Indonesia sedang mengalami apa yang
disebut dengan “bonus domografi” (demographic dividend). Suatu kondisi
kependudukan yang ditandai dengan meningkatnya proporsi penduduk usia produktif
(15-64 tahun) dan menurunnya proporsi penduduk usia tidak produktif (< 15
tahun dan 65+ tahun). Struktur penduduk yang menguntungkan ini berdampak pada
mengecilnya rasio ketergantungan atau angka beban tanggungan (dependency
ratio) penduduk usia produktif.
Hasil proyeksi penduduk tahun 2010-2035
yang diluncurkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2014 memperlihatkan bahwa
kondisi tersebut akan berlangsung hingga dua dekade mendatang. Pada tahun 2010,
angka beban tanggungan sebesar 50,5 dan akan terus menurun secara konsisten
hingga puncak bonus demografi terjadi pada 2028-2030. Saat itu, angka beban
tanggungan diperkirakan sebesar 46,9. Itu artinya, selama dua dekade
mendatang, setiap satu orang penduduk usia produktif akan menanggung dua orang
penduduk usia tidak produktif.
Bayangkan, betapa makmur dan
sejahteranya sebuah keluarga yang terdiri dari lima orang dan pada saat yang
sama hanya dua orang di antara mereka yang tidak bekerja, bila pada saat yang
sama pendapatan per kapita Indonesia—katakanlah—di atas USD7.000 per tahun.
Setelah tahun 2030, angka beban
tanggungan akan kembali naik, dan Indonesia akan memasuki periode “utang
demografi “ (demographic debt) akibat penuaan penduduk (ageing).
Periode tersebut ditandai dengan struktur penduduk yang didominasi
kelompok penduduk usia tua (65+ tahun).
Bonus demografi, yang dicirikan dengan
proporsi penduduk usai produktif yang besar, merupakan jendela peluang (opportunity
window) bagi Indonesia. Jika bisa dimanfaatkan dengan baik, hal ini dapat
mendorong pertumbuhan ekonomi, yang pada gilirannya dapat meningkatkan
pendapatan per kapita, sehingga kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan.
Namun demikian, rasio penduduk usia
produktif yang besar saja tidak menjamin Indonesia bakal menuai berkah dari
“bonus demografi”. Sedikitnya, ada dua hal yang mesti diupayakan
pemerintah untuk menuai manfaat bonus demografi. Pertama, penduduk usia
produktif harus berkualitas. Kedua, pertumbuhan ekonomi harus dipacu untuk
menggenjot pendapatan per kapita dan menciptakan sebanyak mungkin lapangan
pekerjaan baru. Bila kedua hal tersebut gagal diupayakan, tidak menutup
kemungkinan bonus demografi bakal berubah menjadi “bencana demografi”.
Alih-alih merengkuh kemakmuran dan kesejahteraan, negeri ini justru bakal
dipusingkan dengan tingginya angka kemiskinan dan pengangguran.
Secara faktual, kualitas manusia
Indonesia, boleh dibilang, rendah dan masih harus ditingkatkan. Laporan United
Nations Development Programme (UNDP) pada 2014 menyebutkan bahwa
kualitas pembangunan manusia Indonesia yang diukur berdasarkan Indeks
Pembangunan Manusia (IPM), pada tahun 2013 berada pada peringkat ke-108 dari
287 negara. Di kawasan ASEAN, capaian Indonesia bahkan berada di belakang
Singapura, Brunai Darussalam, Malaysia, dan Thailand.
Capaian Indonesia yang belum maksimal
dalam soal pembangunan manusia lebih disebabkan tingkat kapabilitas penduduk
yang rendah. Hal itu tercermin dari rendahnya capaian derajat kesehatan
penduduk Indonesia, yang tertinggal dari sejumlah negara ASEAN. Sebagai
gambaran, angka harapan hidup orang Indonesia yang hanya sebesar 70,8 tahun.
Bandingkan dengan Singapura 82,3 tahun, Brunai Darussalam 78,5 tahun, Vietnam
75,9 tahun, Malaysia 75 tahun, dan Thailand 74,4 tahun.
Tingkat kapabilitas penduduk yang rendah
juga tercermin dari tingkat pendidikan penduduk. Laporan UNDP pada 2014
memperlihatkan bahwa rata-rata lama sekolah penduduk Indonesia hanya
sebesar 7,5 tahun. Lagi-lagi capaian ini jauh di bawah sejumlah negara ASEAN.
Rata-rata lama sekolah di Singapura 10,2 tahun, Malaysia 9,5 tahun, Filipina
8,9 tahun, dan Brunai Darussalam 8,7 tahun. Jadi, tak usah heran bila
secara rata-rata tingkat pendikan tenaga kerja Indonesia sangat rendah.
Data statistik menunjukan, sekitar 64 persen angkatan kerja yang membanjiri
pasar tenaga kerja negeri ini hanya menamatkan pendidikan maksimal setingkat
sekolah menengah pertama (SMP).
Rendahnya tingkat pendidikan penduduk
Indonesia menunjukan bahwa masih banyak anak negeri ini yang memiliki
keterbatasan dalam mengakses pendidikan. Data statistik memperlihatkan, angka
partisipasi sekolah pada kelompok umur 13-15 tahun baru mencapai 89,66 persen,
sementara untuk kelompok umur 16-18 tahun baru sebesar 61,06 persen.
Fakta ini memberi konfirmasi bahwa masih banyak anak negeri ini yang tidak
mampu melanjutkan pendidikan ke tingkat sekolah menengah atas (SMA).
Patut dicatat, angka-angka tersebut baru
berbicara mengenai partisipasi anak-anak negeri ini dalam pendidikan, belum
berbicara soal kualitas pendidikan yang mereka dapatkan. Faktanya, meski
siswa-siswa Indonesia seringkali unggul dalam hal adu pintar di kancah
antarbangsa, bahkan acap kali menjadi jawara pada perhelatan olimpiade Fisika,
Kimia, dan Matematika internasional, dalam soal kualitas pendidikan, Indonesia
juga tertinggal jauh. Hal itu tercermin dari kemampuan matematika, sains, dan
membaca siswa Indonesia yang rendah. Hasil Programme for International
Assesment (PISA) 2012 memperlihatkan bahwa kemampuan siswa negeri ini
dalam soal matematika, sains, dan membaca berada pada peringkat ke-64 dari 65
negara yang disurvei.
Karena itu, investasi di bidang
pendidikan dan kesehatan harus menjadi fokus perhatian dan agenda utama
pembangunan dalam dua dasawarsa mendatang. Hal tersebut merupakan faktor kunci
dalam mengantarkan Indonesia untuk menuai manfaat ekonomi dari bonus demografi
yang sedang dialami.
Penuaan penduduk (ageing) juga
harus menjadi fokus perhatian. Indonesia harus mempersiapkan diri untuk
menyongsong periode utang demografi. Bila tidak dipersiapkan dengan baik, hal
ini bakal manjadi masalah di kemudian hari. Karena itu, pertumbuhan ekonomi
harus dipacu sehingga Indonesia bisa menjadi negara maju–dengan pendapatan per
kapita yang tinggi—sebelum memasuki periode utang demografi. Pendek kata, Indonesia
harus menjadi kaya sebelum menua. (*)
Penulis bekerja di Badan Pusat Statistik
(BPS)
Komentar
Posting Komentar