Langsung ke konten utama

Bukan Surveyor Kedai Kopi


Sebelum memulai tulisan ini, saya ingin mengucapkan selamat hari Statistik Dunia.

Suatu tempo, seorang blogger pernah menuliskan komenter pedasnya di sebuah situs pewarta warga (Kompasiana) tentang petugas pengumpul data BPS yang dianggapnya sebagai “surveyor kedai kopi”.Emosi saya tersulut dan hati saya terluka bak tertusuk sembilu kala membaca komentar pedas tersebut.

Apa sebabnya? Bahwa ada sebagian petugas BPS yang mengarang data di atas meja memang adalah fakta yang tak bisa ditampik. Tapi, mereka ibarat setetes air di tengah luasnya samudera pengabdian, mereka hanya segelintir di tengah ribuan petugas BPS lain, yang jujur dan penuh integritas.

Sedikit yang tahu bahwa deretan digit-digit angka statistik yang tersua di ruang publik selama ini sebetulnya merupakan hasil kerja yang sangat melelahkan, betul-betul menguras tenaga dan pikiran (very exhausted).

Ada banyak cerita tentang pengabdian tak kenal lelah dan ketulusan untuk memberikan sesuatu yang berguna bagi pembangunan negeri di balik angka-angka itu.

Angka kemiskinan yang sering disoal dengan nada miring itu, misalnya, adalah hasil pendataan selama hampir tiga jam terhadap 75.000 sampel rumah tangga yang menyebar secara acak di seluruh Indonesia. Karena sampel menyebar secara acak, angka kemiskinan yang dihasilkan sejatinya merupakan buah perjuangan menaklukkan ganasnya gelombang di Kep. Aru, derasnya sungai-sungai di pedalaman Kalimantan, dan beratnya medan di pedalaman Papua sana.

Sulitnya medan tugas bukanlah satu-satunya tantangan berat kegiatan pengumpulan data statistik di negeri ini. Masih rendahnya kesadaran masyarakat sebagai responden/sumber data juga merupakan tantangan yang tak kalah berat. Seringkali semangat yang berapi-api untuk mengumpulkan data harus terhenti di pos satpam atau padam saat dikejar anjing. Penolakan untuk didata masih sering terjadi.

Menghasilkan angka statistik yang mampu memotret kondisi Indonesia secara utuh bukanlah hal yang mudah. Pasalnya, negeri yang kita cintai ini bukan main luasnya, mencapai 1,9 juta km2 yang membentang dari Sabang hingga Boven Digoel.

Secara administratif, negeri yang maha luas ini terdiri dari 33 provinsi, 497 kabupaten/kota, 6.598 kecamatan, 76.613 desa/kelurahan, dan dihuni oleh sekitar 236,7 juta jiwa (BPS, Sensus Penduduk 2010).

1350706217165255650
Dua orang petugas BPS sedang menuju ke lokasi responden, di Kecamatan Tanah Miring,
Kabupaten Merauke, Papua. Di BPS, ada ribuan petugas yang siap mengabdi seperti mereka,
mengais-ngais data hingga ke pelosok negeri. 

Coba bayangkan, betapa peliknya pekerjaan yang mesti dilakoni jika kegiatan statistik di negeri kita ini, yang infrastrukturnya masih belum merata, dibebankan pada 16.800 orang saja. Kalau hanya sebiji atau dua biji indikator statistik yang hendak dikumpulkan datanya mungkin pekerjaan bakal menjadi sedikit ringan.

Tapi ini berbilang, bukan main banyaknya. Semuanya harus dihitung mulai dari jumlah orang miskin, jumlah orang menganggur hingga jumlah butir-butir padi yang tercecer di sawah-sawah petani yang luasnya sekitar 8 juta hektar itu. Singkat kata, semuanya harus dipotret lewat angka untuk mengetahui sejauh mana kemajuan-sekaligus kemunduran-yang telah dicapai negeri ini.

Dan, kamilah 16.800 orang itu. Para statistisi BPS, yang senantiasa berupaya memberikan kemampuan terbaik, bekerja tak kenal lelah untuk merekam sejarah pembangunan negeri ini dengan data.

Untuk memotret secara menyeluruh negeri ini lewat data, kami tak sungkan mengais-ngais data hingga ke pelosok negeri, menyisir daerah konflik seperti Ambon, Poso, dan Puncak Jaya.

Kami juga menyisir daerah perbatasan jauh lebih dalam ketimbang para petugas TNI sekalipun. Jika tak percaya, silakan kunjungi salah satu rumah yang menurut Anda paling ujung di perbatasan Bavon Digoel dan Papua Nugini, di pintu rumah itu pasti akan Anda dapati sepotong stiker Sensus Penduduk 2010, bukti bahwa petugas kami telah sampai ke sana.

Karenanya, kami juga sebetulnya berkontribusi dalam mengawal daerah perbatasan. Kami memang tidak memanggul senjata, hanya sebatang pensil dan setumpuk dokumen yang setidaknya dengan itu membuat penduduk di daerah perbatasan sadar bahwa mereka adalah bagian dari NKRI yang harus diketahui kondisi dan keberadaannya.

Hasil kerja kami memang masih jauh dari sempurna. Data-data yang kami hasilkan memang sangat layak untuk disoal akurasinya. Tapi satu yang kami minta, jangan sekali-kali mencelanya. Karena untuk mengumpulkan data-data tersebut telah begitu banyak peluh, bahkan terkadang air mata yang menetes dari raga.

Jangan sekali-kali menyebut kami secara membabi buta dan pukul rata sebagai “surveyor kedai kopi” karena kami telah bekerja dengan segala kekurangan dan keterbatasan yang ada. (*)
Salam Statistik

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga