Langsung ke konten utama

"Kengototan" Orang Madura

Kemarin (11 September), penulis berkunjung ke Pulau Madura, persisnya Kabupaten Sampang, tempat yang banyak melahirkan tokoh nasional.

Ketika mobil yang ditumpangi melewati Jembatan Suramadu, penulis terlibat percakapan ringan mengenai dampak ekonomi dari pembangunan jembatan itu terhadap perekonomian—lebih tepatnya perbaikan kesejahteraan—penduduk Madura dengan seorang kawan dari Surabaya.

Diskusi kami sama sekali tak menggunakan data-data kuantitaf—namanya juga diskusi ringan, hanya sebatas pemandangan yang kami jumpai di sepanjang jalan di Kabupaten Bangkalan, kabupaten yang terhubung langsung dengan Surabaya oleh Jembatan Suramadu. Karena sebatas pengamatan kasat mata, kesimpulan dan arguman kami bisa saja tak valid dan subyektif.

Pemandangan yang tersaji dari balik kaca mobil menunjukkan bahwa pembangunan Jembatan Suramadu nampaknya tak memberikan dampak berarti terhadap geliat perekonomian penduduk, khususnya bagi mereka yang tinggal pada kawasan di sekitar jembatan atau sepanjang jalan raya menuju jembatan di Kabupaten Bangkalan.

Saat kendaraan yang ditumpangi menyentuh ujung jembatan dan sampai di Bangkalan, misalnya, deretan outlet (baca: warung) semi permanen yang menjajakan cendera mata khas Madura tampak sepi dari pembeli. Beberapa di antaranya bahkan sudah tutup. Konon, saat pertama kali Jembatan Suramadu difungsikan untuk penyebrangan, jumlah outlet lebih banyak dari sekarang. Namun seiiring waktu, jumlahnya terus menyusut karena sepi dari pembeli.

Begitupula dengan kondisi kiri-kanan jalan yang tak jauh dari jembatan, masih sepi, masih seperti dulu. Hanya hamparan lahan kering yang luas. Gelombang investasi dari Surabaya tak seperti yang diharapkan, nyaris tak ada pembangunan yang berarti.

Pusat-pusat pertumbuhan baru (aglomerasi) tak tercipta. Pengaruh Surabaya yang metropolis seolah tak nampak. Tak seperti kota-kota satelit di sekitar Jakarta atau Sidoarjo, ekspansi gelombang urban dari Kota Pahlawan nyaris tak terasa.

Ngotot
Ada pra-anggapan kalau orang Madura terkenal ngotot dan tak mau kalah. Dalam soal ini, misalnya, ada guyonan yang menyebutkan: bagi orang Madura, nama yang tepat untuk Jembatan Suramadu (Surabaya-Madura) adalah Madusura (Madura-Surabaya). Nama Suramadu hanya tepat digunakan saat hendak menyebrang dari Surabaya. Setelah sampai di Bangkalan, nama jembatan harus diganti dengan Madusura.

Begitupula ketika Anda bertanya perihal siapa Gubernur Jawa Timur saat ini, sebagian orang Madura dengan bangga dan lantang selalu akan menjawab, “Muhammad Noer”. Padahal itu kondisi 40 tahun yang silam.
Muhammad Noer adalah orang Madura pertama asal Sampang yang menjadi Gubernur Jatim pada tahun 1967-1976. Hingga kini, bagi sebagian orang Madura, Gubernur Jatim adalah beliau, yang lain hanya penggantinya!

Saking ngototnya. Konon, jangan coba-coba berdebat dengan orang Madura soal siapa Gubernur Jatim dan nama jembatan yang menghubungkan Surabaya dengan Madura, kalau Anda tak mau mendengar kata-kata “tak clurit, sampean” meluncur dengan enteng dari lisan mereka yang kelewat bangga dengan identitasnya sebagai orang Madura.

Begitu pula dengan guyonan perihal membeli buah salak yang dijual oleh orang Madura. Ketika sang pembeli komplain karena sekilo buah salak yang dibelinya kecut atau sepat semua. Sang penjual yang orang Madura dengan spontan akan menjawab, “Sampean masih beruntung sekilo salak yang dibeli kecut semua, daripada saya, beli satu truk kecut semua”.

Menurut kawan dari Surabaya, sifat ngotot inilah yang menjadi sebab “orang luar” enggan berinvestasi di Madura. Karenanya, seolah tak ada dampak signifikan secara ekonomi dari pembangunan Jembatan Suramadu bagi masyarakat Madura, khususnya bagi mereka yang tinggal di sekitar jembatan.

Sifat ngotot inilah yang menyebabkan outlet-outlet cendera mata di kiri-kanan jalan itu satu per satu tutup karena sepi pembeli. Menurutnya, seperti kasus penjual buah salak itu, orang Madura tak punya sense of empaty dalam memperlakukan konsumen kala berbisnis. Bahwa pembeli adalah raja yang harus dimanjakan. Akibatnya, pembeli hanya datang sekali dan setelah itu kapok untuk datang lagi.

Mungkin, anggapan kawan dari Surabaya ini tak sepenuhnya benar. Buktinya, tak sedikit orang Madura yang sukses dalam berbisnis dan berdagang. Reputasi gemilang orang Madura dalam perdagangan besi tua dan barang-barang lowak (bekas), misalnya, adalah fakta yang tak terbantahkan. Terkait hal ini ada guyonan: saat lebaran jangan pernah menjamu orang Madura dengan biskuit Khong Guan, karena ia akan berucap, “Biskuit saya ndak suka, kalau dikasih kalengnya saya mau”.

Nampaknya, orang Madura teramat bangga dengan identitasnya. Sesuatu yang wajar—sepanjang tak mengarah pada egoism suku—untuk salah satu etnis besar yang secara statistik jumlahnya di atas sepuluh juta jiwa. Sebuah etnik yang telah melahirkan banyak tokoh nasional, seperti—sekedar menyebut beberapa—Halim Perdanakusuma, Nurcholis Madjid, Mahfud MD, dan pelawak kawakan: kadir. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga