Langsung ke konten utama

Kenaikan Harga BBM: "Mengendalikan" Jumlah Si Miskin

Pengalaman tahun 2005 lalu menunjukkan, keputusan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) akan berujung pada lonjakan jumlah penduduk miskin.

Di tahun 2005, sebagai respon terhadap kenaikan harga minyak dunia, pemerintah memutuskan untuk menaikkan harga BBM yang dilakukan sebanyak dua kali, yakni pada 1 Maret dan 1 Oktober. Keputusan ini memacu inflasi hingga menembus angka 17,11 persen di tahun 2005. Harga barang-barang kebutuhan pokok, terutama beras, melambung sehingga menyebabkan daya beli masyarakat—yang menghabiskan sebagian besar pendapatannya untuk kebutuhan makanan—jatuh. Tingkat kesejahteraan mereka pun terkoreksi cukup dalam.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, keputusan menaikkan harga BBM pada tahun 2005 telah menyebabkan 4,2 juta orang terjerembab ke dalam jurang kemiskinan. Mereka yang jatuh miskin adalah penduduk hampir miskin (near poor) dengan tingkat kesejahteraan yang tidak jauh berbeda dengan penduduk miskin. Lonjakan penduduk miskin ini merupakan konsekwensi dari karakteristik kemiskinan di Indonesia, yakni tingginya proporsi penduduk yang rentan untuk jatuh miskin jika terjadi guncangan dalam perekonomian.

Keputusan menaikkan harga BBM di tahun 2005 juga menyebabkan si miskin kian terpuruk. Kondisi kemiskinan mereka semakin parah dan kian dalam. Ini terkonfirmasi oleh kenaikan indeks kedalamam kemiskinan (poverty gap index) dan indeks keparahan kemiskinan (poverty sevarity index) pada Maret 2006 dibanding kondisi Maret 2005.

Jika tidak ada aral yang menghalang, pada 1 Mei besok pemerintah bakal kembali menaikkan harga BBM. Seperti yang terjadi di tahun 2005, keputusan ini diperkirakan juga bakal memberikan pukulan telak terhadap kehidupan ekonomi masyarakat dengan kesejahteraan pas-pasan (menengah ke bawah). Pendek kata, jumlah penduduk miskin diperkirakan bakal bertambah.

Kalaupun jumlah penduduk miskin bertambah, tentu kita berharap kondisinya tidak separah tahun 2005. Dan, belajar pada pengalamaan saat itu, sedikitnya ada dua hal yang harus dilakukan pemerintah untuk “mengendalikan” kenaikan jumlah si miskin akibat keputusan menaikkan harga BBM, yakni mengelola inflasi dan menjaga daya beli penduduk hampir miskin.

Mengelola inflasi
Pemerintah harus menjamin bahwa dampak inflasi yang terjadi akibat kenaikan harga BBM dapat dikelola dengan baik (manageable). Seperti yang dinyatkan banyak pengamat, kenaikan harga BBM jangan sampai menggerek inflasi hingga melampaui ekspektasi inflasi pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2013, yakni sebesar 5 persen.

Pemerintah harus mewaspadai inflasi yang digerakkan oleh kenaikkan harga-harga bahan makanan, terutama beras (inflasi bahan makanan). Diketahui, sebagian besar pengeluaran penduduk miskin dan hampir miskin dihabiskan untuk membeli makanan—terutama beras, proporsinya mencapai 60-75 persen terhadap total pengeluaran.

Kenaikkan harga-harga bahan makanan juga bakal mendorong naiknya garis atau batas kemiskinan, yang menunjukkan nilai rupiah minimum yang dibutuhkan oleh seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya (basic needs), baik makanan maupun non-makanan, agar tidak terkategori miskin.

Selama ini, donasi bahan makanan dalam perhitungan garis kemiskinan mencapai 70 persen. Pengalaman tahun 2005 lalu menunjukkan bahwa kombinasi antara jatuhnya daya beli dan kenaikan garis kemiskinan akibat inflasi—bahan makanan—menyebabkan lonjakan jumlah penduduk miskin serta kian parah dan dalamnya kondisi kemiskinan.

Bantuan langsung tunai
Ini pilihan tidak populer, yang mau tidak mau, harus diambil oleh pemerintah. Terlepas dari berbagai pro dan kontra terkait pemberian bantuan langsung tunia (BLT)—apapun namanya, pengalaman tahun 2005 lalu menunjukkan bahwa pemberian BLT cukup efektif untuk meredam kian memburuknya kondisi kemiskinan akibat kenaikan harga BBM. Seandainya tidak ada BLT, dapat dipastikan kondisi kemiskinan di tahun 2005 lalu bakal lebih buruk dari yang dilaporkan BPS.

Program-program unconditional cash transfer (UCT) seperti BLT konteksnya adalah darurat, memang tidak dirancang untuk jangka panjang. Program-program seperti ini hanya ditujukan untuk menjaga daya beli penduduk miskin dan hampir miskin dari gempuran inflasi akibat shock dalam perekonomian seperti kenaikan harga BBM.

Tentunya, belajar dari pengalaman sebelum-sebelumnya, penyaluran BLT diupayakan harus tepat sasaran. Terkait hal ini, akurasi data objek (rumah tangga) sasaran penerima program bantuan harus diperbaiki.

Akhirnya, terlepas dari berbagai alasan yang dikemukakan pemerintah sehingga harus menaikkan harga BBM, dalam jangka panjang harus diupayakan agar kondisi seperti ini tidak terus berulang. Negeri ini harus lepas dari ketergantungan terhadap BBM bersubsidi. Disadari atau tidak, selalu ada ongkos politik dan ekonomi dari tarik ulur keputusan menaikkan harga BBM. Dan, situasi seperti ini harus segera diakhiri.

Seperti yang telah banyak dikemukakan oleh sejumlah kalangan, ada banyak langkah yang bisa ditempuh pemerintah untuk keluar dari ketergantungan terhadap BBM bersubsidi, seperti pengembangan sumber anergi alternatif, konversi BBM ke gas, dan pegembangan transportasi masal. Memang tidak mudah, keseriusan pemerintah dibutuhkan dalam hal ini. (*)

Referensi: data-data dari BPS

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga