Langsung ke konten utama

Sulitnya Menghitung Jumlah Si Miskin

Statistik kemiskinan merupakan salah satu data strategis yang secara rutin dihitung oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Berhubung kemiskinan telah menjadi agenda pembangunan sekaligus agenda politik pemerintah, selama ini data kemiskinan hasil perhitungan BPS selalu mendapat perhatian yang luas dari publik.

Sayangnya, ketika data kemiskinan dirilis oleh BPS ke khalayak, tidak sedikit orang yang justru meragukan bahkan tidak percaya dengan data tersebut. Independensi BPS selalu dipersoalkan kala melaporkan bahwa kemiskinan mengalami penurunan.

Ada anggapan bahwa data kemiskinan yang diwartakan BPS telah dimanipulasi dan diramu sedemikian rupa untuk menyenang-nyenangkan pihak yang berkuasa. Atau lebih parah lagi, BPS dituduh telah berbohong atas data kemiskinan yang dilaporkannya. Tuduhan yang tentu saja membuat mereka yang telah bekerja keras untuk menghasilkan data tersebut terluka.

Ruang untuk mempersoalkan akurasi data kemiskinan BPS memang terbuka. Bahwa dalam kegiatan pengumpulan data masih dijumpai sejumlah kelemahan dan kekurangan adalah hal yang tak bisa ditampik. Tapi tuduhan memanipulasi dan meramu angka, apalagi berbohong, sungguh tak bisa diterima.

Sedikit yang tahu bahwa pekerjaan menghitung jumlah si miskin sejatinya bukanlah pekerjaan yang mudah. Betul-betul melelahkan, menguras tenaga dan pikiran, bahkan terkadang menguras harga diri. Dalam publikasinya yang bertajuk, Handbook on Poverty + Inequality, Bank Dunia menyebutkan, “It takes time, energy, and money to measure poverty…”.

Sebetulnya, kesulitan dalam perhitungan jumlah si miskin bukanlah pada kerumitan formula yang digunakan. Tetapi, bahan baku (data) yang harus disiapkan untuk melakukan perhitungan.

Dalam prakteknya, bahan baku untuk perhitungan jumlah si miskin diperoleh dari sebuah survei yang memotret langsung pengeluaran konsumsi rumah tangga (household surey). Di Indonesia, survei seperti ini dikenal dengan nama Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang telah diselenggarakan BPS secara konsisten sejak tahun 1984.

Data pengeluaran konsumsi rumah tangga hasil SUSENAS merupakan satu-satunya bahan baku perhitungan jumlah si miskin di Indonesia. Karenanya, untuk keperluan menghitung jumlah si miskin di Indonesia, data hasil SUSENAS tidak hanya digunakan oleh BPS, tetapi juga oleh Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB)—dengan standar kemiskinan yang berbeda.

Saat ini, SUSENAS diselenggarakan empat kali dalam setahun dengan responden mencapai 68.000 rumah tangga yang menyebar di seluruh Indonesia, dari Aceh hingga Papua. Dalam prakteknya, mencacah 68.000 sampel rumah tangga bukanlah hal yang mudah. Bayangkan, kegiatan mencacah sampel sebanyak itu hanya dilakukan oleh sekitar 6.000 petugas.

Kalau kuesioner yang digunakan sederhana , mungkin tak menjadi soal. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Kuesioner SUSENAS yang dirancang untuk memotret pengeluaran rumah tangga secara rinci itu bukan main tebalnya. Ada sekitar 300 item pertanyaan yang harus dituntaskan oleh petugas untuk sekali wawancara dengan satu kuesioner SUSENAS. Semua item pengeluaran harus ditanyakan, tak boleh ada yang terlewat, mulai dari pengeluaran untuk beras, garam,  hingga (mohon maaf) pembalut wanita. Karenanya, waktu wawancara efektif untuk satu responden minimal 2,5 setengah jam.

Tidak jarang, kesulitan di lapangan kian bertambah dengan beratnya medan tugas. Tenaga terkuras bukanhanya untuk wawancara, tetapi juga untuk menjangkau responden. Asal Anda tahu saja bahwa negeri ini sangat luas, mencapai 1,9 juta km2. Dan, masih banyak tempat di negeri ini yang infrastrukturnya buruk minta ampun.

Anda mungkin tak percaya kalau ada petugas yang nyaris tewas, karam dilamun ombak di Kepulauan Aru, Maluku, atau nyaris terjungkal ke dalam jurang di pedalaman Mamuju (maju mundur jurang), Sulawesi Barat, saat berusaha menyambangi responden untuk diwawancarai dalam pelaksanaan SUSENAS.

Data kemiskinan yang tersaji di ruang publik memang layak disoal akurasinya. Tapi ketahuilah, data tersebut dihasilkan dari proses yang tidak mudah. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga