Langsung ke konten utama

Perbedaan Jepang dengan Indonesia Soal Seks


Boleh dibilang, kini Jepang tengah mengalami krisis demografi (kependudukan). Hal ini tercermin dari sejumlah indikator kependudukan negara tersebut. Menurut data Biro Statistik Jepang, pada 2012, angka kelahiran kasar (CBR) di negeri Sakura hanya sebanyak 8,39 kelahiran per 1.000 penduduk. Sementara itu, angka kelahiran total (TFR) hanya 1,39  atau satu anak per wanita.

Karena itu, tidak mengherankan bila jumlah penduduk Jepang tumbuh negatif, yakni sebesar -0,077 persen per tahun. Itu artinya, jumlah penduduk Jepang terus berkurang dari tahun ke tahun sehingga memunculkan kekhawatiran—yang mungkin sedikit berlebihan—bahwa bangsa Jepang bakal punah di masa mendatang bila kondisi seperti ini terus berlanjut.

Nampaknya, penyebab sangat rendahnya angka kelahiran di Jepang—sehingga berakibat pada pertumbuhan penduduk yang negatif—adalah keengganan untuk memiliki anak pada sebagian besar wanita Jepang. Keengganan ini dipicu oleh mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan yang mesti dikeluarkan bila memiliki anak. Di Jepang, membesarkan anak adalah investasi yang tak murah. Itupun ada kecenderungan bahwa banyak anak yang telah sukses ketika dewasa di Jepang justru melupakan orang tuanya.

Selain keengganan untuk memiliki anak, persepsi orang Jepang dalam memandang seks nampaknya juga berpengaruh. Hasil survei yang dilakukan oleh Japan Family Planning Association (JFPA) baru-baru ini mengungkap fakta menarik: orang Jepang ternyata sudah mengalami kebosanan berhubungan seks. Kini, seks dianggap bukan hal yang bermanfaat—apalagi kebutuhan—bagi kebanyakan orang Jepang.

Hasil survei JFPA menunjukkan,  sekitar 45 persen wanita Jepang yang berumur 16 hingga 24 tahun mengaku tidak tertarik melakukan hubungan seks, sementara sekitar seperempat pria Jepang pada kelompok umur yang sama juga mengaku tidak tertarik melakukan hubungan seks.

Di Indonesia, yang terjadi adalah sebaliknya. Berhubungan seks masih dianggap sebagai sebuah kebutuhan. Meski belum ada hasil survei serupa yang dilakukan JFPA untuk menguatkan proposisi ini, masih tingginya kejadian kelahiran pada wanita usia produktif di negeri ini sudah cukup sebagai bukti.

Selain itu, persepsi orang Indonesia mengenai nilai anak juga berbeda dengan orang Jepang. Kehadiran anak justru amat diharapkan oleh seorang wanita—yang telah menikah tentunya. Bahkan dianggap sebagai tolak ukur keberhasilan dalam berkeluarga atau membina rumah tangga.

Hal ini tercermin dari hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2012 (SDKI 2012) yang dirilis pada September lalu. Menurut hasil SDKI 2012, angka kelahiran kasar di Indonesia pada 2012 mencapai 20,4 kelahiran per 1.000 penduduk. Sementara angka kelahiran total mencapai 2,6 atau sekitar tiga anak per wanita.

Hasil SDKI 2012 juga menunjukkan bahwa keinginan untuk memiliki anak pada wanita Indonesia masih sangat tinggi. Sekitar 84 persen wanita Indonesia berusia 15-49 tahun dengan status menikah mengaku ingin segera memiliki anak. Bahkan, sekitar 85 persen wanita berstatus kawin dan telah memiliki anak mengaku ingin memiliki anak lagi.

Sayangnya, tingginya angka kelahiran di Indonesia ternyata belum dibarengi dengan kualitas kesehatan ibu yang baik. Hal ini tercermin dari masih tingginya angka kematian ibu dan angka kematian bayi. Hasil SDKI 2012 menyebutkan, angka kematian ibu di tanah air mencapai 359 kematian per 100 ribu kelahiran hidup, sementara angka kematian bayi mencapai 40 kematian per 1.000 kelahiran hidup.

Indonesia seharusnya  bisa mencontoh Jepang dalam soal ini. Angka kematian ibu di Jepang pada 2012 hanya sebesar 5 kematian per 100 ribu kelahiran hidup, sementara angka kematian bayi hanya sebesar 2 kematian per 1.000 kelahiran hidup. Sangat jauh bila dibandingkan dengan Indonesia.

Butuh tambahan penduduk
Sebagai negara dengan perekonomian yang terus tumbuh dan berkembang (emerging markets), Indonesia membutuhkan lebih banyak lagi tenaga kerja produktif dan terlatih. Menururt  McKinsey Global Institute dalam laporannya yang berjudul The archipelago economy: Unleashing Indonesi’s Potential, Indonesia membutuhkan sekitar 130 juta tenaga kerja produktif lagi terlatif untuk  menjadi negara dengan perekonomian terbesar ke-7 di dunia pada tahun 2030. Dengan kata lain, saat ini Indonesia masih membutuhkan tambahan penduduk dalam jumlah besar.

Dalam soal ini, laju pertumbuhan penduduk tentu saja harus tetap dikendalikan. Karena ledakan jumlah penduduk yang tidak mampu diimbangi dengan kesiapan—terutama secara ekonomi—bakal berdampak buruk. Jika pemerintah tak mampu menyediakan akses terhadap fasilitas kesehatan dan pendidikan serta lapangan kerja, dapat dipastikan tingkat pengangguran dan kemiskinan bakal semakin meningkat. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga