Langsung ke konten utama

Keraguan Terhadap Statistik Resmi


Sejarah mencatat, riwayat kegiatan statistik resmi (official statistics) di negeri ini telah dimulai sejak jaman kolonial. Sensus penduduk pertama di Pulau Jawa dilakukan pada 1815 ketika Hindia-Belanda (baca: Indonesia) di bawah kendali Sir Thomas Stanford Rafless. Hasilnya, jumlah penduduk Pulau Jawa kala itu mencapai 4,6 juta jiwa.

Sensus penduduk dengan cakupan seluruh Hindia-Belanda baru dilaksanakan pada 1930. Kegiatan statistik berskala masif yang dipandang oleh dunia sebagai sensus penduduk terbaik di Asia, bahkan dunia, ini mencatat jumlah penduduk Hindia-Belanda saat itu mencapai 60,7 juta jiwa.

Selepas Indonesia merdeka, payung hukum ihwal penyelenggaraan statistik secara luas dan menyeluruh–tak hanya sensus–diundangkan pada 26 September 1960 dengan lahirnya Undang-undang (UU) Nomor 7 tahun 1960 tentang statistik. Boleh dibilang, peraturan perundangan ini merupakan tonggak awal dan pijakan hukum pertama bagi penyelenggaraan statistik resmi di Tanah Air.

UU Nomor 7 tahun 1960 kemudian disempurnakan lagi dengan UU Nomor 16 tahun 1997 tentang statistik. Bersamaan dengan itu pula, BPS yang semula Biro Pusat Statistik resmi menjadi Badan Pusat Statistik.

Karena itu, bagi mereka yang berkecimpung dalam dunia perstatistikan, utamanya statistik resmi, tanggal 26 September adalah hari yang istimewa karena dianggap paling signifikan dalam mewarnai sejarah panjang kegiatan statistik di Tanah Air. Sejak 1996, tanggal 26 September kemudian diperingati sebagai Hari Statistik Nasional (HSN).

Tantangan
HSN tahun ini mengusung tema: “Dengan Semangat Hari Statistik Nasional, Kita Wujudkan Data Statistik yang Akurat dan Terpercaya.” Tema ini menyiratkan tantangan utama penyelanggaraan statistik resmi dewasa ini, yakni tersedianya data statistik yang dapat menggambarkan realitas sesungguhnya (akurat) dan bisa dipercaya (trustworty).

Tak bisa ditampik, hingga kini keraguan publik (termasuk penyelenggara negara sendiri) terhadap sejumlah statistik resmi yang dihasilkan BPS—sebagai  satu-satunya lembaga statistik resmi di negeri ini—masih saja terjadi. Komentar “miring” terhadap data-data yang dihasilkan BPS pun kerap tersua di pelbagai media.

Beberapa waktu lalu, misalnya, Menteri Pertanian Suswono mengaku ragu terhadap akurasi data hasil Sensus Pertanian yang menyebutkan bahwa populasi sapi dan kerbau pada 1 Mei 2013 hanya 14,17 juta ekor atau mengalami penurunan tajam sebanyak 2,5 juta ekor bila dibandingkan dengan kondisi pada Juni 2011 (Bisnis.com, 14 September 2013).

Di lain kesempatan, seorang pengamat pertanian mengaku, telah mencium adanya inkonsistensi antara hasil Sensus Pertanian—yang meyebutkan bahwa telah terjadi penurunan jumlah rumah tangga usaha pertanian sebanyak 5 juta rumah tangga dalam sepuluh tahun terakhir—dengan statistik produksi padi dan jagung yang dilaporkan terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Padahal, di samping jumlah petani yang terus berkurang, kondisi di lapangan juga menunjukkan bahwa luas lahan pertanian terus menyusut karena beralih fungsi menjadi lahan non-pertanian (Neraca, 17 September 2013).

Keraguan publik terhadap statistik resmi sebetulnya bukan hanya terjadi di Indonesia. Di negera-negara maju, kesenjangan antara ukuran standar variabel-variabel penting sosial-ekonomi, seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan pengangguran dengan persepsi yang ada di masyarakat—yang didasarkan pada “fakta” keseharian dan persepsi individu—telah merusak kepercayaan publik terhadap statistik resmi. Di Inggris dan Perancis, misalnya, hanya sepertiga dari publik di kedua negara itu yang percaya terhadap statistik resmi yang dirilis pemerintah (Report by the Commission on the Measurement of Economic Performance and Social Progress, 2009).
Rusaknya kepercayaan publik terhadap statistik resmi tentu merupakan persoalan serius karena bakal berdampak pada cara berlangsungnya perdebatan publik tentang kondisi perekonomian dan kebijakan yang harus diambil.
Publik yang tak lagi percaya pada statistik resmi acapkali terjebak pada ungkapan-ungkapan verbal (kualitatif) dan opini yang menyesatkan dan mengaburkan realitas, atau lebih memilih menggunakan data-data statistik lain meski statistik tersebut didasarkan pada metodologi yang kurang bisa dipertanggungjawabkan (shaky methodology). Pada tingkat yang lebih berbahaya, ketakpercayaan ini dapat berujung pada pengingkaran terhadap kemajuan pembangunan. Alhasil, kemajuan ekonomi yang tergambar melalui data-data statistik resmi dianggap hanyalah hasil menipulasi statistik yang telah diramu sedemikian rupa untuk menyokong “pencitraan” pemerintah.
Tahun lalu, misalnya, publik dengan begitu mudahnya termakan opini bahwa negeri ini adalah negara gagal dengan merujuk pada hasil survei yang dirilis oleh organisasi internasional Fund and Peace dan majalah Foreign Policy, meski pada saat yang sama statistik resmi yang mengukur kemajuan pembangunan—seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, pengangguran, dan kemiskinan—justru mengekonfirmasikan bahwa negeri ini berada pada kondisi yang kian membaik.
Kenaikan peringkat Indonesia di Indeks Negara Gagal dari peringkat 64 ke 63 dari 178 negara yang disurvei pada 2012—yang kemudian diinterpretasi secara keliru oleh mereka yang suaranya mendominasi ruang publik—telah memunculkan pesimisme bahwa negeri ini tengah menuju ke tubir jurang kegagalan dan membunuh optimisme bahwa Indonesia sebetulnya sedang berada pada jalur (on the track) menuju kemajuan sebagaimana gambaran yang terpotret melalui statistik resmi.
Keraguan terhadap statistik resmi merupakan tantangan yang harus dijawab oleh BPS sebagai lembaga penghasil statistik resmi. Dalam persoalan ini, upaya untuk meningkatkan kualitas statistik resmi harus terus dilakukan. Pembenahan dalam rangkaian kegiatan statistik—baik sensus maupun survei—mulai dari perencanaan, pengumpulan dan pengolahan data, hingga diseminasi juga harus terus dilakukan.
Selain itu, penyampaian data dalam bahasa yang mudah dipahami publik merupakan sebuah keharusan di tengah era keterbukaan informasi dewasa ini. Hal ini penting untuk mewujudkan masyarakat yang semakin realistis, rasional, dan obyektif dalam memandang pelbagai persoalan bangsa karena telah tercerahkan oleh data-data statistik (knowledge society).
Karena itu, seperti yang dikatakan oleh Enrico Giovannini, Kepala Divisi Statistik Organisation for Economic Co-operation and Development, dalam makalahnya yang berjudul Statistics and Politics in a “Knowledge Society”, “Statisticians, especially those in charge of producing “official” figures, have a special role to play in bringing statistics closer to citizens...”
Tentu saja, ini tanpa mengabaikan aspek akuntabilitas dari statistik resmi. PBB dalam 10 fundamental principles of official statistics telah menegaskan: to facilitate a correct interpretation of the data, the statistical agencies are to present information according to scientific standards on the sources, methods and procedures of the statistics. Karena, interpretasi data yang keliru sama bahayanya dengan data yang tak akurat. (*)
Oleh Kadir:

Penulis adalah pegiat statistik resmi dan bekerja di Badan Pusat Statistik. Pengurus Himpunan Alumni Akademi Ilmu Statistik/Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (HAISSTIS)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga