Langsung ke konten utama

Novel “Ibuk” yang Menginspirasi



Kisah-kisah luar biasa dan menginspirasi dalam melakoni peliknya perjuangan hidup selalu kita dapati pada orang-orang biasa lagi sederhana. Mereka mungkin bapak dan ibu kita, saudara-saudara kita, atau mungkin juga diri kita sendiri.

Coba bayangkan apa jadinya jika seorang gadis muda berumur 17 tahun, tak tamat SD pula, memutuskan menikah dengan seorang supir angkot berumur 23 tahun, yang riwayat pendidikannya kandas di bangku SMP. Ditambah lagi keduanya berasal dari keluarga pas-pasan, keduanya bahkan yatim-piatu.

Tentu hanya ada satu kalimat yang bakal terlintas dalam benak kita tentang kehidupan dua sejoli ini kelak: hidup mereka bakal sulit. Dan memang seperti itulah apa yang terjadi kemudian.

Kesulitan hidup kian menjadi kala dari pernikahan yang dilandasi cinta yang tulus nan suci itu lahir lima orang anak. Hari demi hari, beban keluarga muda itu kian berat. Anak-anak terus tumbuh, kebutuhan hidup pun terus meningkat.

Tapi apakah di tengah himpitan beban kebutuhan hidup itu, Ngatinah dan Hasyim menyesali keputusan mereka membina mahligai rumah tangga? Sama sekali tidak. Kondisi serba kekurangan kenyataannya tidak membuat mereka kalah dalam melakoni tantangan hidup. Di tengah kemiskinan yang membelit, keluarga mereka justru mampu menikmati manisnya hidup, dan merayakan kemeriahannya dalam kebersahajaan.

Ngatinah sebagai “ibuk” adalah pelita dalam keluarga susah itu. Dia memang tak tamat SD, tapi dengan gilang-gemilang berhasil menjalankan tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Dia berhasil menjadi pelengkap Hasyim sebagai tulang punggung keluarga.

Sebagai supir angkot, Hasyim lebih banyak menghabiskan waktunya di jalan raya. Dia berangkat kerja di pagi buta dan pulang di malam hari. Begitulah yang dilakoninya nyaris saban hari hingga 40 tahun lamanya.

Hasyim beruntung memiliki Ngatinah. Dengan ketulusan dan cintanya, gadis yang pertama kali di jumpai Hasyim di Pasar Batu itu berhasil mengusuh dan mendidik kelima anaknya. Kelimanya betul-betul merasakan limpahan cinta dan kasih sayang dari seorang ibu. Cinta dan kasih sayang yang mampu menguatkan mereka di tengah hidup yang serba kekurangan.

Cobalah simak apa yang dikatakan Ngatinah pada anak sulungnya kala mengeluhkan soal sepatu bututnya yang sudah tak layak pakai: “Seperti sepatumu ini, Nduk. Kadang kita mesti berpijak dengan sesuatu yang tak sempurna. Tapi kamu mesti kuat. Buatlah pijakanmu kuat.”

Ngatinah memang seorang “ibuk” yang luar biasa. Dalam membesarkan kelima anaknya, dia hanya punya satu harapan, yakni melihat anak-anaknya tumbuh dan meraih masa depan yang lebih baik ketimbang dirinya.

Melihat anak-anaknya bisa sekolah hingga ke perguruan tinggi adalah obsesi terbesar Ngatinah. Dia tidak ingin riwayat pendidikan anak-anaknya setragis dirinya yang tidak tamat SD, atau seperti bapak mereka yang kandas di bangku SMP. Bagi dia, pendidikan adalah modal berharga bagi anak-anaknya untuk merengkuh kehidupan yang lebih baik, kehidupan yang lebih mapan dan sejahtera.

Untuk mewujudkan harapan dan obsesi mulia itu, Hasyim dan Ngatinah berjuang mati-matian. Keduanya rela hidup lebih susuh demi pendidikan kelima anak mereka. Berhutang di sana-sini adalah hal biasa. Begitupula dengan menggadaikan barang-barang berharga yang dimiliki, entah seberapa sering hal itu dilakukan. Semuanya dilakoni untuk satu tujuan: melihat anak-anak mereka mengenyam pendidikan terbaik.

Perjuangan dan pengorbanan tersebut pun menuai hasil. Kelima anak mereka berhasil sekolah hingga perguruan tinggi. Anak ketiga Ngatinah, Bayek, bahkan berhasil menamatkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor (IPB). Bayek bahkan lulus dengan predikat terbaik di jurusannya, Statistika.

Tidak hanya itu, selepas kuliah, Bayek berhasil menggapai karier yang cemerlang kala menapaki dunia kerja sebagai seorang data analyst. Perjalanannya dalam meniti karier bahkan mengantarkannya ke New York City, Amerika Serikat. Di negeri uda sam itu, Bayek bekerja sebagai Director Internal Client Management di Nielsen Consumer Research. Posisi yang sudah barang tentu amat bergengsi.

Berkat Bayek dan keempat anaknya yang lain, hidup Ngatinah dan Hasyim akhirnya berubah. Kini Keduanya tak sesusah dulu lagi. Perjuangan dan pengorbanan puluhan tahun akhirnya terbayar sudah. Kebahagian keduanya kian lengkap dengan hadirnya beberapa orang cucu.(*)

Kisah menginspirasi di atas bisa Anda baca dalam novel karya Iwan Setyawan yang baru, berjudul “Ibuk”. Kala membaca halaman demi halaman novel tersebut, saya jadi rindu pada ibu saya di kampung halaman. Sosok yang luar biasa, yang telah memberikan pengorbanan, cinta, dan kasih sayangnya dengan tulus kepada anak-anaknya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga