar ke-4 di dunia setelah Mesir, Cina, dan Brazil dengan volume
impor mencapai 7,4 ton atau senilai US$3 miliar pada kurun 2013-2014 (Koran
Jakarta, 12 April 2014). Itu artinya, volume impor dan banyaknya devisa yang
dihabiskan untuk impor gandum sebetulnya lebih besar dari impor beras.
Indonesia bahkan diramalkan bakal menjadi importir gandum terbesar di dunia
dalam lima tahun mendatang.
Karena itu, tren peningkatan impor gandum juga harus
disikapi secara serius oleh pemerintah. Sedikitnya ada dua hal yang dapat
dilakukan untuk mengerem laju peningkatan impor gandum. Pertama, pengembangan
komoditas pengganti gandum sebagai penghasil tepung terigu harus didorong oleh
pemerintah. Salah satu komoditas yang potensial untuk dikembangkan sebagai
pengganti gandum adalah sagu. Sayangnya, komoditas ini belum sepenuhnya dilirik
oleh industri, meski kandungan seratnya lebih kaya dibanding gandum.
Kedua, pemerintah juga harus mendorong budidaya tanaman
gandum di dalam negeri. Meskipun sejatinya merupakan tanaman sub-tropis, ada
beberapa varietas gandum yang cocok dibudidayakan di iklim tropis, sehingga
sangat potensial untuk dikembangkan di tanah air. Upaya membudidayakan gandum
di Indonesia sebetulnya sudah dirintis oleh sejumlah kalangan dan terbilang
sukses. Yang dibutuhkan adalah dukungan dan upaya afirmatif dari pemerintah
untuk mendorong budidaya gandum di dalam negeri dengan skala yang lebih luas.
(*)
Komentar
Posting Komentar