Langsung ke konten utama

Momentum Kejayaan Indonesia

Kejayaan Nusantara (Indonesia) di masa lampau adalah fakta sejarah yang tak bisa ditampik. Dalam buku bertajuk Traded and The Problems of Royal Power in Acehyang ditulis sejarawan terkenal Australia, Anthony Reid, misalnya, digambarkan betapa makmurnya Aceh pada abad 16. Agustin de Beaulieu menggambarkan, kemakmuran orang-orang kaya Aceh pada masa itu begitu tinggi, sampai-sampai rumah mereka dihiasi meriam di depan pintunya.

Di bawah pemerintahan Al Kahar, Aceh memiliki pelubahan-pelabuhan besar, menguasai Selat Malaka dan jalur perdagangan hingga ke Luat Merah. Kemakmuran para saudagar Aceh kala itu tidak kalah dengan suadagar-saudagar Eropa.

Pada masa itu, kemakmuran yang tinggi tidak hanya terjadi di Aceh. Kemakmuran serupa juga dapat dijumpai di pusat-pusat perdagangan Nusantara lainnya, seperti Kawasan Indonesia Timur, pesisir timur Sumatera, dan pantai utara Jawa.

Jejak kejayaan itu terus berlanjut hingga abad 18. Hasil kajian yang dilakukan Paul Bairoch, misalnya, menunjukkan bahwa sekitar 200 tahun yang lalu, ternyata tingkat kesejahteraan penduduk Nusantara tidak jauh berbeda dengan penduduk negara-negara Eropa Barat. Dengan menggunakan standar dolar AS dan basis harga-harga tahun 1960, Bairoch menemukan bahwa pada tahun 1800 pendapatan per kapita negara-negara Eropa Barat sebesar USD213, berselisih tipis dengan pendapatan per kapita Nusantara yang—meskipun sedikit lebih rendah—juga berada pada kisaran USD200.

Sejak keberhasilan Revolusi Industri, negara-negara Eropa Barat jauh melesat. Pembaruan, inovasi teknologi, dan pegembangan ilmu pengetahun menjadikan mereka maju dengan begitu cepat. Perdagangan dan industrialisasi berkembang pesat.

Sayangnya, ketika masayarat di negara-negara Eropa Barat mengalami urbanisasi—pertambahan proporsi penduduk perkotaan (urban)—sebagai respon terhadap perdagangan dan industrialisasi yang tumbuh pesat, di Nusantara yang terjadi justru sebaliknya: ruralisasi masyarakat perkotaan ke perdesaan yang cenderung tertutup (isolative) dan mengandalkan sektor pertanian tradisional sebagai tumpuan hidup.

Di sinilah awal kemunduraan Nusantara dan penyebab utama kenapa dewasa ini kita jauh tertinggal dengan negara-negara Eropa Barat. Padahal jika dilihat dari sisi kesejahteraan dan kemakmuran, sekitar 200 hingga 400 tahun yang lalu, kita boleh dibilang tidak jauh berbeda, bahkan setara dengan mereka.

Momentum kebangkitan
Saat ini, Indonesia tengah menikmati apa yang disebut sebagai bonus demografi (demographic devidend). Tingkat kelahiran menurun sehingga mengurangi proporsi penduduk usia 0-4 tahun, dan pada saat yang sama pertambahan proporsi penduduk usia di atas 64 tahun cenderung lambat. Kondisi ini menjadikan rasio ketergantungan (dependency ratio), yakni rasio penduduk usia tidak produktif atau penduduk bukan usia kerja (0-4 dan di atas 64 tahun) terhadap penduduk usia produktif/usia kerja (15-64 tahun), menurun. Situasi kependudukan yang sangat menguntungkan ini bakal terus berlanjut hingga dua puluh tahun ke depan dan mencapai puncaknya pada tahun 2020 (lihat peraga).

1361594935459174754
Bonus demografi memang berlangsung singkat. Pada tahun 2020, rasio ketergantungan mencapai 45 persen. Artinya, setiap 45 orang penduduk usia tidak produktif menjadi tanggungan 100 penduduk usia produktif. Pada tahun 2030, rasio ketergantungan akan kembali bergerak naik sebagai akibat bertambahnya penduduk usia tidak produktif dan pada saat yang bersamaan proporsi penduduk produktif mulai menurun.

Karena itu, mulai saat ini hingga dua puluh tahun ke depan merupakan saat-saat kritis untuk Indonesia. Setiap detik yang kita lalui begitu berharga. Bonus demografi yang tengah dinikmati merupakan momentum dan kesempatan emas bagi Indonesia untuk mengulang jejak kejayaan masa lalu, mengejar ketertinggalan dan mensejajarkan diri dengan negara-negara maju. Jika momentum dan kesempatan emas ini gagal dimanfaatkan, habislah kita.

Bayangkan, betapa makmur dan sejahteranya sebuah keluarga yang terdiri dari lima orang di mana hanya dua orang di antara mereka yang tidak bekerja. Dan, pada saat yang sama pendapatan per kapita Indonesia—katakanlah—di atas USD7.000 per tahun.

Namun demikian, mimpi ini hanya bisa tercapai jika sejumlah prasyarat terpenuhi: linieritas pertumbuhan ekonomi harus terus dijaga dan dipacu, lapangan pekerjaan yang berkualitas untuk penduduk usia produktif harus disiapkan , serta kapabilitas (tingkat pendidikan dan kesehatan) mereka juga berkualitas.

Tanpa itu semua, bonus demografi hanya akan mendatangkan bencana. Jika pertumbuhan ekonomi gagal dipacu; lapangan pekerjaan yang berkualitas tidak disiapkan; penduduk usia produktif berpendidikan rendah, minim keahlian , dan sakit-sakitan; bencana kemiskinan dan pengangguran akan segera menghadang di saat-saat yang justru seharusnya kita tengah menapaki kembali jejak kejayaan masa lalu serta sejajar dengan negara-negara maju: makmur dan sejahtera.

Tahun 2014 nanti, pemilihan presiden akan kembali berlangsung. Masa depan Indonesia lima tahun ke depan bakal kembali ditentutukan. Terkait hal ini, ada baiknya kita renungkan perkataan mantan Wakil Presiden Republik Indonesia, Jusuf Kalla. Jangan salah pilih presiden. Karena jika salah, kesalahan itu akan ditanggung selama lima tahun berikutnya. Dan sungguh sayang, jika waktu lima tahun itu gagal kita manfaatkan untuk memaksimalkan bonus demografi yang tengah kita nikmati. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga