Langsung ke konten utama

Di Balik Pertumbuhan Kelas Menengah

Penurunan jumlah penduduk miskin kembali seret. Data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal bulan ini (2/1) menyebutkan, sepanjang periode Maret hingga September 2012, jumlah penduduk miskin Indonesia hanya berkurang sebesar 0,54 juta orang atau sekitar 0,30 persen. Penurunan tipis ini hanya menggeser tingkat kemiskinan ke posisi 11,66 persen pada September 2012. Artinya, target pemerintah untuk menurunkan tingkat kemiskinan hingga mencapai kisaran angka 9,5-10,5 persen di tahun ini bakal sulit tercapai. Pasalnya, tren penurunan jumlah penduduk miskin dalam 4 tahun terakhir, yakni sepanjang 2009-2012, tak pernah mencapai satu persen dalam setahun, apalagi dalam waktu hanya enam bulan.

Terlepas dari laju penurunan jumlah penduduk miskin yang terus melambat, ada satu hal yang sering luput dari perhatian kita selama ini, yakni pertambahan proporsi penduduk kaya Indonesia yang sangat cepat. Konon, laju pertambahan orang kaya baru (OKB) Indonesia adalah yang tercepat di Asia Tenggara. Data Bank Dunia menyebutkan, jumlah penduduk kelas menenengah, yakni mereka yang memiliki pengeluaran 2-20 dollar PPP per hari, mencapai 134 juta orang atau 56,6 persen dari total  penduduk pada tahun 2012. Padahal sembilan tahun sebelumnya, yakni di tahun 2003, jumlah penduduk kelas menengah hanya mencapai 81 juta orang. Artinya, dalam sembilan tahun terakhir, jumlah penduduk kelas menengah Indonesia telah bertumbuh sebesar 65 persen atau secara rata-rata sekitar 7 persen per tahun. Tentu sebuah pertumbuhan yang fantastis.

Sayangnya, proporsi kelas menengah yang tumbuh luar biasa itu cenderung rapuh. Sebagian besar mereka terlalu konsumtif dengan hasrat berbelanja yang luar biasa. Uang untuk benda, barangkali adalah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan betapi dahsyatnya mereka dalam menghambur-hamburkan uang. Pemandangan yang tersaji saat hari libur di berbagai pusat perbelanjaan di sejumlah kota besar di tanah air merupakan gambaran betapa bergeloranya elan mereka ketika berbelanja. Tak puas di dalam negeri, mereka akan meluapkan hasratnya hingga ke luar negeri. Kawasan elite Orchad Road di Singapura, misalnya, telah menjadi saksi betapa dahsyatnya hasrat mereka dalam berbelanja. Padahal tidak jarang, barang yang mereka beli sejatinya juga tersedia di mal-mal besar di tanah air.

Ledakan proporsi penduduk kelas menengah merupakan buah dari pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sangat mengesankan dalam beberapa tahun terakhir. Diketahui, sejak tahun 2006, pertumbuhan ekonomi nasional secara rata-rata di atas 6 persen per tahun. Dengan melihat struktur pertumbuhan ekonomi selama ini yang lebih dihela oleh pertumbuhan di sektor nontradable (jasa), mudah diduga bahwa sebagain besar OKB atau penduduk kelas menengah yang ada saat ini adalah kaum urban. Dengan lain perkataan, geliat pertumbuhan penduduk kelas menengah sejatinya hanya terjadi di daerah perkotaan yang langgam perekonomiannya lebih dimotori oleh sektor jasa, bukan di daerah perdesaan yang perekonomiannya lebih didominasi oleh sektor riil (tradable).

Karena itu, tidak mengherankan kalau pertumbuhan penduduk kelas menengah yang begitu mengesankan ternyata juga dibarengi dengan kenyataan lain yang tak mengenakkan, yakni jurang ketimpangan pendapatan antara si kaya dan si miskin yang terus melebar. Pertumbuhan ekonomi yang lebih didorong oleh sektor jasa, menjadikan laju pertambahan pendapatan kelompok kaya jauh lebih cepat ketimbang laju pertambahan pendapatan kelompok miskin yang sebagian besar menggantungkan hidupnya di sektor riil. Data BPS menunjukkan, di 2011, indek gini yang merupakan indikator ketimpangan distribusi pendapatan telah menembus rekor tertinggi, yakni mencapai 0,41 poin. Artinya, ketimpangan pendapatan telah memasuki skala medium. Angka sebesar 0,41 juga dapat dimaknai bahwa 40 persen penduduk dengan pendapatan terendah hanya menikmati sekitar 16,85 persen dari total pendapatan yang tercipta dalam perekonomian, sementara pada saat yang sama 20 persen penduduk dengan pendapatan tertinggi justru menikmati sekitar 48,42 persen total pendapatan yang tercipta dalam perekonomian. Itupan dengan catatan, penghitungan indek gini yang dilakukan BPS selama ini didasarkan pada data hasil survei pengeluaran konsumsi rumah tangga, bukan pendapatan. Seandainya penghitungan indek gini didasarkan pada data pendapatan, sudah barang tentu gambaran ketimpangan pendapatan yang dihasilkan lebih tak mengenakkan lagi.

Hingga saat ini, BPS belum merilis angka indek gini untuk tahun 2012. Namun ditengari, indek gini di tahun 2012 bakal meningkat dibanding tahun 2011. Indikasinya adalah indek kedalaman dan keparahan kemiskinan pada September 2012 yang mengalami kenaikan dibanding kondisi Maret 2012. Kenaikan kedua indek ini menunjukkan, pengeluaran penduduk miskin semakin jauh dari garis kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran di antara mereka kian memburuk.

Berkaca pada kondisi di atas, jangan terkesiap kalau segelintir orang kaya di Indonesia ternyata memiliki kekayaan yang luar biasa banyaknya meskipun pada saat yang sama jumlah penduduk miskin nyaris menembus 30 juta jiwa. Data yang dirilis Majalah Forbes beberapa waktu lalu menyebutkan, total kekayaan 40 orang di negeri ini mencapai US$88,6 miliar atau sekitar Rp841,7 triliun jika menggunakan kurs sebesar Rp9.500. Tentu jumlah yang sangat fantastis. Bayangkan, kekayaan sebanyak itu adalah 11,3 persen dari Produk Domestik Bruto Indonesia di 2011. Sayangnya, kenyataannya sebagian mereka menjadi kaya dengan menguras sumber daya alam negeri ini. Sebagiannya lagi menjadi kaya karena industri rokok padahal pada saat yang sama penduduk miskin negeri ini justru menghabiskan sebagian besar pendapatannya–setelah beras–untuk rokok.

Menjadi kaya adalah hak setiap warga negera. Tapi pada saat yang sama konstitusi telah menggariskan bahwa ekonomi haruslah berkeadilan. Karena tujuan pembangunan nasional hanya mengenal kesejahteraan umum–untuk semua–bukan kesejahteraan untuk segelintir orang. Sebuah tantangan berat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dewasa ini. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga