Langsung ke konten utama

Obama dan Pendidikan Indonesia


Suatu tempo, dalam sebuah pertemuan kala melawat ke Amerika Serikat (AS), Jusuf Kalla (JK) pernah ditanya tentang gambaran kondisi pendidikan di Indonesia. Dengan percaya diri JK menjawab, "Very good. Bayangkan, seorang lulusan sekolah dasar dari negara kami bisa menjadi presiden (Barack Obama) di negara Anda." Para audiens pun tersenyum kecut mendengar jawaban JK.

Beberapa waktu lalu, Barack Obama yang sempat mengenyam pendidikan SD di Indonesia itu kembali dipercaya oleh rakyat Amerika sebagai presiden. Harapan untuk mengembalikan kejayaan AS yang tercabik-cabik oleh hantaman badai krisis ekonomi kembali disandarkan padanya.

Sebagai orang Indonesia, kita tentu bangga dengan capaian Barry (demikian Obama kecil disapa) yang sempat menghabiskan masa kecilnya di Jakarta. Kemenangannya telah mencatatkan sejarah manis: bahwa bekas murid sebuah SD kecil di daerah Menteng pun bisa menjadi  presiden, bukan sembarang presiden, tapi presiden sebuah negara besar nan hebat seperti AS. Lebih hebatnya lagi, dua periode pula.

Konon katanya, dari sekian banyak presiden yang telah silih berganti memimpin AS, capaian Obama ini hanya mampu disamai oleh Presiden Roosevelt. Pasalnya, keduanya berhasil terpilih untuk kali kedua saat kinerja ekonomi AS jauh dari memuaskan. Padahal menurut sejumlah kalangan, gambaran tentang kondisi ekonomi adalah faktor yang sangat menentukan pilihan rakyat Amerika saat pemilihan presiden. Namun hebatnya, Obama berhasil menghempaskan kandidat dari Partai Republik, Mitt Romney, di tengah melesatnya angka pengangguran dan jurang fiskal (utang luar negeri) AS yang kian menganga.

Pendidikan kita
Berbicara tentang kondisi pendidikan di Indonesia tentu tak seperti yang disampaikan JK. Saya kira, JK hanya berguyon dengan jawabannya sembari menjaga muka Indonesia di depan orang AS. Harus diakui, soal pendidikan, Indonesia belum very good.

Tak usah dulu bicara soal kualitas penyelanggaraan pendidikan, mutu guru, ketersedian buku-buku pelajaran yang bermutu, atau infrastruktur pendidikan (bangunan sekolah) yang serba luks. Soal akses atau kesempatan mengenyam pendidikan saja Indonesia masih payah. Seandainya very good, tak mungkin terjadi 2,3 juta anak negeri ini terpaksa menjalani profesi sebagai pekerja anak karena ketiadaan akses pendidikan.

Tengoklah hasil Sensus Penduduk yang dilaksanakan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010 lalu. Angka partisipasi sekolah (APS) pada kelompok penduduk usia 16-18 tahun hanya sebesar 52,78 persen, sangat jauh bila dibandingkan dengan APS kelompok penduduk usia 13-15 tahun yang sebesar 84,24 persen. Artinya, ada begitu banyak anak tamatan SMP di negeri ini yang tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA.

Jika menengok APS kelompok penduduk usia 19-24 tahun, lebih miris lagi. Betapa tidak, hanya 15,09 persen. Artinya, ada lebih banyak lagi anak negeri ini yang tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Jika ditelisik, penyebabnya tidak lain adalah mahalnya akses terhadap pendidikan (di luar pendidikan dasar). Statistik yang tersaji tentu tak bakal seperti ini jika kapitalisasi dunia pendidikan yang begitu masif menjangkiti hampir seluruh institusi pendidikan di negeri ini tidak terjadi.

Padahal konon katanya, tak kurang 15-20 tahun lagi bangsa ini akan merengkuh yang namanya bonus demografi, mewujudkan asa sebagai negara maju lagi sejahtera. Gambaran sederhananya seperti ini: ketika saat itu datang, struktur penduduk kita didominasi oleh kelompok usai produktif dan pada saat yang sama pendapatan per kapita mencapai 7.000 dolar AS per tahun. Bisa dibayangkan betapa sejahtreranya kita saat masa itu tiba.

Tapi patut dicamkan, kondisi di atas hanya bisa terwujud jika semua penduduk usia sekolah yang ada saat ini memperoleh akses pendidikan yang berkualitas (tidak cukup hanya pendidikan dasar). Coba bayangkan, apa jadinya jika pasar tenaga kerja kita setelah 15-20 tahun ke depan ternyata sebagian besar diisi dan diramaikan oleh mereka yang memiliki kapabilitas (skill dan pendidikan) yang rendah. Jika ini yang terjadi, jangan bermimpi skenario indah di atas bakal terwujud. Yang terjadi malah sebaliknya, negeri ini bakal dipusingkan oleh tingginya angka pengangguran dan kemiskinan.

Kuncinya cuma satu, investasi di bidang pendidikan sebesar-besarnya. Pendidikan harus menjadi fokus perhatian pemerintah, dari pusat hingga daerah. Bukankah semua negara maju di dunia ini menjadi maju karena pendidikannya. Kenapa kita tidak belajar dari mereka? (*)
Data-data dari BPS.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga