Langsung ke konten utama

"Otak Dagang"



Ibarat memantik api di dekat tumpukan kayu bakar yang telah disirami bensin, api dengan seketika  menyala dan berkobar. Perumpamaan ini saya kira tepat untuk menggambarkan reaksi teman-teman alumni STIS angkatan 49 kala menanggapi kicauan saya di sebuah situs jejaring sosial beberapa hari lalu melalui puluhan komentar yang mereka tuliskan. Anda bisa membaca kicauan yang saya maksud di sini.

Kicauan tersebut nampaknya telah membuat teman-teman alumni STIS angkatan 49 “pegal hati”. Kala membaca komentar yang mereka tuliskan, saya merasa telah menjadi public enemy. Sebegitu mudahnya kah kita memojokkan dan membenci orang lain. Bukankah di balik segala cacat dan kekurangannya, setiap orang juga punya sisi-sisi positif yang patut diapresiasi.

Kalau dikatakan saya tidak beretika dan buruk dalam hubungan sosial dengan menuliskan kicauan tersebut, baiklah saya terima. Saya mawas diri, memang terlalu banyak kekurangan pada diri ini dalam hal beretika dan membina hubungan sosial dengan orang lain. Karena itu, saya haturkan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada teman-teman jika kicauan yang saya tuliskan menyayat hati dan membuat murka.

Bukan generalisasi
Jujur, saya sedikit emosional ketika menulis kicauan tersebut. Sekali lagi, saya mohon maaf. Meskipun demikian, patut dicatat bahwa tak ada maksud generalisasi di dalamnya. Saya sebetulnya menyasar individu, personal, oknum atau apalah namanya tanpa maksud generalisasi. Jika Anda perhatikan dengan jeli, saya tidak menggunakan satu kata pun dalam bentuk jamak pada kicauan yang saya tuliskan. Saya hanya menggunakan kata “Anda”dan “anak magang”, bukan kata “kalian” dan “anak-anak magang”. 

Sebetulnya, jika Anda tak merasa sebagai orang yang suka mengeluh, abaikan saja kicauan saya. Apa susahnya. Berarti yang saya maksudkan bukan Anda. Tapi, bukankah kata “Anda” dan “anak magang” terlalu umum karena dengan kedua kata tersebut semua alumni STIS angkatan 49 bisa teridentifikasi dengannya? Kenapa tidak langsung menyebut nama saja? Jawabannya, saya bukan pribadi yang senang memosisikan diri sebagai seorang pembunuh karakter.

Saya yakin, masih banyak teman-teman alumni STIS angkatan 49 yang sabar menjalani ujian berat “moratorium” meskipun betul-betul menguras emosi. Mereka tentu bukan orang-orang yang saya maksudkan dengan kicauan yang saya tulis. Bagi mereka moratorium adalah tantangan untuk menempa diri agar semakin kreatif. Tolak ukur sejauh mana loyalitas mereka terhadap BPS, institusi tempat mereka akan menghabiskan (insya Allah) hampir dari separuh usianya. Saya salut dengan teman-teman kaskuser yang menawarkan jasa sebagai konsultan statistik, misalnya, ketimbang ribut soal potongan honor magang atau honor Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) yang konon katanya mengandung unsur “penipuan” karena dianggap tidak transparan. Bahkan, sampai bertemu dengan seorang pejabat eselon tiga segala untuk membincangkannya.

“Otak dagang”
Beberapa waktu lalu, saya sempat berbincang dengan seorang kawan, staf di Subdirektorat Demografi. Banyak hal yang kami perbincangkan, salah satunya adalah soal progress SDKI. Survei yang konon telah melambungkan nama BPS di mancanegara. Ada banyak indikator penting yang bisa diperoleh dari survei ini.

Kala membincangkan soal kisruh honor entry data, saya sedikit terkejut ketika dia menceritakan apa yang dikatakan atasannya (kasubdit) –yang sudah barang tentu merupakan persepsi yang terpatri di benaknya – tentang teman-teman alumni STIS angkatan 49. Kurang lebih seperti ini perkataan sang kasubdit yang dituturkannya, “Kita (BPS) telah kehilangan satu generasi (satu generasi telah rusak loyalitasnya),  bakal sulit diperbaiki, otak dagang semua.”
 
Tentu kita tidak sepakat dengan apa yang dikatakan sang kasubdit. Seperti halnya kicauan saya, tentu tidak semua alumni STIS angkatan 49 seperti demikian. Saya yakin masih banyak yang memiliki idealisme, militansi, dan loyalitas sebagai kader BPS yang tahu betul arti sebuah pengabdian dan cara berterima kasih. Tapi, perkataan sang kasubdit di atas tentu patut direnungkan. Mungkin tidak sepenuhnya benar, tapi jangan-jangan ada betulnya. Jangan karena nila setitik rusaklah susu sebelanga.

Jujur, saya termasuk orang  yang berhipotesis bahwa pernyataan sang kasubdit di atas ada betulnya. Ambil contoh, saya tak habis pikir, bagaimana seorang alumni STIS bisa begitu “bernyali” menyoal nominal upah magang di depan Kepala BPS dan pejabat esolan satu lainnya, lengkap dengan rincian di mana saja larinya upah tersebut kemudian sampai pada kesimpulan bahwa nominal upah yang diterima tidak mencukupi. 

Tentu saya tidak sedang membicarakan seorang tenaga outsourcing yang mengeluh di depan pimpinan perusahaan tempat dia bekerja karena upah yang diterima jauh di bawah UMR, tetapi seorang calon pegawai BPS, yang tinggal menunggu waktu untuk diangkat sebagai PNS tanpa perlu bersusah payah seperti kawan-kawanya di luar sana, yang bahkan empat tahun sebelumnya telah menikmati privilege dikuliahkan secara gratis ditambah uang saku pula (scholarship).

Bukankah lebih pantas baginya untuk memikirkan terlebih dahulu apa yang telah diberikannya kepada BPS, sebagai wujud rasa terima kasih (etika balas budi), sebelum melakoni yang demikian itu. Bisakah kita mengharapkan loyilitas, militansi, dan jiwa pengabdian dalam bekerja dari orang-orang semacam ini? Dan celakanya, aksi penuh nyali itu disertai riuh tepuk tangan sebagian kawannya yang lain. Semoga ini bukan indikasi bahwa yang berpikiran seperti dirinya bukan hanya satu atau dua orang saja. Jika tidak, pernyataan Kasubdit Demografi di atas mungkin ada betulnya. Semoga logika berpikir saya dalam hal ini keliru. (*)

Tulisan terkait: menjadi kader BPS handal


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bisakah R2 (baca: R kuadrat) Bernilai Negatif?

Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran kecocokan hasil estimasi sebuah model regresi linier dengan data yang dimodelkan, atau biasa disebut ukuran goodness of fit dari sebuah model regresi linier. Dengan lain perkataan, R2 menunjukkan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi dengan data yang sebenarnya atau seberapa besar proporsi variasi variabel respon yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Ukuran ini dapat digunakan jika semua asumsi terkait residual telah terpenuhi. Bisakah R2 Bernilai Negatif? Pada dasarnya, R2 tidak pernah bernilai negatif, kecuali model regresi yang digunakan tanpa intersep. Jika model regresi yang digunakan tanpa intersep, maka R2 tidak bermakna meskipun bernilai positif. Kelemahan mendasar dari  R2 adalah nilainya yang selalu bertambah ketika dilakukan penambahan variabel bebas ke dalam model, meskipun variabel tersebut tidak begitu penting dalam menjelaskan variabel respon (tidak signifikan). Untuk mengatasi hal ini digunakan R

Kesalahan Spesifikasi Model: Penyebab dan Solusi

Dalam ekonometrika, ketika kita bekerja dengan model-model struktural, yakni model dimana hubungan antara variabel dalam model didasarkan pada suatu kerangka teori ekonomi, keselahan spesifikasi model kerap kali terjadi. Hal ini merupakan masalah serius yang sering terjadi pada penelitian yang menggunakan model ekonometrik, khususnya regresi, sebagai  alat analisis. Kesalahan spesifikasi menyebabkan model yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk kepentingan analisis karena dapat menyesatkan ( misleading ). Sedikitnya,  ada dua gejala yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui kalau model yang kita gunakan mengalami kesalahan spesifikasi. Dua gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1.   Hasil running model menunjukkan tanda koefisien regresi yang merepresentasikan arah hubungan antara variabel  penjelas dan variabel respon berseberangan atau tidak sesuai dengan teori.  Meski tidak selalu merupakan gejala terjadinya kesalahan spesifikasi, kehadiran gejala ini me

Di Balik Penurunan Jumlah Petani Gurem

Hingga kini, kemiskinan di Indonesia masih menjadi fenomena sektor pertanian. Secara faktual, sebagian besar penduduk miskin tinggal di desa dan bekerja sebagai petani dan buruh tani. Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian adalah penguasaan lahan pertanian oleh petani yang kian sempit. Skala usaha yang kecil mengakibatkan pendapatan dari kegiatan usaha tani tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup meski kegiatan usaha tani yang dijalankan sebetulnya cukup menguntungkan. Alhasil, kesejahteraan pun begitu sulit direngkuh. Kemarin (2 Desember), Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis jumlah petani gurem hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013). Menurut BPS, petani gurem didefinisikan sebagai rumah tangga pertanian yang mengusahakan lahan pertanian kurang dari setengah hektar. BPS mencatat, jumlah petani gurem pada Mei 2013 sebanyak 14,25 juta rumah tangga atau sekitar 55,33 persen dari sekitar 26 juta rumah tangga