Langsung ke konten utama

Presiden Non-Jawa

Budayawan Radhar Pancadahana menulis sebuah artikel menarik berjudul “Saatnya Orang Non-Jawa” yang dimuat di Harian Kompas pada 3 September 2013. Artikel itu memberi penekanan ihwal pentingnya memberi kesempatan kepada insan-insan unggul dari luar Jawa (non-Jawa) untuk memimpin negeri ini pada 2014. Tentu sebagai presiden, bukan hanya wakil presiden.

Tak bisa ditampik, berbagai pertimbangan irasional, primordial, supranatural bahkan mistis, serta acuan-acuan lain yang sama sekali tak berelasi dengan kualitas dan kepabilitas seseorang dalam memimpin masih menjadi acuan ketika memilih pemimpin di negeri ini. Alhasil, demokrasi yang kerap kita banggakan hampir selalu gagal dalam melahirkan pemimpin yang mampu membawa perbaikan, perubahan, dan kemajuan.

Selama ini, pra-anggapan bahwa presiden harus orang Jawa dengan segala bumbu mistisnya, misalnya, adalah batu sandungan bagi para tokoh potensial dari luar Jawa untuk menjadi presiden. Di negeri ini seolah sudah ada aturan tak tertulis: Anda boleh saja punya kapabilitas dan kemampuan dalam memimpin, tapi selama Anda bukan orang Jawa, jangan pernah bermimpi untuk menjadi presiden. Tak heran kalau dalam berbagai analisis dan hitung-hitungan politik terkait suksesi kepemimpinan di negeri ini, faktor Jawa non Jawa masih menjadi variabel utama lagi penentu.

Hal ini merupakan realitas dari demokrasi yang tidak dibarengi dengan kesetaraan (kualitas pemilih yang mumpuni). Sulit rasanya mengharapkan kehadiran seorang satria piningit (pemimpin yang berkualitas) bila seorang presiden dipilih secara—demokrasi—langsung, sementara sebagian besar pemilih bukanlah “pemilih cerdas”, tapi pemilih yang terpenjara dalam kungkungan semangat primordialisme kesukuan,  yang lebih mementingkan kulit ketimbang isi,  dan popularitas ketimbang kapasitas.

Itulah sebabnya, seorang Jusuf Kalla (JK) yang tak diragukan lagi kapasitas dan rekam jejaknya untuk memimpin negeri ini harus puas di posisi puncak sebagai wakil presiden. Karena satu hal—selain kurang tinggi barangkali: bukan orang Jawa. Dalam berbagai hasil survei dan analisis politik, ketika disandingkan dengan Jokowi atau Megawati (tokoh Jawa), JK hanya layak jual jika diplot sebagai wakil presiden. Padahal kita tahu, seperti apa kualitas JK bila dibandingkan dengan kedua tokoh ini.

Pertanyaannya, sampai kapan bangsa ini terus seperti ini? Sampai kapan kondisi yang—meminjam istilah Bung Radhar dalam tulisannya—memustahilkan kesempatan dan peluang  tokoh-tokoh potensial non-Jawa untuk memimpin negeri ini terus berlangsung?

Pemilihan presiden pada 2014 nanti adalah momentumnya. Karena itu, dalam soal pra-anggapan bahwa presiden negeri ini harus dari etnis tertentu, orang Jawa sebagai fraksi terbesar dari penduduk negeri ini (40 persen lebih penduduk Indonesia adalah etnis Jawa) sudah saatnya berbesar hati dan bersedia memberi “kesempatan” untuk dipimpin oleh seorang presiden non-Jawa. Bukankah sejarah bangsa ini telah membuktikan kebesaran hati para tokoh Jawa ketika menerima bahasa Melayu sebagai bahasa nasional, bukan bahasa Jawa yang lebih banyak penuturnya. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunak...

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi,...

Beda Perempuan Jepang dan Perempuan Indonesia

Sesuai judulnya, fokus dari tulisan ini adalah bahasan mengenai perbedaan antara perempuan Jepang dan perempuan Indonesia. Tentu ada banyak perbedaan di antara keduanya. Dari sekian banyak perbedaan itu, tulisan ini mencoba mengulas perbedaan antara perempuan Jepang dan Indonesia dalam hal menikah dan memiliki anak. Perbedaan antara perempuan Jepang dan Indonesia dalam hal menikah dan memiliki anak tentu tidak lepas dari pengaruh posisi kedua negara, yang satu sebagai negara maju (Jepang) dan satunya lagi sebagai negara berkembang atau dunia ketiga (Indonesia). Secara rata-rata, perempuan Jepang sudah pasti well educated jika dibandingkan dengan perempuan Indonesia. Kondisi ini tentu sangat memengaruhi perbedaan paradigma atau cara pandang perempuan kedua negara terhadap yang namanya menikah dan memiliki anak. Enggan buru-buru menikah Secara tradisional, umur menikah ( marriage age ) perempaun Jepang adalah antara 23 sampai dengan 25 tahun. Di Jepang, perempuan yang belum ...