Langsung ke konten utama

Pola Konsumsi Orang Indonesia


Suatu ketika, seorang kawan yang bekerja di Kementerian Pertanian melontarkan pertanyaan mengenai harga kerupak kaleng dan sebiji telur ayam kepada saya. Dari pertanyaannya, saya baru sadar: harga dua bongkah kerupuk kelang ternyata lebih mahal dari sebiji telur ayam. Sekedar merinci buat Anda yang tak percaya, harga sebongkah kerupuk kaleng saat ini Rp1.000, sementara harga sebiji telur ayam sebesar Rp1.500. Jadi, harga dua bongkah kerupuk kaleng lebih mahal Rp500 dibanding harga sebiji telur ayam.

Padahal, dari segi kandungan gizi, jangankan dua bongkah, sekarung kerupuk pun kandungan gizinya jauh lebih rendah—bahkan, boleh dibilang nihil—bila dibandingkan dengan sebiji telur ayam. Begitulah faktanya, kerupuk mendapat tempat yang lebih istimewa dalam pola konsumsi orang Indonesia ketimbang telur ayam. Bagi banyak orang Indonesia, bukan makan namanya bila tanpa kerupuk.

Di lain waktu,  seorang kawan pernah bertutur, boss-nya yang baru pulang dari Singapura mengaku begitu kangen dengan kerupuk kaleng, bukan saja pada rasanya, tapi juga bunyi kriuk-kriuk-nya yang bisa membuat nafsu makan begitu menggelora. Ia bilang, selama beberapa hari di Singapura, boss-nya tak bisa menemukan kerupuk kaleng. Nampaknya, kerupuk kaleng—mungkin juga kerupuk secara umum—hanya ada di Indonesia. Negeri ini memang surganya kerupuk. Ada banyak varian kerupuk. Apapun bisa dijadikan kerupuk, mulai dari kulit binatang, ceker ayam, hingga daun bayam.

Selain surganya kerupuk, Indonesia juga merupakan surganya sambal. Di negeri ini juga ada begitu banyak varian sambal. Nyaris setiap daerah memiliki kekhasan jenis sambal dengan cita rasanya masing-masing. Seperti halnya kerupuk, bagi sebagian besar orang Indonesia, tak nikmat rasanya bila makan tanpa ditemani sambal atau tanpa  cita rasa pedas pada makanan.

Cabai dan inflasi
Hal ini mengakibatkan pergerakan angka inflasi—yakni variabel ekonomi makro yang sangat penting, yang menunjukkan perkembangan atau seberapa cepat harga-harga berubah dalam perekonomian—amat dipengaruhi oleh pergerakan harga cabai yang merupakan bahan baku utama sambal dan sumber cita rasa pedas pada masakan. Bila harga cabai “kian pedas” karena suplai cabai di pasar terganggu, dapat dipastikan inflasi bakal meningkat  yang ujung-ujungnya bakal memengaruhi perekonomian. Ini disebabkan besarnya bobot atau kontribusi cabai dalam perhitungan inflasi karena dikonsumsi secara masif dan dalam jumlah besar oleh seluruh penduduk Indonesia.

Saking signifikannya peran cabai dalam pergerakan angka inflasi, seorang pejabat Bank Indonesia, lembaga yang memiliki otoritas untuk mengendalikan inflasi, pernah meminta agar cabai dikeluarkan saja dari komoditas yang diikutkan dalam perhitungan inflasi. Tentu permintaan yang keliru. Seharusnya, bila hendak meredam pengaruh cabai terhadap pergerakan inflasi, yang mesti dilakukan adalah menjaga kestabilan harga cabai di pasar.

Suplai komoditas ini harus selalu mencukupi setiap saat. Karena  hampir semua orang Indonesia butuh cabai saat hendak makan. Tentu ini tak mudah. Karena, cabai adalah tanaman semusim yang tak bisa dibudidayakan secara maksimal sepanjang tahun. Mau tak mau, di tengah kebutuhan akan cabai yang terus meningkat, konsumsi cabai segar harus ditekan. Orang Indonesia harus terbiasa mengkonsumsi cabai olahan (bubuk atau yang telah dikeringkan). Ini juga sulit karena menyangkut selera  dan  cita rasa.

Nasi dan mie instan
Yang juga unik dari pola konsumsi kita, orang Indonesia, adalah peran beras/nasi sebagai sumber utama karbohidrat. Sekitar 80 persen pemenuhan karbohidrat orang Indonesia berasal dari nasi yang ditanak dari beras. Partisipasi orang Indonesia dalam mengkonsumsi beras juga nyaris seratus persen. Itu artinya, hampir semua orang Indonesia—dari Sabang sampai Merauke—menjadikan beras sebagai makanan pokok utama.

Fakta ini menjadikan konsumsi beras penduduk Indonesia sangat tinggi. Bayangkan, dalam setahun setiap orang Indonesia secara rata-rata mengkonsumsi sekitar 139 kilogram beras. Makanya, produksi  dan ketersediaan beras yang mencukupi menjadi isu penting di negeri ini, baik secara ekonomi maupun sosial-politik. Pasalnya, persoalan ini menyangkut urusan perut sekitar 250 juta penduduk.

Konsumsi beras yang tinggi juga merupakan penyebab utama tingginya prevelensi penyakit diabetes di Indonesia. Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, Indonesia menduduki peringkat ke-4 sebagai negara dengan prevelensi diabetes tertinggi di dunia.
Celakanya, di tengah pesatnya laju pertambahan penduduk, Indonesia dihadapkan pada kebutuhan beras yang terus meningkat, sementara pada saat yang sama kapasitas produksi padi/beras tumbuh lebih lambat. Dalam soal ini, yang juga mengkhawatirkan adalah kian maraknya konversi lahan sawah ke penggunaan  non-pertanian  yang otomatis bakal menggerus kapasitas produksi. Mau tak mau, bila produksi dalam negeri tak mencukupi, pilahannya harus mengimpor dari luar negeri.

Jalan keluarnya, konsumsi beras harus ditekan. Dan diversifikasi pangan (sumber karbohidrat) harus digalakkan. Ini tak mudah. Merubah pola konsumsi nasi orang Indonesia tak semudah membalikkan telapak tangan. Buktinya, kampanye agar mengurangi konsumsi beras dan beralih ke pangan lokal pengahasil kerbohidrat lainnya (misalnya, one day no rice) telah dilakukan sebegitu rupa, namun hasilnya belum maksimal. Bagi orang Indonesia, bukan makan namanya bila tanpa nasi. Selian soal selera, juga soal gengsi dan prestise: ada persepsi keliru bahwa mengkonsumsi jagung atau umbi-umbian—sebagai pengganti beras—identik dengan kemiskinan (tidak mampu membeli beras).

Celakanya, meski konsumsi beras cenderung menurun dalam beberapa tahun terakhir, penurunan ini justru dibarengi dengan meningkatnya konsumsi produk olahan gandum, bukan komoditas pangan lokal. Padahal gandumnya harus diimpor dari luar negeri. Salah satu produk olahan gandum yang kian penting peranannya dalam pola konsumsi orang Indonesia sebagai sumber karbohidrat (pengganti nasi) adalah mie instan.

Bayangkan, menurut data Bank Dunia, Indonesia merupakan negara pengkonsumsi mie instan terbesar kedua di dunia, dengan konsumsi mencapai 13,7 miliar bungkus pada tahun 2008. Konsekuensinya, konsumsi tepung terigu meningkat dan Indonesia menjadi satu dari lima negara pengimpor gandum terbesar di dunia pada tahun 2008. Pengaruh iklan mie instan yang ditayangkan saban hari di televise nampaknya sangat efektif dalam memengaruhi pola konsumsi sebagian besar orang Indonesia.

Itulah beberapa keunikan terkait pola konsumsi orang Indonesia yang terekam melalui data-data statistik. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga