Langsung ke konten utama

Defisit BPJS dan Konsumsi Rokok


Tahun ini dana Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dilaporkan mengalami defisit. Nominalnya cukup besar, yakni mencapai Rp 9 triliuan. Menariknya, salah satu solusi yang diusulkan untuk menambal defisit tersebut adalah penggunaan dana bagi hasil cukai hasil tembakau yang diperkirakan bisa mencapai Rp 5 triliun (Tempo.co, 6 November 2017). Menteri Kesehatan juga menghimbau masyarakat untuk membiasakan pola hidup sehat (Tempo.co, 12 November 2017). Dengan demikian, ongkos pengobatan yang harus dikeluarkan BPJS dapat ditekan seiring berkurangnya jumlah keluhan kesehatan.
Penggunaan cukai rokok untuk menambal defisit BPJS sebetulnya sebuah ironi. Besarnya dana hasil cukai produk tembakau yang mencapai Rp 5 triliun tersebut menunjukkan tingginya tingkat konsumsi produk tembakau, khususnya rokok, di tanah air. Padahal kita tahu bahwa secara medis kebiasaan merokok merupakan salah satu penyebab utama sejumlah penyakit berat yang menyedot ongkos pengobatan yang tidak sedikit.
Menteri Kesehatan sendiri pernah menyampaikan bahwa 30 persen dana BPJS ternyata terserap untuk pengobatan penyakit-penyakit berat seperti stroke dan gagal ginjal, yang secara medis seringkali disebabkan oleh konsumsi rokok (Setkab, 27 Februari 2015).  
Seperti apa sebetulnya gambaran konsumsi rokok di tanah air sehingga bisa menghasilkan penerimaan negara berupa cukai yang cukup besar?
Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dilaksanakan secara rutin oleh Badan Pusat Statistik (BPS) untuk memotret kuantitas dan pola konsumsi masyarakat Indonesia mengungkap sejumlah fakta menarik terkait konsumsi rokok di Tanah Air.
Hasil SUSENAS yang dilaksanakan pada September 2016 menunjukkan bahwa konsumsi rokok masyarakat Indonesia relatif tinggi. Sebagai gambaran, rata-rata jumhlah rokok kretek yang dikonsumsi oleh perokok berumur lima tahun ke atas pada September 2016 mencapai 7,86 batang per hari. Sementara itu, konsumsi rokok putih rata-rata sebanyak 2,59 batang per hari.
Sebagian besar perokok di tanah air juga mulai merokok pada usia yang boleh dibilang sangat muda. Bayangkan, sekitar 62 persen perokok berusia lima tahun ke atas mulai merokok pada usia di bawah 20 tahun. Itu artinya, mayoritas perokok di tanah air mulai menghisap rokok saat duduk di bangku SMP dan SMA.
Hasil SUSENAS juga memperlihatkan bahwa sebagian besar perokok berumur lima tahun ke atas ternyata melakukan kebiasaan merokoknya di dalam rumah dengan persentase mencapai sekitar 75 persen.
Padahal dipahami bersama bahwa udara yang dicemari oleh asap rokok sangat berbahaya buat kesehatan. Asap rokok yang dihasilkan oleh perokok aktif justru mengandung racun hasil pembakaran tembakau lebih banyak dibandingkan dengan asap utama yang dihisap oleh perokok.
Konsekuensinya, para perokok pasif lebih berisiko terkena dampak buruk yang ditimbulkan dari kebiasan merokok di dalam rumah. Celakanya, para perokok pasif tersebut tidak jarang merupakan kelompok balita.  
Persoalan semakin pelik karena konsumsi rokok pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah juga sangat tinggi. Faktanya, sekitar 10 persen dari total pengeluaran rumah tangga pada kelompok pengeluaran 20 persen terendah dialokasikan untuk konsumsi rokok dan tembakau. Angka ini bahkan mengalahkan porsi pengeluaran yang dialokasikan untuk sumber protein, seperti daging, telur, ikan, dan susu.
Tidak mengherankan jika dalam beberapa tahun terakhir, rokok merupakan salah satu komoditas utama dalam perhitungan garis kemiskinan. Pada Maret 2017, misalnya, BPS mencatat bahwa kontribusi rokok dalam pembentukan garis kemiskinan di wilayah perkotaan dan pedesaan masing-masing sebesar 11,79 persen dan 11,53 persen. Kontribusi pengeluaran untuk rokok menempati posisi kedua setelah beras yang mencapai 20,11 persen di perkotaan dan 26,46 persen di pedesaan.
Padahal dampak kesehatan yang ditimbulkan oleh konsumsi rokok membutuhkan biaya yang tidak sedikit, yang hampir pasti tidak bisa tanggung oleh masyarakat miskin dan mau atau tidak pada akhirnya akan menjadi beban negara.
Karena itu, sejalan dengan anjuran Menteri Kesehatan ihwal pola hidup sehat, pemerintah diharapkan dapat bekerja lebih keras dalam menekan tingkat konsumsi rokok di tanah air. Kampanye dan kebijakan anti rokok yang lebih tegas dan serius adalah sebuah keniscayaan. Meski penerimaan negara dari cukai rokok berpotensi bakal berkurang akibat penurunan konsumsi rokok, ongkos kesehatan untuk pengobatan penyakit berat---sebagai dampak dari kebiasaan merokok---yang selama ini membebani dana BPJS dipastikan dapat ditekan. (*)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunak...

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi,...

Beda Perempuan Jepang dan Perempuan Indonesia

Sesuai judulnya, fokus dari tulisan ini adalah bahasan mengenai perbedaan antara perempuan Jepang dan perempuan Indonesia. Tentu ada banyak perbedaan di antara keduanya. Dari sekian banyak perbedaan itu, tulisan ini mencoba mengulas perbedaan antara perempuan Jepang dan Indonesia dalam hal menikah dan memiliki anak. Perbedaan antara perempuan Jepang dan Indonesia dalam hal menikah dan memiliki anak tentu tidak lepas dari pengaruh posisi kedua negara, yang satu sebagai negara maju (Jepang) dan satunya lagi sebagai negara berkembang atau dunia ketiga (Indonesia). Secara rata-rata, perempuan Jepang sudah pasti well educated jika dibandingkan dengan perempuan Indonesia. Kondisi ini tentu sangat memengaruhi perbedaan paradigma atau cara pandang perempuan kedua negara terhadap yang namanya menikah dan memiliki anak. Enggan buru-buru menikah Secara tradisional, umur menikah ( marriage age ) perempaun Jepang adalah antara 23 sampai dengan 25 tahun. Di Jepang, perempuan yang belum ...