Langsung ke konten utama

Statistik Getir di Hari Ibu

Di tengah sejumlah kemajuan pembangunan ekonomi yang telah kita rengkuh, ternyata masih banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan. Salah satunya adalah masih tingginya angka kematian ibu (AKI). Setiap tahun, diperkirakan nyaris 10.000 ibu meninggal saat melahirkan di negeri ini.

Saat ini, angka kematian ibu di Indonesia mencapai 220 kasus dari setiap 100.000 peristiwa kelahiran. Angka ini masih sangat tinggi bila dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara. Malaysia, misalnya, AKI negara serumpun ini hanya sebesar 29. Lagi-lagi, kita kalah dari Malaysia selain dalam sepakbola. Sejumlah provinsi di Indonesia bahkan memiliki AKI jauh di atas angka nasional, misalnya, Provinsi Papua dan Nusa Tenggara Timur. AKI di kedua provinsi tersebut masing-masing sebesar 362 dan 306.

Kilasan angka-angka statistik di atas setidaknya mewartakan dua hal. Pertama, jasa seorang ibu sangatlah besar. Perjuangannya saat melakoni proses persalinan adalah perjuangan bertaruh nyawa: hidup atau mati. Pantaslah kalau ada ungkapan—yang sudah jamak kita dengar: surga itu di telapak kaki ibu. Kedua, peluang seorang ibu untuk menjemput ajal saat melahirkan ternyata masih sangat tinggi di negeri ini. 


Karena itu, para ibu di negeri ini sejatinya adalah petarung tangguh dan survival sejati. Bayangkan, mereka dapat selamat menjalani proses persalinan di tengah miniminya infrastruktur kesehatan. Mereka melakoninya tanpa didampingi seorang dokter kandungan dan bidan, hanya dukun kampung dengan kemampuan dan peralatan seadanya. Jangan bayangkan mereka sedang mengejan di ruangan rumah sakit atau puskesmas yang steril lagi ber-AC. Tidak. Di berbagai pelosok negeri ini, di pedalaman Papua dan NTT yang AKI-nya paling tinggi itu, tidak sedikit di antara mereka yang menghadapi momen genting itu di ruangan yang sangat sederhana: berdinding papan atau bambu dan beratapkan rumbia. Tapi ajaib, sebagian besar mereka ternyata bisa selamat. Meskipun, sekitar 9.500 orang dia antaranya harus meregang nyawa.

Sumbunya kemiskinan
Jika diperas, kemiskinanlah sejatinya penyebab tingginya angka kematian ibu di negeri ini. Kondisi serba kekuranganlah yang menjadikan banyak ibu di negeri ini harus meregang nyawa saat melahirkan karena tidak didampingi oleh doketer/bidan, serta mengalami pendarahan hebat, infeksi, atau pneumonia karena penanganan medis ala kadarnya.

Kemiskinanlah yang menjadikan mereka hidup dalam ketakberdayaan dan tak punya ekses terhadap fasilitas kesehatan serta berbagai informasi penting untuk menunjung persalinan. Seandainya bukan karena miskin, mereka tentu dapat membaca dan mengaplikasikan 9 kiat sukses mengejan yang tayang di Kompas.com pagi ini. Tapi, boro-boro mengakses informasi bermanfaat tersebut, akses listrik pun mereka tak punya.

Karena miskin, banyak ibu di negeri ini kurang gizi sehingga meskipun mereka berhasil menjalani proses persalinan dengan selamat, bayi yang mereka lahirkan terpaksa meninggal. Sekedar mengabarkan, angka kematian bayi di negeri ini mencapai 25 kasus dari setiap 1.000 kelahiran hidup. Setiap tahun, ada sekitar 157.000 bayi yang meninggal saat dilahirkan. Beberapa di antaranya cukup beruntung sempat menimang bayi yang mereka lahirkan. Meskipun, umur bayi tersebut tak sampai menginjak lima tahun karena gizi yang buruk (busung lapar). Juga sekedar mengabarkan, setiap tahun ada sekitar 200.000 ribu balita meninggal di negeri ini.

Mirisnya, di tengah masih tingginya angka kemiskinan di negeri ini yang mencapai 29,13 juta orang (11, 96 persen), jika ditelisik menurut jender ternyata incidence of poverty untuk kaum perempuan/ibu di negeri ini jauh lebih tinggi di banding kaum lelaki. Tidak mengherankan kalau Indek Pembangunan Gender (GDI) Indonesia sebesar 66,38 dengan terang mengkonfirmasi bahwa kualitas hidup perempuan/ibu di negeri ini jauh di bawah kaum lelaki.

Kualitas hidup kaum perempuan/ibu yang rendah tentu merupakan masalah serius bagi masa depan generasi penerus negeri ini. Anak yang lahir dari ibu yang miskin tentu sangat rentan terhadap kematian dan berbagai persoalan kesehatan lainnya.
Karena itu, semoga momentum hari ibu yang diperingati hari ini kian mengobarkan elan pemerintah dan kita semua untuk terus meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan para ibu. Semoga berbagai statistik getir di atas segera sirna, karena dari rahim merekalah generasi penerus bangsa ini lahir. Selamat hari ibu. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga