Langsung ke konten utama

Sulitnya Mengumpulkan Data


Dalam briefing Asosiasi Perusahaan Pertanian dalam rangka pemutakhiran direktori perusahaan pertanian oleh BPS di Jakarta, April lalu (11/4), seorang profesor yang juga pakar ekonomi pertanian kondang mengisahkan sepotong cerita tentang peliknya kegiatan pengumpulan data di lapangan dalam presentasinya.

Syahdan, suatu ketika sang profesor menugasi mahasiswanya mengumpulkan data tentang harga beras di sebuah pasar di Pontianak, Kalimantan Barat. Maka, bergerilyalah para mahasiswa yang selama ini terbiasa duduk manis di ruang perkuliahan yang nyaman nan sejuk menyusuri lorong-lorong pasar, mencari pedagang beras yang hendak dijadikan responden.

Dalam pada itu, sampailah seorang mahasiswa di sebuah kios yang dipenuhi karung-karung beras berbagai merek. Hatinya yang girang bukan kepalang karena berhasil menemukan responden tergambar jelas dari wajahnya yang berseri-seri. Tugas tak lama lagi bakal tuntas, begitu pikirnya.

Tanpa berpanjang kata sang mahasiswa segera mengutarakan maksudnya kepada sang pemilik kios: bahwa ia ingin tahu harga-harga beras yang dijual di kiosnya. Pemilik kios pun nampak gembira karena lazimnya orang bertanya tentang harga berarti ada maksud untuk membeli. Berasnya bakal laku terjual, begitu barangkali yang terlintas di benaknya.

Maka, wawancara pun dimulai. Semua harga beras yang dijual oleh pemilik kios ditanyakan satu per satu oleh sang mahasiswa, tak ada yang terlewat. Karena dari tadi hanya menanyakan harga tanpa menunjukkan gelagat hendak membeli, sang pemilik kios yang orang Madura itu pun mulai kesal.

Dengan nada sedikit marah, namun nampak tenang, dia berkata kepada sang mahasiswa, "Sampean tahu tidak, kenapa saya jauh-jauh merantau dari Surabaya ke sini?" Sambil menggelengkan kepala, sang mahasiswa balik bertanya, "Memangnya karena apa, pak?" Sang pemilik kios kemudian menjawab singkat, "Karena telah membunuh orang yang terlalu banyak bertanya seperti Sampean!"

Mendapat jawaban seperti itu, wajah sang mahasiswa yang semula berseri-seri seketika pucat. Tanpa berpanjang kata dia segera mengakhiri wawancara dan meminta maaf karena telah menggangu pemilik kios. Dia kemudian mohon diri, elannya (semangatnya) untuk mengumpulkan data pun lenyap.

Potongan cerita di atas hanyalah sepenggal contoh tentang sulitnya mengumpulkan data di lapangan. Sepintas, kegiatan ini adalah pekerjaan entang. Padahal terkadang bukan main sulitnya: sampai mengancam keselamatan jiwa.

Bayangkan, bagaimana jadinya jika kegiatan mengumpulkan data di lapangan laksana contoh di atas menjadi keseharian Anda, menjadi pekerjaan yang harus Anda lakoni sehari-hari. Tentu sebuah tantangan yang tidak mudah.

Dan dalam menyajikan data-data statistik bagi negeri ini, tantangan berat seperti itu telah menjadi keseharian para petugas pengumpul data BPS. Ada seribu satu kisah pengalaman dalam mengumpulkan data yang serupa, bahkan lebih menakutkan dari kisah di atas. Semuanya terangkum di balik deretan digit-digit angka yang tersaji di ruang publik yang luput dari pengetahuan para pengguna dan kritikus data.

Begitulah. Orang terkadang hanya bisa menggunakan data, bahkan terkadang sembari menyoal akurasinya, tanpa tahu atau mungkin tak mau tahu betapa peliknya kerja yang harus dilakoni untuk mengumpulkan data-data tersebut.

Jika diperas, tantangan berat kegiatan pengumpualan data (statistik) di negeri ini ada dua hal. Pertama, medan yang sulit karena infrastruktur yang belum merata. Kedua, kesadaran masyarakat sebagai responden (sumber data) tentang pentingnya statistik yang masih rendah.

Terkait medan yang berat, Anda mungkin tak percaya kalau petugas BPS harus menempuh perjalanan selama12 jam melalui jalur darat sepanjang 500 km dengan sepeda motor hanya untuk mengantar beberapa lembar dokumen survei dari Merauke ke Boven Digoel.

Jangan bayangkan bahwa sepeda motor yang ditunggangi melaju di atas jalan mulus beraspal hotmix. Karena dalam kondisi cuacu buruk (hujan deras), sepeda motor bisa karam ditelan lumpur. Situasi pun berbalik: kita malah ditunggangi sepeda motor. Ini hanya salah satu contoh. Hal yang serupa, bahkan lebih parah, juga bisa kita jumpai di tempat-tempat lain di negeri ini.

Penolakan (rejection) dari responden untuk didata adalah tantangan yang tidak kalah berat. Kalau sekedar penolakan mungkin tak menjadi soal. Tapi perihnya, penolakan tersebut seringkali dibarengi dengan perlakuan tak pantas yang betul-betul menggerus harga diri.

Pada pelaksanaan Sensus Penduduk 2010 lalu, misalnya, petugas BPS betul-betul merasakan betapa sulitnya mengunjungi rumah tangga-rumah tangga di kawasan elit di Jakarta. Elan untuk mengumpulkan data seringkali harus padam kala dikejar anjing atau terhenti di pos satpam. Mereka seolah terlalu sombong untuk diwawancarai.

Begitupula dengan mereka yang menghuni apartemen-apartemen yang tinggi menjulang itu. Sombongnya bukan main. Mereka seolah enggan untuk dikunjungi, bahkan tega-teganya melempar kuesioner yang telah diisi dari jendela kamarnya. Padahal, data yang hendak dikumpulkan untuk pembangunan bangsa dan negaranya.

Sekedar membandingkan, di Jepang, sensus penduduk dilakukan secara self enumeration. Rumah tangga hanya dikirimi kuesioner oleh pemerintah lewat pos. Mereka kemudian mengisi sendiri kuesioner tersebut dan mengirimkannya kembali (umumnya) juga lewat pos. Jika cara seperti ini diterapkan di Indonesia, bisa bahaya. Pasalnya, kesadaran penduduk negeri ini tentang data (statistik) masih sangat rendah. Di Indonesia, penolakan untuk didata kenyataannya masih terjadi kendati sensus dilakukan secara door to door dengan melibatkan sekitar 700 ribu orang petugas.

Sekedar gambaran, Survei Industri Besar Sedang, yang dilakukan BPS secara self enumeration, responrate-nya hanya 30 persen. Artinya, dari 100 perusahaan industri besar-sedang yang dikirimi kuesioner, hanya 30 perusahaan yang mengembalikan kuesioner tersebut. Jika seperti ini kondisinya, bagaimana kita bisa menghasilkan data statistik yang akurat?

Tersajinya data statistik yang akurat di ruang publik bukan melalu menjadi tanggung jawab pengumpul data. Anda sebagai responden alias sumber data juga memiliki andil yang besar dalam hal ini. Mari menjadi responden yang baik dan kooperatif. (*)

Salam Statistik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga